Sunday 15 May 2016

[Resensi] Mengemas Mitos dan Magi dalam Cerita

Judul               : Magi Perempuan dan Malam Kunang-Kunang
Penulis             : Guntur Alam
Editor              : Yemima Lintang
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : Pertama, Agustus 2015
Halaman          : 176 hlm
ISBN               : 978-602-03-1939-1

Magi  adalah sesuatu yang diyakini masyarakat sebagai suatu hal yang bisa menimbulkan kekuatan gaib, sehingga bisa mempengaruhi alam, pikiran dan tingkah laku manusia. Sedang Mitos adalah cerita yang disinyalir tentang para dewa dan pahlawan zaman dahulu, tapi memiliki makna yang mendalam tentang asal usul suatu alam, manusia dan bangsa dan bersifat gaib.

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap masyarat dari berbagai suku pastinya memiliki magi dan mitos tertentu yang dipercayai. Karena cerita mitos semacam itu biasanya diceritakan turun temurun dari generasi ke generasi. Sehingga cerita semacam itu akan selalu melekat.

Hanya saja bagaimana jika cerita yang bermula dari mitos dan magi itu diceritakan kembali dalam sebuah cerita pendek—difiksikan? Apakah akan ada perbuahan yang terjadi pada kisah-kisah itu dan  bagaimana para sastrawan mengubahnya menjadi karya sastra yang lebih menarik?

Kumpulan cerpen berjudul Magi Perempuan dan Kunang-Kunang karya Guntur Alam, sedikit banyak mengambil tema mitos dan magi dalam cerita-cerita yang dibuatnya. Memuat 21 cerita pendek  yang dikemas dengan gaya bahasa yang renyah serta dengan ending yang tidak terduga.  Selain itu Guntur Alam memiliki ciri lokalitas yang kental dalam cerpen-cerpennya, sehingga memiliki keunikan tersendiri dari penulis lainnya.

Sebut saja cerpen berjudul Peri Kunang-kunang. Konon kunang-kunang itu berasal dari kuku orang mati. (hal. 12) Begitulah kabar yang tersiar. Dan cerita kunang-kunang ini memiliki ikatan yang kuat tentang seorang bujang lapuk yang tinggal sendirian. Katanya, jika melewati rumah bujang lapuk itu harus hati-hati. Karena pagar dari rumah itu bisa bergerak dan memanjangkan sulurnya dan meliliti siapa saja. Lebih mengerikan lagi, katanya kalau yang mengganggu, bujang lapuk itu akan memasaknya dalam periuk. (hal. 13)  Demi membuktikan hal itu sekumpulan bujang-bujang tanggung mengintai. Hanya saja dalam pengintaian Halik dan Pebot tertangkap lelaki bujang itu.

Ada pula kisah Tem Ketetem.  Ada sebuah kisah yang mengatakan,  malam ketika bulan pucat mengembang adalah petekala yang harus dihidarkan bagi para bujang. (hal. 18)  Ada sebuah petuah dan larangan yang diperuntukkan untuk bujang-bujang itu. “Jangan jatuh tidur, Bujang! Bulan pucat tengah penuh mengembanga di kelas raya. Bila kau pantang, kau akan bangun esok paginya dengan dunia pekat selama-lamanya!” (hal. 19)

Petuah itu terjadi karena sebuah kisah yang sungguh memilukan. Tentang seorang gadis bernama Ketetem—perawan paling cantik yang memiliki nasib nahas sehingga melahirkan dendam kesumat yang ingin dituntaskan. 

Atau cerpen berjudul Anak Pintaan. Anak Pintaan sendiri berarti anak yang didapat oleh orangtua yang bermunajat pada Tuhan agar dikarunai anak laki-laki. Orang melayu di dusun Tanah Abang, Sumatera Selatan percaya bahwa anak pintaan merupakan reinkarnasi leluhur. (hal.  159)  Ada juga kepercayaan bahwa memiliki anak pintaan itu berarti harus siap membayar dengan nyawa, sebagai gantinya.

Cerita- cerita dalam kumpulan cerpen ini  dipaparkan Guntur Alam dengan sangat piawai.  Dari gaya bahasa, plot sampai permaninan endingnya.  Yang lebih membuat cerpen-cerpen ini menarik adalah, pemilihan judul yang menarik juga pembukaan cerpen yang memikat, membuat siapa yang membaca tertarik untuk membaca dan menyelesaikan ceritanya.

Memang dalam urusan menulis cerpen, Guntur Alam sudah tidak lagi diragukan. Banyak tulisanya yang sudah dimuat di media cetak. Sebut saja Kompas, Republika, Tempo, Jawa Pos dan masih banyak lagi. Dan selama empat tahun berutur-turut,   cerpenya terpilih  dalam cerpen pilihan Kompas.  Bagi penikmat kisah-kisah mistis dan mengenalkan mitos, buku ini sangat recomended dibaca.

Selain menyajikan kisah berbau mitos dan migi, cerpen-cerpen ini juga memiliki pesan tersirat yang bisa diambil keteladanan. Seperti; anjuran untuk menjaga pandangan mata, agar tidak menimbulan bencana. Tidak bermain sampai waktu menjelang senja, mengkuti nasihat orangtua juga tentang ke-tauhid-an. “Guru agama Islam di sekolah melarang mempercayai reinkarnasi, tak ada sesajen.” (hal. 160)


Srobyong, 5 Mei 2016 

Dimuat di Radar Sampit, Minggu 8 Mei 2016

4 comments:

  1. Waaah novelnya unik nih, karena ceritanya beda dari cerita biasa yaaaa. Ntr cari ah. Makasi reviewnya maaaak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama, iya ini kumcer yang unik. Terima kasih sudah mampir ^_^

      Delete
  2. Menarik ini kumcernya... dr judul berbau mistis

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya sebagian besar kumcer ini memang mengemas mitos dan mistis ditambah lokaliatas yang kental sehingga asyik dinikmati. terima kasih sudah mampir ^_^

      Delete