Saturday 28 May 2016

[Resensi] Ketika Secercah Cahaya Menyapa Sang fotografer

Judul buku                  : Merindu Cahaya de Amstel
Penulis                         : Arumi E
Penerbit                       : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan                       : 1, September 2015
Halaman                      : 272 hlm
ISBN                           : 978-602-03-2010-6

Jika kesadaran yang datang pada seseorang  bisa diatur kapan akan menyapa. Mungkin, sebuah penyesalan tidak akan pernah datang. Tapi sebuah kehidupan memang tidak mungkin berjalan sesuai keinginan satu orang. Ada Tuhan yang selalu mengatur jalan untuk hamba-hamba-Nya. Lalu apa yang akan terjadi jika kesadaran datang terlambat?

Nicolaas Van Djik adalah seorang penyuka Street photography. Karena menurutnya, di jalan, terkadang dia akan menemukan sesuatu yang tidak terduga menjadi sebuah gambar yang menarik setelah terekam dalam kameranya. Dan sore itu ada  satu gambar yang menurut Nico sangat menarik. Dia mendapat gambar gadis berkerudung  secara tidak sengaja. Gambar dengan semburat cahaya yang mengelilingi tubuh gadis itu. Cahaya yang mengingatkannya tentang tokoh-tokoh suci. (hal. 6)

Penemuan foto itu membuatnya penasaran dan kembali mencari gadis itu, yang kemudian diketahui bernama Khadijah atau Marien Veenhoveen. (hal.20) Sosok yang kemudian mengingatkan Nico pada ibunya, yang sudah meninggalkannya sejak kecil. Membuatnya terluka karena merasa ditelantarkan, tanpa alasan yang masuk akal. Ibunya baru menyadari bahwa seseorang yang berbeda agama itu tidak boleh menikah. (hal.23) Sehingga ibunya memilih bercerai dan  kembali ke Indonesia dan meninggalkan dia dan ayahnya. Hal yang kemudian membuat Nico merasa alergi dengan Islam dan tidak percaya Tuhan.

Tapi melihat  Khadija saat ini, membuat Nico tertegun. Dia gadis Belanda. Lalu apa yang membuatnya tertarik dengan Islam? Bahkan cara  berpakaiannya. Tertutup lalu memakai hijab. Sama dengan ibunya. Nico  sungguh tidak habis pikir kenapa Khadijah memilih jalan berbeda dengan kebanyakan gadis di Belanda. Kenapa dia tertarik Islam sampai rela meyakininya.” (hal. 24) Bahkan dengan segala batas-batasan pergaulan yang sempat Khadijah beritahukan padanya. “Aku tidak boleh pergi hanya berduaan dengan lelaki yang bukan mahram.” (hal. 57)

Nico pun semakin kagum dengan keteguhan Khadija. Hingga membuat dia semakin tergelitik ingin mengetahui tentang agama yang dianut ibunya—Islam. Karena gadis itu pula yang mengantarkannya pada pencarian ibu bersama seorang teman yang pernah Khadija kenalkan—Mala yang kebetulan gadis keturunan Indonesia yang berasal dari Yogyakarta.  Namun ternyata dalam pencarian itu tidak seindah yang Nico harapankan. Ketika dia ingin berdamai dengan kenangannya, Tuhan seolah belum mengizinkan. Nico menggugat. Meluapkan kekesalannya pada Khadija yang mengajarinya tentang sebuah harapan. Dengan sabar Khadija mencoba menghiburnya. Dia tidak ingin Nico menyalahkan Tuhan. Keteguhan Khadija pun semakin mengusik rasa penasarannya. Ditambah lagi sepupu Khadija pun pada akhirnya ikut menjadi mualaf. Ada apa di balik Islam, sehingga mampu membuat seseorang berubah.  Bagaimana kelanjutan perjalanan Nico dalam menuntaskan rasa penasarannya tentang Islam, apakah dia akan menerima secercah cahaya yang menyapa atau menolakanya?

Novel bertemakan religi yang manis. Ada cinta, persahabatan dan impian yang digambarkan di sini. Pengambaran setting juga dipaparkan dengan baik, sehingga pembaca seperti digiring ke Belanda. Memakai gaya bercerita yang  renyah dan tidak menggurui. Seperti yang digambarkan pada sosok Khadijah, dia tidak pernah memaksa temannya Mala untuk tampil sepertinya dirinya, meskipun Mala sejak awal beragama Islam. Khadijah membiarkan Mala memilih jalannya sendiri. Berkembang dengan perjalalan hidup yang dilalui. Begitupun kepada sepupunya dan Nico. Masalah keyakinan itu tidak boleh dipaksa.

Dalam novel ini pun banyak pesan yang bisa dimbil.  Di antaranya, Saling menghargai pilihan yang ada. “Aku tidak akan memaksamu menjalani hidup seperti aku. Karena yang akan menjalani hidupmu adalah kamu sendiri. Kamu yang paling tahu seperti apa cara hidup yang paling nyaman untukmu.” (hal. 99)

Bahwa masa lalu tidak harus dijaikan penghambat untuk memperbaiki diri. Dan untuk memperbaiki diri pun juga memerlukan proses dan tidak instan. Sama halnya dengan penjarian jati diri; tentang keyakinan  yang tidak bisa didapat semudah membalik telapak tangan. “Tidak usah terburu-buru dan tidak perlu memaksakaan diri. Soal keyakinan adalah soal hati. Biarkan hatimu mencari sendiri apa yang paling nyamaan untuk kamu jalani.” (hal. 239-240). Hanya saja cerita ini agak lamban, namun tidak mengurangi keasyikan membaca. Banyak pesan-pesan membangun. Recomended. 


Ratnani Latifah, Penikmat buku dan penyuka literasi dari Jepara.

Dimuat di Koran Pantura. Senin, 16 Mei 2016



3 comments:

  1. Sudah mampir, Mbak. Oke selalu-lah, tulisannya. Sukses teruuuss. ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah mampir Mbak, ^_^ masih harus banyak belajar lagi ^_^

      Delete
    2. Aamiin. dan sukses selalu buat sampeyan juga ^_^

      Delete