Risalah Hati
Nina
Kazuhana El
Ratna Mida
Tubuh Nina masih terbujur kaku di
pembaringan, selang infus menempel menajdi asupan gizinya. Sudah satu minggu
lebih Nina tidak sadarkan diri. Kecelakan yang menimpanya yang membuat dia
cedera otak karena hantaman yang sangat keras, membuat dia koma. Berada
diantara hidup tapi juga mati.
Disampingnya Tante Intan, Ibu Nina
menemani putrinya, berdoa sepanjang hari demi kesembuhan putrinya. Ada sesal
yang tengah merundungnya. Kesibukannya sebagai wanita karir, telah memisahkan
dia dan putrinya, Tante Intan memang selalu pergi keluar kota bahkan keluar
Negeri, untuk bertemu dengan Nina hanya di hari sabtu atau Minggu, kadang malah
tidak sama sekali karena jam terbangnya yang tinggi, begitu pula dengan Om Hendra
Ayahnya Nina, dia seorang pengusaha sukses yang juga memilki kesibukan yang
sangat padat.
Nina di rumah sendirian, dia anak
tunggal hanya para pembantu rumah yang menemani kesepian Nina. Hanya kemewahan
yang dia dapat bukan kasih sayang yang meluap. Aku sering mendengar keluhan
Nina, betapa dia merasa kesepian, dia ingin suatau hari kedua orang tuanya
mengerti, dia hanya ingin sedikit perhatian yang telah lama hilang.
“Nina,cepat sembuh ya Nak, maafkan
Ibu yang sangat egois,” Tante Intan menagis di tepi ranjang Nina.
“Ayah juga minta maaf Nina, “ sela
Ayahnya juga.
“Ini salah kita Mas, kita terlalu
sibuk hingga tidak bisa menjaga Nina,” Tante Nina menagis,
“Maaf Tante, aku pamit dulu, sudah
sore,” aku bersiap meningalkan ruangan itu, sedari pagi aku disini menunggui
Nina sahabatku, bergantian dengan Tante Intan yang tadi semapat pulang untuk
mengambil baju ganti.
“Iya, Nit terimaksih selama ini kamu
sudah menajdi sahabat yang baik untuk Nina,”
“Sama-sama Tante Nina bukan sekedar
sahabat bagi saya , dia adalh saudara yang selau ada dimanpun dalam situasi
apapun, karena itu saya sangat sayang sekali dengan Nina,” tanpa bisa kau tahan
tangis ini mulai pecah, aku juga sangat sedih ketika melihat sahabat terdekatku
terbaring lemah tidak berdaya.
Tante Intan memelukku erat, dia juga
ikut tenggelam dalam rasa sedih yang kini mengemapirinya.
Aku keluar dari kamar Nina dirawat,
berjalan melewati lorong rumah sakit yang sudah agak lenggang. Aku berharap
Nina segera sadar. Aku tidak tahu kenapa cobaan yang dia terima datang
bertubi-tubi.
Aku kaget setengah mati ketika
mendapat kabar, bahwa Nina mengalami kecelakaan saat akan pergi kerumhaku. Dia
memang sudah memberi kabar kalau dia mau menceritakan sesuatu padaku, dan aku dengan
semanngat menunggunya. Namun siapa sangkan ketika Tuhan berkehendak lain, Nina
yang menyetir dengan santai, kaget ketika ada sedan yang dari arah berlawanan
menyerobot diantara penegndara lain, seketika dia membanting setir.
Nina yang dia kenal selalu mencoba
tegar dihadapan orang lain, tapi ada rasa rapuh yang tidak bisa disembunyikan
dariku. Ketika rasa itu sudah sangat menganggunya Nina akan datang dan
bercerita, mencoba melupakan sejenak rasa rindu pada orang tuanya.
Agenda menginap bersama rutin mereka
lakukan bergantina, kadang di rumah Nina kadang juga di rumahku. Bersama kami
menghabisakan waktu.
“Nit, aku iri padamu, kau memilki
keluarga yang utuh dan slalu perhatian padamu, sedang aku Ayah dan Ibu selalu
pergi entah kemana, ketika aku ingin berbagi keluh kesah mereka akan selau
bilang, aku sibuk Nina, lain kali ya, selau lain kali, lebih baik aku tidak di
lahirkan saja ketika mereka tidak mau peduli padaku.” Ingatanku melayang pada
ungkapan hati Nia yang sudah terlanjur terluka.
“Jangan bicara ngawur begitu Nin,
tidak baik,” aku mencoba menasihati.
“Mau bagaimana lagi mereka tidak ada
waktu denganku,” sebutir Kristal mengenang di pelupuk mata Nina.
“Kalau begitu denganku saja, aku aka
nada dimanapun kamu butuh, kapanpun,” ucapku mantap mencoba menghibur Nina. Dia
segera memlukku erat. Dan kemudia kami terlelap di kamar kecilku yang
sederhana.
Aku tersadar dari lamunanku,
beranjak aku membersihkan kamarku yang bebrapa hari ini aku tinggalkan demi
menemani Nina. Aku menemukan sebuah kertas di bawah bantalku, melihat dengan
seksama goresan yang telah Nina tuangkan dalam aksara panjang itu. Aku yakin
ini dia tulis di malam terakhir mereka tidur terlelap bersama.
Keesokan harinya aku segera menemui
Tante Intan, memberikan surat itu agar beliau tahu apa yang selama ini Nina
rasakan.
Tante Intan agak ragu, dengan pelan
beliau membaca dengan hati teriris sembilu, ait matanya tumpah ruah tak bisa
dia bendung. Betapa sesal itu semakin membuatnya tersikasa. Menyalahkan takdir
yang telah membutakan matanya.
Ibu, Ayah, kenapa
selalu pergi? Tidak bisakah kalian meluangkan waktu sejenak untuku, mecoba
mengerti hobi dan kesukaanku. Aku yakin kalian tidak tahu jika aku memenangkan
juara olimpiade Science, tidak ada ucapan selamat, bahkan pesta perayan. Mau
bagaimana lagi ketika aku mau bilang saja kalian secepat kilat pergi. Akhirnya
dengan Nita kau lalui semua, aku iri dengan Nita, keluarganya, hidup sederhana,
tapi kehangatan dan kasih sayang terasa kental disana. Ibu Nita sangat baik
denganku. Ketika aku ingin memelukkan sebagai obat rindu pada Ibu kadungku.
Dengan senang hati beliau melakukannya. Dia menyanyangiku melebihi kasih ibuku
sendiri, orang tua kandungku yang melahirkan aku. Lalu apa gunanya aku
dilahirkan di dunia ini, jika pada akhirnya kau didepak pergi. Mungkin
seharusnya aku tidak lahir saja, dengan begitu Ayah dan Ibu bisa bebas
melakukan perjalanan bisnis yang mereka suka. Dan aku tidak perlu merasa sakit
ketika ditinggalkan.
Aku tidak butuh
kemewahan Ayah, aku ingin sesekali berbincang menceritakan hal-hal yang
menyenagkan denganmu, apa aku salah? Haruskah benar-benar pregi baru kalian
akan mengerti dan menengok keberadaanku. Ayah cukup ayang disisiku saja aku
senang. Tidak usah menjanjikan berpuluh kemwahan yang hanya mengantarkan aku
pada kesendirian. Aku kesepian.
Ibu tidak bisahkah
kau di rumah saja menemani hari-hariku, mendengarkan curhatanku , kisah kasih
di sekolah yang aku lalui, menceritakan dengan senang tentang sahabat terbakku
Nita. Ibu, kenapa Ibu lebih memilih kerja dari pada aku, tidak sayangkah engkau
denganku Bu, apakah aku menganggu ketika menanjaknay karir yang mengantarkan
kesuksesanmu. Ibu apa salah jika aku rindu.
Ayah, Ibu aku
sangat sayang dengan kalian, aku rindu dimana masa kecilku yang dulu yang
kalian memanjakannku. Namun, seiring aku tumbuh rasa itu malah hilang ditelan
waktu.
Tante Intan menagis, om Hendra yang
juga ikut membaca, mencoba menghapus air mata yang telah meleleh. Betapa mereka
tidak peka, dan sudah menelantarkan buah hati mereka.
Inilah jawaban yang selau mereka
pertanyakan kepada Tuhan, kenapa mereka mendapat cobaan yang begitu besar,
untuk kehilangan senyum manis bidari mereka. Ternyata ini adalah peringat Tuhan
akan segala kesalahan yang dulu mereka perbuat.
Tante Intan berharap dan berdoa,
semoag dia masih diberi kesempatan untuk membayar segala kesalahan yang pernah
dia perbuat.
Kini, semua waktu dia curahkan untuk
Nina, dia memutuskan berehenti bekerja dan focus merawat Nina agar segera
sembuh, meski dua mingu telah berlalu, tapi tanda Nina yang membaik tidak juga
terlihat.
“Ibu salah Nak, maaf ya, kamu jangan
marah, cepat sembuh, nanti kita jalan-jalan bersama, mengobrol, bercerita, Ibu
janji sayang.” Tante Intan mengeenggam erat jemari Nina.
“Istirahatlah, biar malam ini aku
menjaga Nina,” Om Hendra meembangunkan Tante Intan yang tertidur disamping
Nina.
“Mas, Nina akan sembuh bukan?” tante
Intan bertanya pada suaminya.
“Nina Pasti sembuh, kita memohon
padaNya, agar kita diberi kesempatan kedua. Om Hendra merangkul istrinya.
Karena lelah mereka tertidur disamping Nian dengan masih mengenggam
jemari Nina. Mereka sangat pulas hingga tidak menyadari ketika jemari lentik
itu bergerak mencoba menyentuh orang yang selama ini dia rindukan.
“Ibu, Ayah, kalian datang, akau pikir kalian telah lupa bahwa aku
telah telahir,” ucap Nina pelan dangan nafas yang naik turun.
Tante Nina terbangun kaget mendengar suara yang tiba-tiba menggema
di kepalanya, di lihatnya mata Nina yang telah terbuka, dan tangannya mulai
bisa bergerak, meski masih terbatas. Tante Intan dan Om Hendra segera memangil
dokter.
Mereka menatap Nina penuh dengan kerinduan, mengecup lembut kening
Nina penuh kasih bergantian. Rasa sykur segera mereka panjatkan, semua kerena
Allah, karena kuasanya yang begitu agung. Sujud syukur seketika mereka lakukan.
Betapa bahagia mereka, kini ketika diberi kesempatan untuk menebus kesalahan.
Karena Allah kesempatan itu tidak akan disiasiakan.
Mungkin inilah kuasa Tuhan yang sengaja mengambil Nina untuk
beberapa saat, agar mereka sadar sosok jiwa ini butuh perhatian. Menyatukan
sebuah keluarga dengan kasih sayang yang sempat hilang. Inilah takdir yang
memang harus dilalui mereka dengan keabaran.
Aku mangis haru melihat sahabatku yang akhirnya memilki muara hati
yang selau dirindukannya. Orang tua yang akan selalu menyayanginya.
“Semoga kamu bahagia sobat,” ucapku tulus.
No comments:
Post a Comment