Tuesday 14 October 2014

[Cerpen] Risalah Hati Nina



Risalah Hati Nina
Kazuhana El Ratna Mida


            Tubuh Nina masih terbujur kaku di pembaringan, selang infus menempel menajdi asupan gizinya. Sudah satu minggu lebih Nina tidak sadarkan diri. Kecelakan yang menimpanya yang membuat dia cedera otak karena hantaman yang sangat keras, membuat dia koma. Berada diantara hidup tapi juga mati.
            Disampingnya Tante Intan, Ibu Nina menemani putrinya, berdoa sepanjang hari demi kesembuhan putrinya. Ada sesal yang tengah merundungnya. Kesibukannya sebagai wanita karir, telah memisahkan dia dan putrinya, Tante Intan memang selalu pergi keluar kota bahkan keluar Negeri, untuk bertemu dengan Nina hanya di hari sabtu atau Minggu, kadang malah tidak sama sekali karena jam terbangnya yang tinggi, begitu pula dengan Om Hendra Ayahnya Nina, dia seorang pengusaha sukses yang juga memilki kesibukan yang sangat padat.
            Nina di rumah sendirian, dia anak tunggal hanya para pembantu rumah yang menemani kesepian Nina. Hanya kemewahan yang dia dapat bukan kasih sayang yang meluap. Aku sering mendengar keluhan Nina, betapa dia merasa kesepian, dia ingin suatau hari kedua orang tuanya mengerti, dia hanya ingin sedikit perhatian yang telah lama hilang.
            “Nina,cepat sembuh ya Nak, maafkan Ibu yang sangat egois,” Tante Intan menagis di tepi ranjang Nina.
            “Ayah juga minta maaf Nina, “ sela Ayahnya juga.
            “Ini salah kita Mas, kita terlalu sibuk hingga tidak bisa menjaga Nina,” Tante Nina menagis,
            “Maaf Tante, aku pamit dulu, sudah sore,” aku bersiap meningalkan ruangan itu, sedari pagi aku disini menunggui Nina sahabatku, bergantian dengan Tante Intan yang tadi semapat pulang untuk mengambil baju ganti.
            “Iya, Nit terimaksih selama ini kamu sudah menajdi sahabat yang baik untuk Nina,”
            “Sama-sama Tante Nina bukan sekedar sahabat bagi saya , dia adalh saudara yang selau ada dimanpun dalam situasi apapun, karena itu saya sangat sayang sekali dengan Nina,” tanpa bisa kau tahan tangis ini mulai pecah, aku juga sangat sedih ketika melihat sahabat terdekatku terbaring lemah tidak berdaya.
            Tante Intan memelukku erat, dia juga ikut tenggelam dalam rasa sedih yang kini mengemapirinya.
            Aku keluar dari kamar Nina dirawat, berjalan melewati lorong rumah sakit yang sudah agak lenggang. Aku berharap Nina segera sadar. Aku tidak tahu kenapa cobaan yang dia terima datang bertubi-tubi.
            Aku kaget setengah mati ketika mendapat kabar, bahwa Nina mengalami kecelakaan saat akan pergi kerumhaku. Dia memang sudah memberi kabar kalau dia mau menceritakan sesuatu padaku, dan aku dengan semanngat menunggunya. Namun siapa sangkan ketika Tuhan berkehendak lain, Nina yang menyetir dengan santai, kaget ketika ada sedan yang dari arah berlawanan menyerobot diantara penegndara lain, seketika dia membanting setir.
            Nina yang dia kenal selalu mencoba tegar dihadapan orang lain, tapi ada rasa rapuh yang tidak bisa disembunyikan dariku. Ketika rasa itu sudah sangat menganggunya Nina akan datang dan bercerita, mencoba melupakan sejenak rasa rindu pada orang tuanya.
            Agenda menginap bersama rutin mereka lakukan bergantina, kadang di rumah Nina kadang juga di rumahku. Bersama kami menghabisakan waktu.
            “Nit, aku iri padamu, kau memilki keluarga yang utuh dan slalu perhatian padamu, sedang aku Ayah dan Ibu selalu pergi entah kemana, ketika aku ingin berbagi keluh kesah mereka akan selau bilang, aku sibuk Nina, lain kali ya, selau lain kali, lebih baik aku tidak di lahirkan saja ketika mereka tidak mau peduli padaku.” Ingatanku melayang pada ungkapan hati Nia yang sudah terlanjur terluka.
            “Jangan bicara ngawur begitu Nin, tidak baik,” aku mencoba menasihati.
            “Mau bagaimana lagi mereka tidak ada waktu denganku,” sebutir Kristal mengenang di pelupuk mata Nina.
            “Kalau begitu denganku saja, aku aka nada dimanapun kamu butuh, kapanpun,” ucapku mantap mencoba menghibur Nina. Dia segera memlukku erat. Dan kemudia kami terlelap di kamar kecilku yang sederhana.
            Aku tersadar dari lamunanku, beranjak aku membersihkan kamarku yang bebrapa hari ini aku tinggalkan demi menemani Nina. Aku menemukan sebuah kertas di bawah bantalku, melihat dengan seksama goresan yang telah Nina tuangkan dalam aksara panjang itu. Aku yakin ini dia tulis di malam terakhir mereka tidur terlelap bersama.
            Keesokan harinya aku segera menemui Tante Intan, memberikan surat itu agar beliau tahu apa yang selama ini Nina rasakan.
            Tante Intan agak ragu, dengan pelan beliau membaca dengan hati teriris sembilu, ait matanya tumpah ruah tak bisa dia bendung. Betapa sesal itu semakin membuatnya tersikasa. Menyalahkan takdir yang telah membutakan matanya.
            Ibu, Ayah, kenapa selalu pergi? Tidak bisakah kalian meluangkan waktu sejenak untuku, mecoba mengerti hobi dan kesukaanku. Aku yakin kalian tidak tahu jika aku memenangkan juara olimpiade Science, tidak ada ucapan selamat, bahkan pesta perayan. Mau bagaimana lagi ketika aku mau bilang saja kalian secepat kilat pergi. Akhirnya dengan Nita kau lalui semua, aku iri dengan Nita, keluarganya, hidup sederhana, tapi kehangatan dan kasih sayang terasa kental disana. Ibu Nita sangat baik denganku. Ketika aku ingin memelukkan sebagai obat rindu pada Ibu kadungku. Dengan senang hati beliau melakukannya. Dia menyanyangiku melebihi kasih ibuku sendiri, orang tua kandungku yang melahirkan aku. Lalu apa gunanya aku dilahirkan di dunia ini, jika pada akhirnya kau didepak pergi. Mungkin seharusnya aku tidak lahir saja, dengan begitu Ayah dan Ibu bisa bebas melakukan perjalanan bisnis yang mereka suka. Dan aku tidak perlu merasa sakit ketika ditinggalkan. 
            Aku tidak butuh kemewahan Ayah, aku ingin sesekali berbincang menceritakan hal-hal yang menyenagkan denganmu, apa aku salah? Haruskah benar-benar pregi baru kalian akan mengerti dan menengok keberadaanku. Ayah cukup ayang disisiku saja aku senang. Tidak usah menjanjikan berpuluh kemwahan yang hanya mengantarkan aku pada kesendirian. Aku kesepian.
            Ibu tidak bisahkah kau di rumah saja menemani hari-hariku, mendengarkan curhatanku , kisah kasih di sekolah yang aku lalui, menceritakan dengan senang tentang sahabat terbakku Nita. Ibu, kenapa Ibu lebih memilih kerja dari pada aku, tidak sayangkah engkau denganku Bu, apakah aku menganggu ketika menanjaknay karir yang mengantarkan kesuksesanmu. Ibu apa salah jika aku rindu.
            Ayah, Ibu aku sangat sayang dengan kalian, aku rindu dimana masa kecilku yang dulu yang kalian memanjakannku. Namun, seiring aku tumbuh rasa itu malah hilang ditelan waktu.
            Tante Intan menagis, om Hendra yang juga ikut membaca, mencoba menghapus air mata yang telah meleleh. Betapa mereka tidak peka, dan sudah menelantarkan buah hati mereka.
            Inilah jawaban yang selau mereka pertanyakan kepada Tuhan, kenapa mereka mendapat cobaan yang begitu besar, untuk kehilangan senyum manis bidari mereka. Ternyata ini adalah peringat Tuhan akan segala kesalahan yang dulu mereka perbuat.
            Tante Intan berharap dan berdoa, semoag dia masih diberi kesempatan untuk membayar segala kesalahan yang pernah dia perbuat.
            Kini, semua waktu dia curahkan untuk Nina, dia memutuskan berehenti bekerja dan focus merawat Nina agar segera sembuh, meski dua mingu telah berlalu, tapi tanda Nina yang membaik tidak juga terlihat.
            “Ibu salah Nak, maaf ya, kamu jangan marah, cepat sembuh, nanti kita jalan-jalan bersama, mengobrol, bercerita, Ibu janji sayang.” Tante Intan mengeenggam erat jemari Nina.
            “Istirahatlah, biar malam ini aku menjaga Nina,” Om Hendra meembangunkan Tante Intan yang tertidur disamping Nina.
            “Mas, Nina akan sembuh bukan?” tante Intan bertanya pada suaminya.
            “Nina Pasti sembuh, kita memohon padaNya, agar kita diberi kesempatan kedua. Om Hendra merangkul istrinya.
Karena lelah mereka tertidur disamping Nian dengan masih mengenggam jemari Nina. Mereka sangat pulas hingga tidak menyadari ketika jemari lentik itu bergerak mencoba menyentuh orang yang selama ini dia rindukan.
“Ibu, Ayah, kalian datang, akau pikir kalian telah lupa bahwa aku telah telahir,” ucap Nina pelan dangan nafas yang naik turun.
Tante Nina terbangun kaget mendengar suara yang tiba-tiba menggema di kepalanya, di lihatnya mata Nina yang telah terbuka, dan tangannya mulai bisa bergerak, meski masih terbatas. Tante Intan dan Om Hendra segera memangil dokter.
Mereka menatap Nina penuh dengan kerinduan, mengecup lembut kening Nina penuh kasih bergantian. Rasa sykur segera mereka panjatkan, semua kerena Allah, karena kuasanya yang begitu agung. Sujud syukur seketika mereka lakukan. Betapa bahagia mereka, kini ketika diberi kesempatan untuk menebus kesalahan. Karena Allah kesempatan itu tidak akan disiasiakan.
Mungkin inilah kuasa Tuhan yang sengaja mengambil Nina untuk beberapa saat, agar mereka sadar sosok jiwa ini butuh perhatian. Menyatukan sebuah keluarga dengan kasih sayang yang sempat hilang. Inilah takdir yang memang harus dilalui mereka dengan keabaran.
Aku mangis haru melihat sahabatku yang akhirnya memilki muara hati yang selau dirindukannya. Orang tua yang akan selalu menyayanginya.
“Semoga kamu bahagia sobat,” ucapku tulus.

No comments:

Post a Comment