Wednesday 27 July 2016

[Resensi] Mengungkap Kebenaran Dan Memperjuangkan Setitik Harapan


Judul               :  The Secret of Room 403
Penulis             : Riawani Elyta
Penerbit           : Penerbit Indiva
Cetakan           : Pertama, April 2016
Halaman          : 272 hlm
ISBN               : 978-602-1614-51-8
Perensi             : Ratnani Latifah, penyuka buku dan penikmat literasi, Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara.

Novel The Secret of Room 403 merupakan pemenang harapan pada Lomba Menulis Indiva (LMNI) 2014. Sebuah novel yang mengisahkan tentang kisah di balik sebuah  tragedi  tanjung berdarah 1984, perjalanan seorang penulis serta sebuah ambisi dan intrik dalam politik.  Kisah ini diceritakan dengan dua latar berbeda—dimulai antara 1984 dan 2013 secara bergantian. Membuat novel ini terasa unik dan memikat.

Kisah dimulai dengan terpilihnya Alif menjadi penulis yang dipercaya untuk menulis biografis dari sosok militer—ayah dari mentri yang mencalonkan diri menjadi  presiden pada ajang pilpres tahun depan. Martin—orang kepercayaan sang mentri, memberikan mendapat bundelan yang lembar-lembar kertasnya mulai menguning kepada Alif.  Bundelan itu berisi semua referensi yang dibutuhkan selama menulis naskah biografi. (hal. 41)

Setelah menerima bundelan itu, Alif pun mulai membaca, sehingga latar waktu cerita membuat pembaca menengok pada tahun 1984. Diceritakan pada tanggal 12 September 1984  terjadi tragedi berdarah di  Tanjung Tritis. Aparat tanpa pandang bulu menodongkan senjata sehingga banyak warga yang tumbang. Salah satu korban itu adalah Husein Abdul Rahman. Tapi siapa sangka ternyata Husein  selamat dari kejadian nahas itu. Hanya saja dia tidak bisa lagi kembali ke kehidupannya yang dulu. (hal. 139)  Dia meninggalkan tanah air dengan membawa identitas baru dari sang penolong—Rusydi.

Kembali pada keadaan Alif. Demi mendapat ketenangan dalam menyelesaikan tulisannya, Alif memutuskan berlibur ke Tanjungpinang. Lagipula selama ini dia memang sudah terlalu terkungkung dengan rutinitas kerja yang tidak ada batasnya. Di sana dia bertemu dengan Revi. Gadis yang kemudian menjadi teman perjalanan dalam menjelajahi seluk beluk Tanjungpinang.

Pada mulanya semua rencana Alif berjalan lancar—berlibur dan menulis di malam hari. Tapi pada suatu hari dia menyadari benda bundelan yang paling penting itu hilang. (hal. 191) Dan ketika dia menemukan lagi bundelan itu, Alif menerima sebuah kenyataan yang tidak terduga. Bagaimana mungkin tulisan dalam bundelan itu mirip tulisan almarhum ayah Revi? (hal. 196)

Tidak hanya terkejut pada kenyataan itu, dalam keadaan bingung untuk menyelesaikan tulisan, Alif membolak-balik terus bundelan itu. Siapa tahu dengan begitu dia akan menemukan ilham lagi. Alih-laih menemukan ilham, dia malah menemukan tulisan kamar 403 dan rangkaian kata sebuah nama. (hal. 204)

Merasa perlu menjawab segala teka-teki itu, Alif memutuskan untuk meminta permohonan agar bisa bertemu sang menteri. Seperti dugaannya di tempat sang mentri, Alif melihat kamar 403. Dan ketika dia nekat memasuki tempat itu, sebuah rahasia yang selama ini tersembunyi akhirnya terkuak. Dan Alif  berharap bisa  mengungkap semua kebenaran meski dia tahu hanya setitik harapan yang dimiliki.

Sebuah novel thriller-historis yang menegangkan, membuat penasaran, juga sarat makna. Diceritakan dengan gaya bahasa yang memikat, memiliki keunikan plot dan ending yang tidak terduga. Mengajarkan pada pembaca bahwa  kita harus terus berjuang meski hanya ada setitik harapan. Namun selain pesan itu,  novel ini  juga kental dengan pesan-pesan religi.  Hal ini dilihat dari pergulatan batin Alif setelah membaca bundelan dari sang menteri.

Semisal tentang ingatan Alif bahwa mendirikan shalat itu sangat penting. “Shalat itu ibarat tiang agama. Tanpa shalat, agama akan runtuh.” Atau tentang ingatannya untuk selalu membaca Al-Quran yang memiliki khasiat hebat—yaitu menghindarkan dari rabun dan pikun. (hal. 77) Juga khasiat melakukan sujud agak lama saat shalat yang bisa membuat peredaran darah akan mengalir lebih lancar dan membuat tidak cepat pusing. (hal. 133)  Tak ketinggalan sebuah pesan untuk selalu bersikap legowo—mau memaafkan, sabar, ikhas dan tidak menyimpan dendam. “Jangan dendam dengan orang yang sudah menyakiti kita. Apalagi sampai membalas dengan perbuatannya dengan perbuatan yang tak kalah buruk. Cukuplah Allah  saja yang membalasnya.” (hal. 251)

Srobyong, 6 Juni 2016 

Dimuat di Kabar Madura, Senin, 18 Juli 2016 



2 comments: