Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 26 Agustus 2018
Judul : Hatta : Aku Datang Karena
Sejarah
Penulis : Sergius Susanto
Penerbit : Qanita
Cetakan : Pertama, Januari 2018
Tebal : 364 halaman
ISBN : 978-602-402-096-5
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumna Univeritas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Salah satu tokoh proklamator Indonesia adalah
Mohammad Hatta. Dia lahir di Aur Tajungkang, Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Dia adalah sosok sederhana, nasioanalis dan memiliki prinsip yang kuat. Meski sering
dibujuk rayu Belanda dan Jepang untuk bekerjasama, atau diajak melakukan
hal-hal yang menyimpang dari demokrasi dan asas pancasila, Hatta selalu menolak
dengan tegas.
Sayangnya tidak banyak buku yang membahas tentang
wakil presiden pertama Indonesia, yang kerap disebut sebagai Gandhi of
Indonesia. Hal itulah yang kemudian
mendorong Sergius Sutanto, mencoba
mengenalkan lebih dalam tentang
sosok Hatta, lewat buku ini. Dengan paparan
yang apik, lugas dan aktual, penulis memaparkan kisah hidup Hatta yang sangat
menginspirasi. Serta kiprahnya dalam pergerakan nasional.
Masa kecil Hatta dihabiskan di tanah kelahirannya
dengan bekal pendidikan agama yang kuat. Pada 1921, ketika mengenyam pendidikan
di Handels Hoge Schol di Rotterdam, Belanda, Hatta bergabung dengan Indonesische
Vereeniging—yang kemudian dikenal sebagai Perhimpunan Indonesia—PI. Tahun 1926
ketika Hatta terpilih menjadi ketua PI, dia langsung menggencarkan aksi
propaganda luar negeri dalam bidang politik. Tujuannya untuk memperkenalkan nama ‘Indonesia’ kepada
dunia internasional (hal 100). Selain
itu dia juga menerbitkan Gedenkboek
yang bertujuan untuk membuka telinga
pemerintah Hindia mendengarkan suara perjuangan para pemuda Indonesia.
Namun karena hal itu, Bung Hatta dimasukkan ke
penjara di Casuaristraat. Dia didakwa
tiga tuduhan, yaitu : menjadi
anggota perhimpunan terlarang, terlibat dalam pemberontakan dan
penghasutan untuk menentang kerajaan
Belanda (hal 102). Akan tetapi, kejadian
itu tidak pernah menyurutkan niat perjuangan Hatta dalam upaya membebaskan
Indonesia dari penjajahan.
Setelah bebas dan kembali ke Indonesia bersama
Syahrir—sahabat dekatnya, Hatta membangun organisasi bernama Pendidikan
Nasional Indonesia—PNI. Di mana organisasi ini lebih menekankan pada pendidikan
kader. Menurut Hatta, “Bukan hanya pemimpin yang harus berjuang, rakyat pun
mesti turut berjuang. Ada suatu kebenaran yang sering dilupakan, kemerdekaan
Indonesia tidak dapat dicapai oleh para pemimpinnya saja, melainkan oleh usaha
dan keyakinan rakyak banyak. Nasib rakyat Indonesia dalam genggaman tangan
rakyat sendiri.” (hal 163).
Namun lagi-lagi jalan perjuangan yang dia lalui
tidak mudah. Dia dan Syahrir ditangkap tentara Belanda dan dibuang di Digul, kemudian dipindah ke Banda Neira, lalu
Penjara Glodok hingga Pulau Bangka. Pada
masa itu Belanda gencar mengajak Hatta bekerjasama, agar masa pengasingannya
dikurangi. Namun Hatta dengan tegas menolak
tawaran tersebut.
Meski berkali-kali diasingkan, Hatta tidak pernah
gentar. Dia tetap menyuarakan pendapatnya agar warga Indonesia tidak memihak
kepada Belanda atau Jepang. Menurutnya
para penjajah itu tidak ada yang bisa dipercaya.
Salah satu tokoh pergerakan yang dekat dengan Hatta
selain Syahrir adalah Soekarno. Meski kerap berseberangan pendapat, mereka sering
berdiskusi tentang berbagai hal termasuk
jalan untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan. Dan perjuangan mereka
akhirnya terbayar ketika tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia telah
diproklamasikan.
Tapi setelah 11 tahun menjadi wakil presiden, pada 1
Desember 1956, Hatta memutuskan mundur dari jabatannya. Hatta mengaku, karena ‘kemanusiaan’-lah dia
memilih mundur. Menolak segala bentuk penyelewengan, penyimpangan, keserakahan,
dan kesombongan sebagai akibat ketidaktahuan. Terlebih, pada satu setan yang
mengambil rupa : korupsi (hal 25).
Kala itu Hatta memang sudah tidak sejalan dengan
cara kepemimpinan Soekarno yang mulai mendekat pada komunis dan terlalu
otoriter. “Penderitaan seharusnya membukakan mata pada makna kemanusiaan.
Tapi mengapa orang-orang istana justru gemar menciptakan kesakitan pada rakyat
banyak?” (hal 23).
Ketika Hatta berusaha mengingatkan, Soekarno tidak
pernah memedulikan nasihat sahabatnya tersebut.
Yang ada Hatta malah mulai tersingkir, tidak boleh mengajar di Universitas
Gajah Madah, karena dia berseberangan dengan kebijakan Demokrasi Terpimpin (hal 284). Meski begitu Hatta tidak pernah membenci
Soekarno. Dialah pemimpin dengan jiwa welas asih dan pemaaf. Buku ini membuat
kita semakin mengenal sosok Hatta yang sederhana, bersahaja, teguh dalam
prinsip dan tidak mudah digoyahkan.
Srobyong, 8 Maret 2018
No comments:
Post a Comment