Thursday 4 October 2018

[Resensi] Ziarah Sebagai Jalan Perenungan Diri

Dimuat di Tribun Jateng, Minggu 2 September 2018


Judul               : Ziarah
Penulis             : Iwan Simatupang
Penerbit           : Noura Books
Cetakan           : Pertama, September 2017
Tebal               : 224 halaman
ISBN               : 978-602-385-334-2
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Ini merupakan naskah asli ketika mengirim, sebelum dipotong oleh redaksi dan dimuat :) 

Novel ini merupakan peraih Roman ASEAN Terbaik 1977. Dengan tema yang sederhana dia mampu menghasilkan sebuah kisah yang tidak biasa. Ziarah yang kita ketahui memiliki hubungan erat dengan kebiasaan kita untuk mengunjungi makam—baik makam keluarga, tokoh agama. Di mana tujuan kunjungan itu adalah untuk  mendoakan dan memohon berkah pada tokoh-tokoh agama. selain itu ziarah juga salah satu hal yang mengingatkan kita bahwa pada akhirnya nanti kita juga akan mati. Untuk itulah kita memerlukan perisapan dan bekal yang cukup untuk menghadap Tuhan.

Namun dalam novel ini ziarah memiliki makna yang lebih mendalam dan tidak biasa.  Belum lagi dalam novel ini penulis tidak memberikan nama-nama tokoh, secara gamblang.  Sehingga kita harus siap untuk berpikir lebih dalam untuk memahami apa yang ingin disampaikan penulis lewat kisah ini.

Sejak kematian istrinya, mantan pelukis itu menjadi sosok yang berbeda.  Di pagi hari dia akan ceria layaknya manusia normal. Dia  bekerja dengan rajin, mengecat dan mengapur rumah, atau bekerja serabutan lainnya. Yang terpenting dia tidak diminta untuk menggali kuburan. Itu adalah jenis pekerjaan yang sangat dia hindari.  Sedang di malam hari, dia akan menghabiskan uangnya untuk membeli tuak. Dia akan meminumnya hingga mabuk, lalu berteriak memanggil nama istrinya, dan Tuhan sambil menangis. Namun tidak lama kemudian dia akan  tertawa keras (hal 14).

Padahal sebelum istrinya meninggal, dia adalah seorang pelukis yang sangat berbakat dan mempunyai masa depan cerah.  Tersebab kematian istrinya, dia meninggalkan pekerjaan itu dan mengubur semua lukisannya. Dia menyatakan bahwa dirinya tidak berbakat pada bidang lukisan.

Namun suatu hari, seorang opseter datang dan mengajak si mantan pelukis untuk bekerja padanya. Dia meminta si mantan pelukis untuk mengapur seluruh tembok luar perkuburan kotapraja, yang tanpa dinyana langsung disetujui si mantan pelukis. Dan inilah awal mula perubahan sikap si mantan pelukis setelah ditinggal mati istrinya. Dia tidak lagi berteriak sambil menangis atau tertawa. Tapi dia mulai bersikap sopan, yang membuat semua orang bingung.  Tidak hanya itu si mantan pelukis ini juga berhasil membuat wali kota kebingungan dan  banyak berbagai kejadian ajaib yang terjadi karena si mantan pelukis, yang membuat warga geger.

Membaca novel ini saya seperti masuk pada labirin panjang, dan tidak tahu kapan bisa keluar.  Ketika saya membaca ulasan dari para penikmat buku, mereka dominan mengatakan bahwa buku ini bagus dan menarik untuk dibaca. Hal itu pula yang melatar belakangi saya untuk membeli buku ini. Di sisi lain saya juga penasaran dengan judul novel “Ziarah” yang sangat menggelitik tersebut. Akan tetapi saya cukup kaget, ketika apa yang saya bayangkan tidak sesuai dengan isi dari novel ini.   Mungkin hal ini dikembalikan kepada masalah selera masing-masing pembaca. Saya sendiri, merasa buku ini agak berat dan perlu pendalaman yang lebih untuk memahami keseluruhan kisah.

Namun lepas  dari masa itu, saya cukup terhibur dengan kisah ini. Ada bagian yang lucu, ada juga bagian yang bikin tegang. Saya menikmati sindiran halus tentang masalah tata negara dan bagaimana ambisi seseorang untuk meraih kedudukan juga bisa kita temukan di dalam novel ini.  Melalui kisah ini penulis juga mengkritisi cara berpikir kebanyakan manusia yang hanya melihat sesuatu dari satu sisi saja. Misalnya saja tentang calon sarjana filsafat  dan merupakan anak orang yang ingin jadi opseter penjaga kuburan atau pilihan si mantan pelukis yang ingin bunuh diri dan banyak kejadian lain dalam novel ini.

Tidak ketinggalan melalui novel ini kita diajak untuk siap menerima segala takdir Tuhan dan ikhlas menerika kematian yang bisa datang sewaktu-waktu.  Karena kematian mutlak akan terjadi pada manusia.  Dan ziarah adalah jalan perenungan. Ke mana pun langkah kita teriring, kita telah melakukan ziarah.

Srobyong, 26 Agustus 2018

No comments:

Post a Comment