Friday 5 October 2018

[Cerpen] [Cerma] Insiden Sepatu

Dimuat di Analisa Medan, Minggu 9 September 2018 


*Ratnani Latifah
            Vania memperhatikan deretan sepatu yang ada di hadapannya. Sangat manis dan menggugah selera. Dia melihat dengan seksama model-model flat shoes yang membuat dia makin tergiur. Padahal sudah berpuluh sepatu yang Vania koleksi untuk memadukan dengan setiap baju yang dibeli.
            Mata itu makin mengawasi dengan jeli, melihat sepatu flat warna ungu yang selalu menjadi candu.
            Ketika dia akan mengambil sepatu itu, ternyata tangan seorang cowok mendahului dia dengan cepatnya. Vania terbengong. “Cowok ini lancang sekali.” Vania menggerutu sendiri.
            “Maaf, itu sudah mau gue ambil.” Vania meminta sepatu itu.
            “Tapi, gue yang mengambil duluan.” Cowok itu tidak mau kalah.
            Vania sebal bukan main, apalagi itu model terbaru  Flat Geearsy yang selalu dia tunggu. Dengan warna ungu yang makin membuat dia harus memilikinya.
            “Loe mengambilnya setelah gue pegang. Sini berikan!” Vania berusaha merebutnya. Tapi, cowok itu tetap tidak mau kalah untuk mempertahankannya.
            “Loe kan cowok kenapa tidak mencoba mengalah sedikit dengan cewek sih,” gerutu Vania kesal.
            “Lagipula, buat apa Loe beli sepatu cewek.” Cibir Vania. Cowok itu bukannya menjawab, malah menatapnya Vania dengan  tajam.
            “Bukan urusan Loe,” ucapnya ketus.
            Perdebatan mereka untuk mendapatkan sepatu itu membuat karyawan di toko itu turun tangan untuk memisahkan. Mereka mencoba melerai dan memberi pilihan. Namun sayang, Vania dan cowok itu sama-sama menolak. Karena yang mereka inginkan sepatu itu yang ternyata stocknya tinggal satu dengan ukuran yang sama yang mereka ingin beli. Jadi tidak mungkin diganti.
            Vania dengan muka ditekuk, mencoba mengikhlaskan sepatu flat itu untuk cowok yang menyebalkan yang tidak mau mengalah. Dia pulang dengan tangan kosong tanpa membeli apapun, karena dia sebenarnya masih mengharap sepatu itu.
            “Aaaaaaaa!!” teriak Vania sendiri. Dia meninggalkan toko dengan kecewa. Dia bersumpah tidak akan melupakan cowok brengsek yang tidak punya hati, yang tidak mau mengalah dengan cewek.
            Vania, kini melangkah untuk pulang ke rumah. Dia mau merelaxkan sebentar pikirannya yang masih panas.
            Sesampainya di rumah dia tidak mengindahkan panggilan Radit—kakaknya. Vania langsung pergi begitu saja untuk masuk ke sarangnya.
            “Va, dipanggil kok ngeloyor sih.” Radit mengingatkan adiknya.
            “Vania lagi kesal Kak, nanti aja kalau udah adem.” Vania tidak mempedulian kakaknya.
            Radit mengalah membiarkan Vania mendinginkan otak. Kalau dia mengganggu malah bisa dapat semburan pedas yang berujung adu mulut tak terelakkan.
            Ketika jam makan malam, Vania baru keluar dari persembunyian. Suara peut yang tidak mau berkompromi membuat dia harus keluar demi sesuap nasi. Rasa marah ternyata membuat kelaparan juga.
            “Kenapa Va? Dari pulang sekolah kok  uring-uringan? Lagi dapet ya? Atau ada tugas fisika? Loe kan suka stres kalau harus ngerjain fisika.” Radit mendekati adiknya, mencoba meledek. Vania mengangkat bahu.
            Dia duduk di ruang tengah menungggu panggilan Bunda untuk makan malam bersama. Radit masih berusaha membujuk, dia tahu Vania tidak akan betah menyembunykan masalah dari dia.
            Benar saja, lima menit kemudian, cerita insiden sepatu itu meluncur begitu saja dari bibir mungil Vania. Dia menceritakan semua detil kejadian yang dia lalui. Rencana awal saat ke toko untuk hunting sepatu menjadi gagal total, karena ulah cowok sableng yang merusak mood Vania hilang. Dia pulang tanpa membawa apa-apa kecuali kecewa yang berkepanjangan.
            Radit malah tertawa terbahak membuat Vania bingung dengan ulah Kakaknya.
            “Ich! Apa yang lucu coba Kak,  Vania sebal tahu,” Vania protes.
            “Kau ini Va, gara-gara masalah itu uring-uringan seharian? Lucu tahu, apalagi mendengar kalian cowok dan cewek bersitegang karena sepatu,” Radit kembali tertawa terbahak. Namun, langsung dihentikannya ketika melihat wajah Vania yang semakin lusuh saja.
            “Sudah ikhlaskan saja, nanti juga dapat gantinya.”
            Obrolan itu terhenti, ketika Bunda mereka memanggil menyuruh makan malam, segera mereka berbaur menuju ruang makan.
            “Hmm, baunya sedap sekali.” Vania mencium aroma masakan Bundanya. Segera dia melahap makan malam itu tanpa lupa memulai dengan basmalah.
            Malam itu, rasa kecewa Vania melebur dengan tawa renyah dari keluarganya.
~*~
            Vania terbelalak, dia ingat betul cowok berengsek yang berada di depannya. Pagi-pagi dia sudah harus berurusan dengan cowok menyebalkan itu. Salah apa dia kenapa dia harus melihatnya lagi. Di depan rumahnya lagi.
            “Sudah datang Lex.” Radit muncul dari dalam. Dia tersenyum menyambut Alex temannya.
            Vania melonggo, dia teman Kakaknya.
            “Kenalkan Va, dia ini disainer sepatu kenalan Kakak, karyanya keren-keren lho,” ucap Radit memperkenalkan.
            “Paling di koleksi sepatumu ada juga yang buatan tangan darinya,” Radit menambahkan.
            Vania hanya diam saja, mendengar penjelasan Radit tentang cowok bernama Alex. Disainer? Lalu kenapa dia kemarin harus berbut sepatu dengan dia? Tidak masuk akal. Vania bergelut dengan pikirannya sendiri.
            “Desainer Kakak bilang? Dia nih cowok kemarin yang buat Vania bad mood,” Vania berucap.
            “Adikmu Dit?” Alex membuka suara.
            “Dia tipe keras kepala,” ucap Alex pedas.
            “Apa? Loe tu cowok keras kepala, tak punya hati untuk sesama, egois!” Vania meladeni.
            Radit kini yang bingung, melihat dua orang di depannya yang saling adu mulut dengan ego masing-masing.
            “Bentar, bentar mungkin ada kesalah pahaman di sini,” Radit menengahi.
            Dia menatap Vania dan Alex bergantian. Dia harus mendamaikan anjing dan kucing ini.
~*~
Vania kaget ketika memasuki, Alexa shop, semua karyawan memberi hormat dengan takdim. Vania baru tahu kalau Alexa shop itu, milik Alex. Toko sepatu yang kemarin Varia datangi, bahkan sering dia datangi. Dia tidak tahu bahwa cowok yang bertengkar mulut dengannya kemarin dan tadi pagi adalah pemilih toko sepatu ini. Dia bertengkar dengan pemilik dan pembuat sepatu yang sering dia beli selalu. Hebat banget masih kuliah sudah punya usaha. Pikir Varia.
            Malu! Itu perasaan yang kini bertengger di hati Vania, mau di taruh mana mukanya sekarang. Apalagi saat ini semua mata tertuju padanya. Seharusnya tadi dia menolak untuk diajak ke sini.
            “Kak, kenapa Kak Radit tidak bilang.” Vania menyenggol kakaknya.
            “Kamu kan tidak tanya Va.” Radit membela diri.
            Mereka berjalan di belakang Alex yang mengantarkan mereka pada setiap inci  toko ini.
            “Kenapa kemarin tidak bilang kalau …,” ucapan Vania belum selesai.
            “Ini toko milik gue begitu?” Alex melanjutkan menatap Vania tajam. Vania mengangguk lemah.
            Alex kembali diam, tidak menjelaskan apapun tentang kepemilikan toko ini. Vania tidak tahu, kalau dari kemarin dia di beritahu, pasti kesalah pahaman ini tidak berujung panjang.  Di sini dia seperit mau diadili.
            “Dasar cowok Aneh!” Vania kembali menggerutu. Karena dia tidak tahu jalan pikiran Alex itu.
            Dia sendiri sekarang dianggurkan. Dia dan Radit asyik berbincang entah apa yang tidak Vania pahami. Dia perlahan mencoba menjauh dan memilih area lain untuk mencoba melihat pemandangan lain, dari pada menguntit mereka tanpa ada penjelasan.
            Namun, baru beberapa langkah Varia ingin kabur, Alex menangkap basah dia, hingga membuat Vania harus mengentikan langkah.
            “Mau ke mana Loe? Kabur? Malu?” ledek Alex.
            Cowok ini sungguh, mentang-mentang kaya, melakukan semaunya. Kenapa dia harus di hukum, dipermalukan. Dia kan tidak salah secara dia tidak tahu jati diri Alex sebelumnya. Curang!
            Mereka telah sampai di ruang kantor Alex. Mereka dipersilahkan masuk. Ruangan itu sangat luas dan penuh sepatu indah. Mata Vania berbinar. Dia melihat dengan takjub.
            “Semua buat Loe Va, juga Flat Geearsy warna ungu itu,” Alex berucap datar. Membuat Vania makin tidak mengerti maksud Alex.
            Kini mereka beradu pandang, Vania baru menyadari pesona wajah dan tatapan elang yang selalu menusuk dalam. Menatapnya dengan penuh sayang.
            Kejutan besar yang membuat Vania makin terperangah ketika semua ternyata sudah Alex rekayasa dengan Radit yang sudah tahu kalau Alex sudah jatuh cinta dengan Vania sejak dia menjadi pelanggan tetap di Alexa Shop. Semua dari insiden sepatu dan juga hari ini.
Srobyong, 25 Desember 2014 – September 2017

No comments:

Post a Comment