Friday 14 April 2017

[Resensi] Ketika Masa Lalu Selalu Menghantui

[Dimuat di Radar Sampit, Minggu 26 Maret 2017] 

Judul               : Love in Pompeii
Penulis             : Indah Hanaco
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, November 2016
Tebal               : 236 hlm
ISBN               : 978-602-03-3452-3
Peresensi         : Ratnani Latifah.  Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Setiap orang sudah pasti memiliki masa lalu. Hanya saja pilihan untuk terkunkung dengan masa lalu atau bangkit—move on menghadapi kenyataan, kembali pada pribadi masing-masing.   Yang perlu digaris bawahi, masa lalu bukanlah hantu yang harus dihindari, tapi sesuatu yang harus direngkuh, agar bisa dijadikan kaca pembelajaran untuk berjalan maju menghadapi masa depan.

Sebagaimana novel pada umumnya, penulis mengambil tema cinta. Namun jangan khawatir, selain kisah cinta penulis juga memadukan dengan tema-tema pendukung yang unik dan  seru. Apalagi dalam pemilihan setting yang menjadi poin tambahan yang membuat novel ini memikat.

Novel ini berkisah tentang  Gladys yang memilih membuang masa lalunya dengan tinggal di Hampstead, London.  Sebuah masa lalu yang membuat Gladys menjadi sosok yang sangat waspada kepada para pria. Di sana dia tinggal bersama Tantenya—Herra dan Lulu putri kecilnya.  Pada awalnya kehidupanya terasa damai dan menyenangkan. Sampai kemudian ada tetangga baru yang membuat kehidupan Gladys berubah dastris (hal 4).

Namanya Callum. Dia adalah seorang pembalap formula one. Selama ini dia terkenal sebagai lady killer dan selalu mengencani model-model cantik di sekelilingnya. Hanya saja Callum sendiri tidak ingin memiliki komitmen dengan siapa pun. Karena banginya sebuah komitmen itu  akan mengingatkannya pada masa lalu yang saat ini tengah ingin dia buang jauh-jauh.

Siapa sangka dua manusia yang terkungkung dalam masa lalu ini kemudian dipertemukan pada kejadin yang tidak terduga. Di perumahan tempat Gladys tinggal ada sebuah peraturan yang tidak tertulis jika da tetangga baru, maka diharuskan menyambutnya dengan memberikan apple pie (hal 15). Dan itulah yang dilakukan Gladys. Hanya saja pertemuan pertama itu terjadi insiden yang membuat Gladys tidak terlalu menyukai Callum.

Di sisi lain, jika Gladys tidak ingin berhubungan dengan tetangganya, maka hal itu berbanding berbalik dengan Lulu. Putri kesayangan Gladys malah sangat mengidolakan Callum. Lulu bahkan dengan santai melekat dan meminta gendong pada Calllum.  Lulu seolah menjadi jembatan yang kemudian membuat Gladys dan Callum menjadi dekat.  

Dan lambat laun, Gladys pun mulai bisa menerima keberadaan Callum. Mereka bahkan pernah berbagi sedikit masa lalu yang menjad momok bagi keduanya. Seperti alasan Gladys memilih tinggal di London, hingga kepedihan lain yang harus Lulu lalui. Callum pun juga berkisah, tentang masa kecilnya yang membuatnya kadang terlalu over protektif pada Lulu. Karena dia tidak ingin Lulu tidak memiliki kasih sayang seperti dirinya. Tanpa Callum sadari, dia sudah sangat jatuh cinta dengan kepolosan Lulu dan entah mengapa dia merasa sangat nyaman dengan kedekatannya dengan Gladys.
Perasaan itu semakin Callum rasakan ketika mereka sempat melakukan perjalanan liburan bersama ke Napoli. Menikmati keindahan teluk Napoli,  mengunjungi Castle dell’ Ove, Pasilipo,  Amalfi Coast hingga Pompeii—kota zaman Romawi kuno yang pernah terkubur selama enam belas abad, setelah letusan gunung Venesius di tahun 79 (hal 257).

Hanya saja ketika mereka kembali, baik Gladys atau pun Callum dihadapkan kembali pada masa lalu yang masih menjadi hantu bagi mereka.  Entah apa yang akan mereka pilih. Apalagi baik Gladys atau Callum menyadari, perihal keyakinan mereka yang tidak sejalan. Dan  Gladys juga harus menelan keterkejutan tentang sebuah rahasia yang selama ini tidak pernah dia ketahui tentang jati dirinya yang sebenarnya.

Dipaparkan dengan gaya bahasa yang renyah dan  gurih, membuat novel ini asyik dinikmati. Memilih alur maju mundur memberi poin lebih pada novel ini—membuat pembaca digelitik rasa penasaran hingga menamatkan kisah ini sampai akhir.  Banyak kejutan yang tidak terduga yang mengesankan.  Kelebihan lainnya adalah dalam menghidupkan kisah dari pemaparan setting dan karakter tokoh yang kuat dan minimnya kesalahan tulis.

Novel ini sarat makna. Di antara kita diajarkan bagaimana mendidik anak. Bahwa  anak itu sejatinya tidak hanya butuh materi saja, namun kasih sayang dan perhatian itu juga penting. 

Selain itu dalam novel ini kita diajak untuk mencoba berdamai dengan masa lalu. Jangan jadikan masa lalu sebagai ketakutan dan menutup diri. tapi jadikan itu sebagai pelajara untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Jangan terpaku dengan ucapan orang lain. 

“Kau tidak perlu memikirkan opini orang. Selalu ada kesalahan yang bisa dilihat seseorang di luar sana, meski kau tidak melakukan apa-apa.” (hal 47).

Srobyong, 11 Februari 2017 

2 comments:

  1. Hhahaa... iya sedih banget, kalau dengerin perkataan orang lain
    seakan2 adaa aja yg salah dari diri kita.
    ngelakuin sesuatu atau pun nggak, dianggap ga bener,
    so, usah gitu ya mbak, dengerin hal2 yg tak mengenakkan buat kita, hheee
    Aku gagal fokus loh mbak, Lulu tak kirain itu anaknya tante Hera, ternyata anaknya Gladys, hhee
    keknya gaya penulisannya Mbak Indah Hanaco itu meski temanya tentang 'cinta', tapi bisa dibalut dg bumbu2 yg menarik buat pembaca ya mbak, hehheee

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, bener banget mereka hanya menilai dari luarnya saja.

      Yup bener banget. Dan kisahnya seru-seru banget :D

      Delete