Judul : Dendang Salawat Nabi
Oleh :Kazuhana El Ratna Mida/ Ratna Hana Matsura
Andai beliau masih ada pasti ceritanya berbeda. Akan ada gemerlap
cahaya menyemarakkan musala. Membuat jiwa luluh menyenandungkan lagu
pada sang kekasih, bergumal rindu rasa ingin bertemu.
~*~
Al-Falah menghela napas. Sejak satu tahun lalu—tepatnya sejak kakek
meninggal. Musala ini menjadi sunyi—senyap. Tak ada lagi celotehan
anak-anak yang melafalkan huruf hijaiyah, apalagi menyenandungkan
salawat Nabi ketika bulan maulid datang.
Sungguh nuansanya
sangat berbeda. Al-Falah rindu masa itu. Melihat anak-anak bermain dan
bersendau gurau dengan teman-teman, lalu berlatih bersama membaca
Al-Barjanji.
Kini masa itu telah tertelan waktu. Ketika pemuka
agama—kakek yang selalu menggerakkan dakwah telah berpulang, hilang juga
semangat para penerus yang tak punya tekad berjuang.
Al-Falah miris ingin menangis. Apakah hanya sampai batas ini saja, tak ada lagi perombakan untuk kebaikan?
Ya Allah andai aku bisa ingin rasanya menggerakkan maju seperti dulu,
meneruskan jejak perjuangan yang telah didirikan. Batin Al-Falah. Tapi
siapalah aku? Aku tak memiliki daya untuk mewujudkan semua tanpa ada
penggerak lainnya yang memiliki cita-cita yang sama. Batinnya lagi.
“Aku harus ditopang baru bisa berjalan,” lirih Al-Falah berucap dalam kesendirian.
Ya kesendirian ketika tinggal gelap yang tersisa di sini. Andai bisa
Al-Falah ingin berteriak agar para warga mendengar kepiluan hatinya yang
telah menggerogoti.
Apalah gunanya musala yang selau direhab
setiap saat, namun, warganya kosong tak mau meramaikan. Hanya segelintir
orang yang datang silih berganti untuk menunaikan jamaah. Itu pun bisa
dihitung dengan jari. Padahal luas musala ini mampu ditempati semua
warga di sini.
Al-Falah sungguh sedih dan kadang-kadang menangis
dalam sepi. Dia selalu berharap ada seseorang yang memiliki kesadaran
melanjutkan perjuangan.
~*~
Hingga dia datang menjadi cahaya terang—seorang yang memiliki semangat juang mulai menghidupkan musala.
Al-Falah sungguh bangga, ingin berucap syukur—berterima kasih pada dia
yang mau mengabdi untuk warga, melanjutkan perjuangan sang kakek yang
dulu telah berpulang.
Doa yang diam-diam dipanjatkan kini
dijabahi Sang Penguasa Alam. Hadirnya seseorang yang bernama Nur Laila.
Namanya secantik akhlaknya menjadi penerang di gelapnya malam yang
membunuh warga.
~*~
“Shalluu ‘Alannabi Muhammad.”
Al-Falah mendengarkan suara merdu yang terdengar dari speker. Hatinya terasa damai sejuk penuh haru.
Titik balik setelah satu tahun musala ini sepi tak ada yang mengisi.
“Alhamdulillah, para warga telah sadar kembali menyalakan pijar dakwah,” Al-Falah berucap syukur.
Sungguh ini adalah hadiah—kado terindah ketika para warga telah mulai
sadar, menyemarakkan bulan maulid yang kini datang. Menyongsong tahun
baru dengan perubahan. Al-Falah berharap ini akan langgeng dan terus
berjalan.
Al-Falah mendengarkan salawat Nabi kini sudah
didendangkan. Dia tersenyum senang. Melihat anak-anak kecil dan warga
yang ikut meramaikan musala mengobati kehampaan yang dulu menerpa
jiwanya.
“Semoga ini bukan untuk awal dan akhir kalinya, tapi
akan dimulai lagi untuk dirintis dengan kajian Al-Quran dan Al-Barjanji
secara bergantian,” doa Al-Falah dengan senyum mengembang.
Srobyong, 30 Desember 2014.
Spesial untuk ultah Mbak Lulu Wal Marjaan
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete