Kazuhana El Ratna Mida
Aku mendengar jelas ketika peluru-peluru itu,
ditodongkan pada semua warga sipil Palestina. Ketika pelatuk itu
dihantamkan mengantarkan nyawa pada kedamaian. Aku di sini, hanya bisa
melihat tanpa bisa melakukan apa-apa. Aku melihat
kekejaman zionis Israel yang berbuat semena-mena. Namun, aku hanya bisa
diam membisu. Menatap Palestina yang akan dibumi hanguskan dengan
rudal-rudalnya.
Aku
sungguh sedih dengan keadaan ini. Aku ingin sekali berlari
menyelamatkan para pedekar Palestina yang tengah berjuang mempertahankan
negaranya. Aku ingin ikut membantu mereka menengakkan perjuangan dengan
sisa tenaga yang mereka punya. Dengan tekad bulat mereka
yang begitu gigih dan rela berkorban nyawa. Mereka para pendekar yang
tidak takut pada apapun kecuali keridhoan Allah. Itulah jihad yang
mereka percaya membawa pada kedamaian.
Belum
selesai hingar bingar peluru yang ditembusakan pada jantung-jantung
kehidupan manusia, kini bom-bom itu siap dihantamakan untuk memporak
porandakan Palestina yang semakin cerai berai. Aku miris, sungguh aku
ingin menangis. Aku menyimpan luka yang teramat dalam.
Aku
tidak tahu di mana perasaan para zionis Israil yang begitu kejam tidak
berperasaan. Mereka tidak malu menodongkan senjata pada pendekar cilik
tidak berdosa. Rasanya aku ini ingin meronta dan melarikan diri saja
untuk menyelamatkan mereka, tapi apa daya, aku tidak bisa berbuat
apa-apa. Aku hanya bisa melihat tanpa bertindak.
Di
depan mataku, kini terlihat pemandangan yang sudah lazim di tanah
Palestina ini. Seorang anak kecil yang membangunkan ayah dan ibunya agar
kembali membuka mata.
“Ayah, Ibu, bangun.” Isak tangis terdengar jelas. Gadis kecil berkerudung itu mengguncang-guncang tubuh ibunya.
Sungguh
pemandangan yang membuat miris. Kemudian segerombol ziois Israil
datang. Tanpa berpikir panjang mereka menodongkan pistol pada gadis
berkerudung yang malang.
“Allahhu akbar. Laa ilaaha illahhah,” gadis itu meninggal dengan menyebut asama Tuhannya.
Duaarrr!
Peluru ditembakkan tepat di pelipis gadis berkerudung itu. Sungguh
biadad mereka. Tidak bermoral dan tidak berperasaan. Aku menangis pilu
dalam hati. Sakit hati ini, ketika aku tidak bisa membantu dan hanya
bisa mendoakan dari jauh.
Kini
pandanganku beralih kepada sederet tenda-tenda yang menjadi tempat
penampungan para pejuang Palestina. Luka di sana-sini tidak menjadikan
mereka kendor untuk berjuang demi kebebasan negaranya.
“Jangan takut kawan, kita bersama Tuhan kita, insya Allah ini adalah Jihad Fisabilillah.”
“Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaaahu akbar!”
Aku
mendengar keyakinan mereka yang begitu berani dan penuh percaya diri.
Walau seditik kemudian aku melihat nyawa itu sudah tidak lagi satu
dengan sang raga.
Aku
tertunduk tidak berdaya, ketika kembali serangan dilancarkan untuk
membumi hanguskan Palestina agar merata menjadi tanah. Para antek Israil
sudah siapa dengan senjata yang diperlukan. Mereka berjalan penuh
kesombongan menuju rumah warga sipil. Membantai mereka dengan otak
dingin.
Sekarang
tinggal menuggu waktu para zionis Israil memuntahkan bom waktu untuk
meratakan negara Palestina ini. Aku menunggu dengan berpaju jantung
berharap ini tidak perlu terjadi. Kenapa harus ada perang jiwa yang
didapat hanya luka dan pembantaian. Kenapa harus ada perang yang
menimbulkan sakit yang berkepanjangan.
****
waktu
pagi sudah hampir tiba, dan aku harus beraksi dengan kemampuan yang aku
punya meski aku tidak ingin, aku tidak bisa apa-apa aku tidak bisa
melawan kemauan zionis Israil yang memiliki adidaya.
Aku
tahu rencana busuk yang mereka sembunyikan. Seandainya aku bisa, ingin
kusampaikan kabar ini untuk warga Palestina agar segera mengosongan
tempat ini mencari perlindungan. Andai aku bisa, akan aku gagalkan misi
ini agar zionis Israil tidak bisa menyentuh dan menghancurkan Negara
ini. Andai aku bisa, mugkin aku tidak perlu diciptakan.
Namun,
aku hanya sebuah bom waktu, yang setiap saat harus siap dilempar untuk
menghancurkan bumi Palestina. Meski berontak, itu tidak ada gunanya.
Walau, tidak ingin melakukannya, aku hanya sebuah benda yang mereka
ciptakan untuk senjata perang. Sungguh aku ingin berontak dan tidak mau
diperbudak oleh nafsu jahat mereka.
Inilah
alasan kenapa aku tidak bisa membantu para pejuang Palestina yang
syahid dihadapanku. Hanya bisa diam menyaksikan semua kekejaman akibat
perbuatanku. Meski, memberontak memohon agar jangan dilemparkan, mereka
tidak medengar.
Mereka hanya
memikirkan keegoisan yang dimiliki, tanpa mau mengerti bahwa aku sangat
lelah menjadi budak pencabut nyawa orang-orang tidak bedosa. Andai aku
mampu.
No comments:
Post a Comment