Friday 15 July 2016

[Review] Ketika Muslimah Harus Merayakan Idul Fitri di Luar Negeri


Judul               : Meniti Cahaya
Penulis             : Irene Dyah, dkk
Editor              : Gita Savitri
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : Pertama, September 2015
Halaman          : vii + 227 hlm
ISBN`             :978-602-03-1929-2
Peresensi         : Ratnani Latifah, penikmat buku dan literasi almuni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara

Bisa merayakan hari raya Idul Fitri  di negara sendiri bersama keluarga besar sudah pasti menjadi momen yang sangat dinantikan. Meminta maaf  pada orangtua, menikmati makanan khas lebaran dan berbagai kegiatan lain yang menyenangkan.  Namun, ternyata tak semua orang bisa melakukan ritual tersebut.  Apalagi jika bermukim di luar negeri yang tidak memungkinkan untuk pulang kekampung halaman. Lalu bagaimana rasanya melewati lebaran di tempat nan jauh?

Buku ini merupakan kisah nyata dari delapan muslimah yang harus bermukim di luar negeri—Perancis, Spanyol, Kuwait, Thailand, Jepang, Korea, Australia dan Amerika Serikat.  Mengisahkan tentang kekhawtiran mereka yang harus menjalani hidup baru sebagai kaum minoritas. Namun juga harus tetap berpegang teguh sebagai muslimah yang baik.   Salah satunya adalah tentang perayaan  Idul Fitri  yang jauh dari keluarga besar.

Sebagaimana yang dipaparkan Alfi yang harus bermukim di Prancis, bahwa  muslimah di sana jumlahnya tidak begitu banyak dan terbagi dari beberapa komunitas. Terkotak-kotak dari asal usul negara. Namun yang sangat disyukuri Alfi adalah label komunitas itu terhapus ketika shalat Idul Fitri. Meski tidak semudah itu membangun (meskipun bukan secara fisik) masjid di Prancis.

Dan Alfi bersyukur bisa melakukan shalat Idul Fitri di Konsulat Jenderal Marseille bersama penduduk Indonesia lain yang tidak cukup banyak. Di sana dia bisa silaturahim dengan saudara sebangsa sambil menikmati hidangan khas Indonesia yang disiapkan oleh staf konsulat.  Di mana hal itu bisa sedikit mengurangi akan kerinduan pada kampung halaman dan keluarga besarnya. (hal. 15)

Atau kisah Anne yang tinggal di Spanyol. Dia pernah berpuasa selama 18 jam pada bulan Ramadhan. Dan melaksanakan shalat Id di Kedutaan Besar RI dan suaminya harus izin terlambat ke kantor setelah shalat Id, karena kebetulan kala itu Idul Fitri jatuh pada hari senin. Untungnya untuk sekolah anak-anak masih libur karena bertepatan dengan liburan musim panas.  Di sana tentu tidak seperti di Indonesia yang menjadikan Idul Fitri sebagai libur nasional. Namun, hal yang disyukuri Anne adalah, dia bisa bersilaturahmi dengan warga Indonesia yang tinggal di negara itu. Juga berkenalan dengan Dubes RI untuk Spanyol juga staf KBRI lainnya. (hal. 44-45) 

Ada juga kisah yang dipaparkan Indah yang bermukim di Australia. Dia melakukan shalat Id yang berlokasi di gedung olahraga kampus yang disewa khusus dari pagi sampai siang.  Karena setelah melakukan shalat Id, ada juga acara kumpul bersama sambil menikmati santapan khas lebaran ala Indonesia.  (hal. 177)

Tidak kalah menyetuh adalah kisah Vika yang tinggal di Amerika. Betapa dia merasa sedih dan sepi. Karena dia tidak bisa mendengarkan gema takbir di setiap sudut kota selayaknya ketika dia tinggal di Indonesia. Bahkan ketika dia mengunjungi  Islamic Center of Rochester, dia tidak menemukan  wajah-wajah melayu untuk menghibur hatinya. Di sana lebih banyak  berasal dari Asia Selatan, seperti Bangladesh, India dan Pakistan. Namun Vika sedikit terhibur ketika menelepon ibunya di Indonesia dan menceritakan semua yang dia rasakan. Juga tetap bersyukur karena bisa merayakan idul fitri dengan suaminya setelah lama berpisah. (hal. 223)

Selain membahas tentang pengalaman mereka yang harus melalui Idul Fitri jauh dari keluarga. Ada juga kisah-kisah lain yang tidak kalah inspiratif yang akan membuat kita ternyuh. Bahwa  tinggal di tempat yang jauh dari kampung halaman membuat mereka semakin  menghargai tentang arti penting keimanan dan semakin memperbaiki kualitas diri.  Serta membuat mereka memiliki semangat yang sama. Ukhuwah lintas ikatan darah, lintas suku, bahkan lintas mazhab. Betapa indahnya persaudaraan dalam ikatan iman dan dalam lingkaran jemaah yang sama-sama mencintai Islam.

Beberapa kekhawatiran lain yang sempat ditakuti, semisal tentang masalah pandangan penduduk tentang Islam, makan halal dan bagaimana mendidik anak-anak tentang Islam pun alhamdulillah bisa teratasi dengan baik. Ternyata di luar negeri toleransi beragama benar-benar terjalin dengan baik.  Mereka saling menghormati tidak mendiskriminasi. Sebagaimana yang terjadi Thailand, Irene memaparkan bahwa bahwa negara itu menjamin penuh kebebasan beragama. Lalu menurut Arie di Jepang,  ternyata orang Jepang sangat menjaga etika dan perasaan orang lain. Mereka selalu berusaha untuk saling menghargai, meskipun terdapat perbedaan yang jelas. (hal. 113)  atau menurut Fina di Korea. Seorang penduduk lokal pernah berkata, “Kami mempercayai karma. Keharusan menghormati orangtua dan senior kami dijunjung tinggi. Berbuat baik juga wajib diajarkan sejak kecil.” (hal. 154)

Membaca buku ini saya menyadari bahwa, Islam is easy. Islam itu memudahkan. Tidak pernah mempersulit. Manusialah yang kadang mempersulit. (hal. 202) Di mana pun berada jika ada niat dan usaha, kita pasti bisa menjadi muslimah yang baik.


Srobyong, 4 Juli 2016 

Dimuat di Radar Sampit, Minggu 10 Juli 2016


No comments:

Post a Comment