Sunday 12 October 2014

[Cerpen] Andai Aku Bisa


Andai Aku Bisa
Kazuhana El Ratna Mida

  Aku mendengar jelas ketika peluru-peluru itu, ditodongkan pada semua warga sipil Palestina. Ketika pelatuk itu dihantamkan mengantarkan nyawa pada kedamaian. Aku di sini, hanya bisa melihat tanpa bisa melakukan apa-apa. Aku  melihat kekejaman zionis Israel yang berbuat semena-mena. Namun, aku hanya bisa diam membisu. Menatap Palestina yang akan dibumi hanguskan dengan rudal-rudalnya.

            Aku sungguh sedih dengan keadaan ini. Aku ingin sekali berlari menyelamatkan para pedekar Palestina yang tengah berjuang mempertahankan negaranya. Aku ingin ikut membantu mereka menengakkan perjuangan dengan sisa tenaga yang mereka punya.  Dengan tekad bulat mereka yang begitu gigih dan rela berkorban nyawa. Mereka para pendekar yang tidak takut pada apapun kecuali keridhoan Allah. Itulah jihad yang mereka percaya membawa pada kedamaian.

            Belum selesai hingar bingar peluru yang ditembusakan pada jantung-jantung kehidupan manusia, kini bom-bom itu siap dihantamakan untuk  memporak porandakan Palestina yang semakin cerai berai. Aku miris, sungguh aku ingin menangis. Aku menyimpan luka yang teramat dalam.

            Aku tidak tahu di mana perasaan para zionis Israil yang begitu kejam tidak berperasaan. Mereka tidak malu menodongkan senjata pada pendekar cilik tidak berdosa. Rasanya aku ini ingin meronta dan melarikan diri saja untuk menyelamatkan mereka, tapi apa daya, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa melihat tanpa bertindak.

            Di depan mataku, kini terlihat pemandangan yang sudah lazim di tanah Palestina ini. Seorang anak kecil yang membangunkan ayah dan ibunya agar kembali membuka mata.

            “Ayah, Ibu, bangun.” Isak tangis terdengar jelas. Gadis kecil berkerudung itu mengguncang-guncang tubuh ibunya.

            Sungguh pemandangan yang membuat miris. Kemudian segerombol ziois Israil datang. Tanpa berpikir panjang mereka menodongkan pistol pada gadis berkerudung yang malang.

            “Allahhu akbar. Laa ilaaha illahhah,” gadis itu meninggal dengan menyebut asama Tuhannya.

            Duaarrr!

Peluru ditembakkan tepat di pelipis gadis berkerudung itu. Sungguh biadad mereka. Tidak bermoral dan tidak berperasaan. Aku menangis pilu dalam hati. Sakit hati ini, ketika aku tidak bisa membantu dan hanya bisa mendoakan dari jauh.


            Kini pandanganku beralih kepada sederet tenda-tenda yang menjadi tempat penampungan para pejuang Palestina. Luka di sana-sini tidak menjadikan mereka kendor untuk berjuang demi kebebasan negaranya.

            “Jangan takut kawan, kita bersama Tuhan kita, insya Allah ini adalah Jihad Fisabilillah.”

            “Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaaahu akbar!”

            Aku mendengar keyakinan mereka yang begitu berani dan penuh percaya diri. Walau seditik kemudian aku melihat nyawa itu sudah tidak lagi satu dengan sang raga.

            Aku tertunduk tidak berdaya, ketika kembali serangan dilancarkan untuk membumi hanguskan Palestina agar merata menjadi tanah. Para antek Israil sudah siapa dengan senjata yang diperlukan. Mereka berjalan penuh kesombongan menuju rumah warga sipil. Membantai mereka dengan otak dingin.

            Sekarang tinggal menuggu waktu para zionis Israil memuntahkan bom waktu untuk meratakan negara Palestina ini. Aku menunggu dengan berpaju jantung berharap ini tidak perlu terjadi. Kenapa harus ada perang jiwa yang didapat hanya luka dan pembantaian. Kenapa harus ada perang yang menimbulkan sakit yang berkepanjangan.

****

            waktu pagi sudah hampir tiba, dan aku harus beraksi dengan kemampuan yang aku punya meski aku tidak ingin, aku tidak bisa apa-apa aku tidak bisa melawan kemauan zionis Israil yang memiliki adidaya.

            Aku tahu rencana busuk yang mereka sembunyikan. Seandainya aku bisa, ingin kusampaikan kabar ini untuk warga Palestina agar segera mengosongan tempat ini mencari perlindungan. Andai aku bisa, akan aku gagalkan misi ini agar zionis Israil tidak bisa menyentuh dan menghancurkan Negara ini. Andai aku bisa, mugkin aku tidak perlu diciptakan.

Namun, aku hanya sebuah bom waktu, yang setiap saat harus siap dilempar untuk menghancurkan bumi Palestina. Meski berontak, itu tidak ada gunanya. Walau, tidak ingin melakukannya, aku hanya sebuah benda yang mereka ciptakan untuk senjata perang. Sungguh aku ingin berontak dan tidak mau diperbudak oleh nafsu jahat mereka.

Inilah alasan kenapa aku tidak bisa membantu para pejuang Palestina yang syahid dihadapanku. Hanya bisa diam menyaksikan semua kekejaman akibat perbuatanku. Meski, memberontak memohon agar  jangan dilemparkan, mereka tidak medengar.

Mereka hanya memikirkan keegoisan yang dimiliki,  tanpa mau mengerti bahwa aku sangat lelah menjadi budak pencabut nyawa orang-orang tidak bedosa. Andai aku mampu.

           

No comments:

Post a Comment