Thursday 2 March 2017

[Resensi] Perilaku Manusia dalam Metafora Binatang

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 19 Februari 2017

Judul               : Laba-Laba yang Terus Merajut Sarangnya
Penulis             : Adi Zam Zam
Penerbit           : UNSA Press
Cetakan           : Pertama, Juli 2016
Halaman          : viii + 174 hlm
ISBN               : 978-602-74393-0-6
Peresensi         : Ratnani Latifah.


Dalam ilmu mantiq (ilmu logika) manusia dikatakan sebagai, al insanu hayawanun natiq, yang artinya manusia adalah binatang yang berakal atau bisa berpikir.  Dalam Al-quran juga disinggung, perihal orang-orang yang  zalim, kurang bersykur digambarkan setara atau lebih rendah dari binatang.

Hanya akal atau pikiran-lah yang menjadi pembeda antara manusia dan binatang. Melalui konsep ini, Adi Zam Zam penulis asal Jepara, mencoba menuangkan ide yang menggambarkan perilaku manusia melalui metafora binatang. Penulis berharap dengan adanya buku ini bisa dijadikan perenungan diri. Kumpulan cerpen ini terdiri dari 17 cerita ini sangat memikat dan penuh perenungan yang inspiratif. 

Cerpen “Laba-laba yang Terus Merajut Sarangnya” Menggambarkan persamaan nasib  perempuan yang selalu mengalah, pemaaf dan pejuang sejati.  Laksana laba-laba. Meski berkali-kali sarangnya dihancurkan, dia masih saja selalu merajut sarangnya kembali. Seperti tidak pernah merasa lelah dan sakit hati (hal 9).

Sedangkan perempuan yang dikekang suaminya, digambarkan sebagai burung  yang tekurung dalam sangkar. Mereka sama-sama terkurung dan tidak bisa terbang dengan bebas. Kisah ini bisa ditemukan dalam cerpen “Sangkar di Atas Leher.” (hal 11).

Tidak kalah menarik adalah “Lolongan Tengah Malam”. Dalam kisah ini penulis menggambarkan kesamaan nasib anjing dan perempuan pelacur di sebuah stasiun. Mereka sama-sama menunggu. Berharap sebuah pertolongan. Namun tidak seorang pun yang mau menolong.

Ada sindiran halus mengenai kebiasaan manusia yang hanya melihat seseorang dari penampilan saja. Ketika  orang memiliki jabatan, maka mereka dihormati. Berbeda jika orang itu memiliki strata rendah. Mereka hanya dianggap sampah, tidak berguna.

Atau  “Kepala Tikus”. Cerpen ini mengambarkan para koruptor sebagai seekor tikus yang selalu mengambil apa-apa yang bukan miliknya. Kisah ini dijabarkan dengan baik melalui tokoh Pak Brojo dan tokoh ‘aku’ (hal 39). 

Selain menggunakan metafora tipe manusia lewat binatang, penulis juga menggugah jiwa lewat cerpen yang sangat kental dengan unsur  religius.  Mengajarkan pembaca agar selalu menjaga lisan. “Karena prasangka buruk dan lisan yang tak terjaga hanya akan membuat kita seperti memakan daging saudara, menelan bau busuk di sepanjang masa” (hal 139).

Gaya bahasanya halus namun sangat menyentil.  Pemilihan sudut pandang, plot dan alur juga dieksekusi dengan sangat baik. Judul-judul cerpen yang memikat, mengundang rasa penasaran dan ditutup dengan twist ending yang memukau. Sebuah buku yang recomended untuk dibaca. Pesan-pesan yang tersirat dan  tersurat  dari buku ini bisa dijadikan renungan untuk memperbaiki diri.  Beberapa kelemhannya tidak mengurangi keunikan buku ini.

Srobyong, 11 November 2016 

4 comments: