Sunday 1 May 2016

[Resensi] Antara Cinta, Kebohongan dan Trauma Masa Lalu


Judul               : Cincin Separuh Hati
Penulis             : Netty Virgiantini
Editor              : Husfani Putri & Astheria Melliza
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : Pertama, September 2015
Halaman          : 280 halaman
ISBN               : 978-602-03-1932-2
Peresensi         : [Ratnani Latifah, penikmat buku dan penyuka literasi Alumni Unisnu Jepara]

Masa lalu yang kelam kadang memang bisa menjadi trauma yang mendalam bagi siapa saja. Tapi haruskah hidup  itu terjebak pada masa lalu dan menjadi budak ketakutan?

Novel ini menceritakan tentang Nilam yang selalu terjebak dengan masa lalunya—perceraian orangtuanya. Dia selalu takut menjalin komitmen dengan seorang laki-laki karena melihat betapa ibunya harus sakit hati karena dikhianti ayahnya. Dia trauma. Setiap mengingat pengkhianatan sang ayah, dia selalu berkeringat dingin dan mendadak pusing disertai mimpi buruk.  Pengkhianatan ayahnya yang selingkuh itu mengakibatkan ibunya keguguran dan kemudian meninggal, hal itu sungguh menjadi momok ketakutan dan kekhawatirannya. Itulah yang kemudian membuat Nilam bertekad untuk tidak menikah.  (hal. 12)

Lalu pada suatu waktu, Nilam dibingungkan dengan acara reuni yang mau diadakan teman-temannya semasa SMA. Dia sangat ingin datang dalam reuni itu, tapi masalahnya dia tidak mungkin datang sebagai jomblo. Meski dia sendiri tidak bermaksud mau berhubungan dengan laki-laki. Masalah tekadnya untuk tidak menikah adalah hal pribadi dan dia tidak ingin mengumbarnya. Dulu dia selalu bisa menghidari pertanyan permasalahan itu dengan bilang masih menunggu yang cocok di hati. (hal. 13) Namun kali ini sepertinya tidak akan semudah itu.

Demi melindungi gengsi dan bisa menghadiri reuni, akhirnya Nilam menciptakan sebuah kebohongan. Dia mendapat sebuah cincin separuh hati dari  Kanti, istri kakak sepupunya. Dengan cincin itu dia membuat kebohongan. Kebohongan yang kemudian membuat dunianya berubah. Dengan percaya diri dia mengumumkan bahwa dia bertunangan dengan Aryobimo. Dia tidak sadar bahwa apa yang dilakukannya telah mengubah dunianya.

Seseorang yang bernama Aryobimo datang memintanya untuk bertanggung jawab. Karena akibat kebohongannya rumah tangga laki-laki itu diambang kehancuran.  (hal. 43). Bingung dan tidak menyangka itulah yang kemudian Nilam rasakan. Pertemuannya dengan Aryobimo mengubah jalan hidupnya. Laki-laki itu mengajarinya arti bersyukur terhadap segala masalah yang telah dialaminya dan menyadarkannya bahwa akhir sebuah cinta akan selalu sama seperti yang terjadi pada keluarganya. Bahwa setiap orang memiliki jalan cintanya sendiri-sendiri.

Belum selesai satu masalah, seorang laki-laki datang dan mengaku sebagai adiknya. (hal. 69) Dan memintanya untuk menemui sang ayah yang sakit keras. Tentu saja dia menolak. Dia tidak akan menemui laki-laki yang telah menyakiti dia dan ibunya.  Cerita masa lalu itu pun kembali menjadi hantu bagi kehidupan Nilam. Entah bagaimana Nilam menghadapi bayang-bayang masalalunya. Juga kebohongan-kebohongan yang sudah ditanamnya.  Bisakah dia bisa berdamai dengan waktu atau terus terjebak dalam bayang masa lalu? Juga tentang sebuah perasaan yang kemudian dia sadari bahwa separuh hatinya mengharapkan laki-laki bernama Aryobimo untuk selalu di sisinya.

Novel ini mengajak mengingat tentang apa yang terjadi pada orangtua itu akan selalu diingat anak. Ketika sebuah pernikahan tidak berjalan baik misal terjadi perceraian, pengkhianatan anak akan selalu menjadi korban. Menimbulkan trauma yang akan selalu menjadi bayang-bayang.  Karena itu sudah seharusnya orangtua sudah sewajarnya memikirkan dulu sebelum mengambil keputusan.

Selain itu, novel ini juga memiliki banyak pesan yang bisa diambil.  Antaranya; mengajarkan untuk selalu jujur, karena satu kebohongan akan menciptakan kebohongan yang lain, lalu untuk tidak terjebak masa lalu. “Setiap orang punya garis hidup sendiri-sendiri. Ada takdirnya masing-masing.” (hal. 104) Karena masa lalu hanya akan menjadikan seseorang tertekan, menyimpan dendam. Bahwa masa lalu  harusnya dijadikan pengalaman untuk menjalani hidup yang lebih baik.  “Kita memang nggak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa belajar untuk nggak mengulanginya lagi. Dalam hidup ini, nggak ada jaminan yang pasti untuk sebuah hubungan. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan? Yang kita lakukan hanya berusaha untuk mempertahankannya. Kalau akhirnya terjadi perpisahan, itu sudah risiko dari sebuah hubungan.” (hal. 239) Ada juga pesan yang termaktub dalam kalimat ini, “Janji yang  nggak membawa kebaikan, lebih baik dilepaskan.”  (hal. 260)


Novel ini diceritakan dengan gaya bahasa yang asyik dan mudah dicerna.  Memiliki banyak pesan moral yang bisa diambil manfaatnya, hanya saja endingnya memang mudah ditebak, tapi tetap tidak mengurangi keasyikan membaca untuk menuntaskan cerita ini. Penulis mampu mengajak pembaca untuk ikut merasakan emosi para tokoh. Recomended. 

Dimuat di Koran Pantura; Edisi; Rabu, 27 April 2016 

2 comments: