Thursday 5 July 2018

[Resensi] Ketika Seorang Preman Memilih Hijrah

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 24 Juni 2018


Judul               : Hijrah Bang Tato
Penulis             : Fahd Pahdepie
Penerbit           : Bentang Pustaka
Cetakan           : Pertama, Oktober 2017
Tebal               : x + 246 halaman
ISBN               : 978-602-291-433-4
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara


“Setiap orang baik  punya  masa lalu dan setiap pendosa punya masa depan. Karenanya, semua orang berkah atas kesempatan kedua dalam hidupnya.” (hal 36).

Dalam hidup ini, setiap orang pernah melakukan kesalahan. Sekali, dua kali atau lebih. Hal itu lumrah terjadi pada manusia. Karena memang manusia tempatnya salah dan berdosa. Hanya saja, ketika kita melakukan kesalahan, akankah kita tetap memilih terjebak pada kesalahan dan terus mengulanginya?  Atau memilih hijrah, bertaubat dan memulai dari awal, membersihkan hati dan pikiran, kembali pada jalan yang benar?

Diambil dari kisah nyata, novel berjudul “Hijrah Bang Tato” ini sangat menarik dan menginspirasi.  Fahd Pahdepie, dengan gaya bercerita yang renyah, sederhana dan lugas, akan membuat kita terhanyut dalam kisah ini. Ada kesan jenaka, serius juga emosi. Kisahnya sendiri tentang bertaubatnya seorang preman. Dialah Lalan, yang kemudian lebih dikenal sebagai Bang Tato, karena tubuhnya dipenuhi tato.

Sebelumnya Lalan adalah seorang preman yang ditakuti. Namun karena melihat kematian kakeknya, dia akhirnya memilih hijrah. Dia meninggalkan segala sikap buruk yang dulu pernah dilakukan dengan memperbaiki diri. Setelah itu, dia menikah dengan Nurmah, putri seorang kiai.  Di sinilah masalahnya. Ketika dia masih menjadi preman, Lalan hidup berkecukupan. Berbeda saat ini, ketika dia bertaubat kehidupannya berada dalam kubangan kemiskinan.  Padahal dia harus menghidupi anak dan istrinya.  Beruntung dia bertemu penulis, yang sedikit banyak membantu Lalan dalam proses hijrah dan mendapat pekerjaan yang baik. Lalan mendapat kesempatan menjadi percaik kopi.

Tantangan lain yang harus dia terima adalah, pandangan masyarakat terhadap dirinya. Ketika dia mengaku bertaubat, orang-orang tidak mempercayainya. Bahkan ketika dia berniat untuk shalat di masjid, warga mencegah dia untuk masuk ke masjid. “Percuma kamu shalat karena  kalaupun kamu shalat, nggak akan diterima sama Allah lantaran badan kamu penuh tato.” (hal 69).

Keadan itu menuntut Lalan untuk mencari kebenaran, benarkah taubatnya tidak bisa diterima karena tato? Hingga akhirnya dia bertemu seorang ustad fiqih di  daerah Leuwiliang. Di mana ustad tersebut menjelaskan, “Allah mengampuni hamba-hambanya yang mau tobat.” (hal 73). Lalan pun semakin semangat untuk berubah.

Akan tetapi dalam perjalannya memperbaiki diri, kematian ibunya, membuat Lalan kembali terpuruk. Dia marah dan kecewa. Lalan kembali melarikan diri pada jalan lama.  “Saya nggak perlu jadi orang baik. Hidup saya di sini. Sejak lama hidup saya di sini. Tuhan nggak pernah mendengar doa-doa saya. Hidup ini nggak adil sama saya. Semua yang saya lakukan selama ini percuma.” (hal 199). Kejadian itu membuat Lalan mencerna kembali apa itu makna hijrah yang sebenarnya. Apakah untuk mengapus masa lalu, mengubah persepsi orang atau demi masa depan, demi kebaikan diri sendiri di mata Allah.

Saya sangat menikmati membaca kisah ini dari awal hingga akhir.  Penulis menceritakannya dengan gaya bahasa yang  sederhana dan unik. Keterlibatan penulis dalam cerita ini, menjadi warna tersendiri. Seru, membuat penasaran dan kadang membuat tertawa. Karena ide-ide yang sering ditawarkan Lalan itu sangat unik dan berbeda. Seperti ketika dia mau menggelar  sebuah konser. Di mana konsep yang dia gunakan adalah gabungan musik metal religi dengan dakwah yang apik.

Buku ini menyadarkan kepada kita, bahwa setiap orang berhak memperoleh kesempatan kedua.  Selain itu ada sindiran halus tentang keutamaan shalat yang harus dilakukan umat Islam. “Shalat harus menjadi kesadaran  bersama.  Hidup harus dijalankan dengan shalat. Ketundukan kepada Yang Maha Menguasai Segala Sesuatu harus dibuktikan dengan dua hal. Pertama, pengangungan dan ketundukan kepada Allah sebagai upaya untuk menyucikan diri. kita menyebutnya takbiratul ikhram. Kedua, komitmen untuk menyebarkan kasih sayang dan perdamaian kepada seluruh semesta, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” (hal 126).

Dan anjuran untuk tidak berburuk sangka, hanya melihat dari cover saja. “Dunia ini memang kadang-kadang tak seperti yang kita lihat di permukaannya. Pada beberapa kasus, apa yang kita sangka suci, sering kalu justru keruh dan kotor. Sebaliknya apa yang kita sangka brengsek, sering kali terasa biasa saja dibandingkan bajingan lain yang memakai topeng-topeng  kebenaran dan keadilan.” (hal 139).

Srobyong, 26 Mei 2018 

No comments:

Post a Comment