Judul :Kenangan Lara, Harapan Baru
Oleh : Ratna Hana Matsura
Sakit
itu yang aku rasa ketika tanpa sengaja berpapasan dengan dia yang dulu
sempat mengisi relung jiwa. Dia yang dulu menjadi tambatan hati yang aku
yakini akan menjadi imam yang begitu sempurna. Namun, semua tinggal
kenangan pahit yang harus aku terima. Kini dia sudah memiliki pasangan
hati yang sungguh mempersona. Bahkan mereka juga sudah memiliki buah
hati yang memiliki paras yang sama.
Kusapa mereka dengan mencoba menutup luka, tabah dengan bersikap biasa.
Kaget
mungkin juga dirasa olehnya—mas Farhan. Namun, dia pun mencoba
menguasai diri. Selayaknya teman lama kami mengobrol sana-sini. Mbak
Mutia pun juga menyambutku dengan ramah. Sejak dulu dia tidak berubah.
Sosok yang selalu aku kagumi dan kata-katanya selalu menyejukkan hati.
Sahabat sekaligus kakak yang aku miliki di pondok pesantren yang dulu
aku mengaji di sana. Juga kakak senior di kampus. Dia meski seorang
putri kiai tapi sangat berbudi.
“Kapan menyusul Diah?” tanya Mbak Mutia disela obrolan yang ngalor-ngidul mengenang persahabatan yang dulu kami bina.
“Insya Allah
secepatnya, doanya saja ya Mbak,” ucapku dengan tersenyum. Padahal
jujur saat ini aku belum punya pandangan tentang pernikahan. Aku masih
sendiri, mecoba menunggu kunci hati. Mencoba tetap tegar ketika tambatan
hati tak kunjung datang meminang.
“Nanti jangan lupa kabari kami ya,” ucapnya lagi sekaligus mengakhiri pertemuan singkat yang tidak disengaja ini.
“Insya Allah, Mbak,” ucapku melepas kepergian mereka.
“Semoga Allah memberi calon imam yang terbaik untukmu Diah, karena kamu pantas menerimanya,” Mas Farhan menimpali.
“Aamiin, terima kasih doanya, Mas,” ucapku tulus.
Aku
mencoba tersenyum dan melepas kepergian mereka. Duh, Gusti kenapa rasa
ini masih sangat mengganggu jiwa yang telah bersemayam lama di hati. Aku
harus ikhlas mas Farhan memang bukan jodohku. Dia sudah milik orang
lain, Mbak Mutia—sahabatku yang sangat aku sayang.
****
Satu
tahun lalu sebuah luka terekam dalam benakku. Aku mendengar kabar
itu—kabar pernikahan Mas Farhan dan Mbak Mutia. Betapa hatiku ini hancur
berserakan tak lagi bersatu dengan raga. Aku kecewa. Bagaimana mungkin
itu terjadi, padahal Mas Farhan bilang akan menunggu aku hingga
kelulusan yang tinggal menghitung hari.
Aku dan mas Farhan dulu
memang saling menyukai meski saling diam tanpa mengumbar rasa yang ada.
Aku malu, pun dengan dia yang juga sangat menjaga pandangannya. Sampai
suatu ketika dia datang yang mengungkapkan perilah keinginan untuk
mengkhitbahku. Aku senang bukan kepalang. Namun, aku ajukan syarat untuk
menunggu hingga gelar sarjana bisa dalam genggaman.
Mas
Farhan menyetujui syaratku. Dan aku semakin menggebu menyelesaikan
skripsi yang aku susun itu. Memimpikan keindahan hidup yang akan segera
menghampiri.
Namun, bagai disambar petir ketika Mbak Mutia
datang menyerahkan undangan pernikah yang ingin aku mendatanginya.
Hatiku hancur. Aku tidak bisa menyalahkanMbak Mutia yang mungkin tidak
tahu apa-apa tentang hal ini. Dia hanya mengikuti perintah abah dan juga
ummi. Ya! Perjodohan sepihak yang mengorbankan aku sebagai pihak
ketiga.
“Maaf Diah, semoga kamu mendapat calon imam yang lebih baik.” Hanya itu yang Mas Farhan ucapkan padaku kala itu.
Mau
bagaimana lagi ketika suratan takdir tidak mempertemukan kami dalam
ikatan suci. Aku tidak banyak bertanya alasan kenapa dengan sepihak
mereka memutuskan khitbah. Karena pak kiai Cholil—abahnya Mas Farhan
telah menjelaskan dengan gamblang perihal kawin gantung yang sempat
dilakukan abanya Mas Farhan dan Mbak Mutia dulu. Itu demi melangsungkan
kekerabatan mereka yang lahir dari para priyayi.
Inilah
yang tidak aku milik, aku bukan siapa-siapa yang memiliki darah biru.
Aku tidak secantik dan sepintar Mbak Mutia yang sedari dulu tumbuh dalam
lingkungan santri memiliki banyak ilmu.
Mungkin aku
adalah bagian kecil dari kesalahan yang ada, karena Mas Farhan pernah
menaruh hati padaku. Dan juga kesombongan diri yang berani memberi
syarat dalam khtibah yang ditawarkan padaku. Mau bagaimana lagi nasi
telah menjadi bubur.
Setelah pernikahan mereka kucoba
menata lagi hati ini. Menjalani hari-hari meski terasa kosong karena
ternyata tambatan hati yang aku miliki telah terbang tinggi.
Aku
gadis berusia 25 tahun yang saat ini masih melajang sendiri, sedang
semua teman-temanku telah berpasangan memiliki buah hati. Aku merasa
rendah diri. Apalagi dalam tradisi desaku usia seperti itu harunya telah
berkeluarga.
Gunjingan tidak sedap tentangku pun
menyerebak. Dikatakan pemilihlah, sok jual mahal tidak mau menerima
pinangan dari anak pak lurah. Bagaimana aku mau menerima jika kau tahu,
dia tidak memilki pegangan agama yang kuat. Aku ini makmum, jadi sebisa
mungkin aku ingin memiliki imam yang bisa membimbing dan mengatur aku
dari tindak maksiat yang ada.
Salahkah jika aku memiliki kriteria seperti itu? Sungguh aku hanya berharap yang terbaik.
“Kenapa
Diah? Sejak dari kantor telihat melamun begitu?” Ibu menepuk pundakku.
Membuyarkan aku dari lamunan panjang. Aku menggeleng mencoba
menyembunyikan kerisauan yang aku punya.
“Ayo ceritakan saja, jangan dipendam sendiri,” bujuk Ibu.
Dengan
tebata-bata akhirnya aku tumpahkan segala uneg-uneg yang menggunung di
hati. Mengucapkan maaf yang terdalam pada ibu yang juga mendapat dampak
dari punya putri yang tak kunjung laku.
“Diah, jangan berprasangaka buruk pada Allah, biarlah orang berkata apa, jangan dipedulikan,” ucap Ibu lembut.
“Tapi Bu, Diah kadang merasa risih dengan mereka.”
“Serahkan
semua pada Allah. Jika saat ini belum datang jodohmu, maka berbaikilah
diri dulu semoga jodoh akan segera menghampirimu,” Ibu menasehatiku.
“Allah memberi cobaan sesuai dengan kemampuan hambanya, jadi jangan mudah menyerah.”
Aku
mengiyakan ucapan ibu. Mungkin aku belum kuat untuk diberi amanah
menjalankan sunnah Nabi. Aku harus memperbaiki diri. Menunggu kuci hati
yang mungkin sedang menuju jalan kemari. Biarlah kenangan lara ini akau
jadikan cambuk untuk lebih tegar dalam mengarungi hidup ini. Menunggu
pangeran kuda putih menjemput bidadari.
Jepara,261014.
NB : Pernah dipostkan di KMB
No comments:
Post a Comment