Tuesday 28 March 2017

[Resensi] Konflik Politik, Kritik Sosial dan Minat Baca

Dimuat di Duta Masyarakat, Minggu 12 Maret 2017 


Judul               : Tanah Merah Surga
Penulis             : Arafat Nur
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Januari 2017
Tebal               :  312 hlm
ISBN               : 978-602-03-3335-9
Persensi           : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.


Bisa dibilang novel ‘Tanah Merah Surga’— yang merupakan  pemenang unggulan “Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016”  merupakan novel yang sangat berani. Bagaimana tidak?  Dalam buku ini pembaca akan dikejutkan dengan setiap kalimat  yang menyentak dan membuat kita mengangguk setuju. Karena memang begitulah keadaan yang sebenarnya telah terjadi.  Di sini  penulis menjadikan konflik politik di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai latar cerita yang penuh kejutan dan perenungan. Selain mengangkat isu politik, penulis juga mengemasnya dengan ide lain yang tidak kalah segar—tentang kritik sosial juga  tentang minat baca yang rendah. 

Kisahnya sendiri dimulai dengan kembalinya Murad –mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) juga mantan anggota Partai Merah  yang sudah lima tahun dijadikan buronan karena telah membunuh Jumadil, anggota dewan dan tokoh penting Partai Merah (hal 24).  Kerinduan yang memuncak pada tanah kelahirannya, membuat Murad nekat untuk pulang kampung.  Bagaimana pun hidup di tanah sendiri lebih menyenangkan dari pada harus hidup dalam pelarian.

Hanya saja meski sebisa mungkin Murad sudah menyamarkan diri, ternyata masih banyak anggota Partai Merah yang mengenalinya. Beruntung Murad masih bisa berkelit. Dia bersembunyi di rumah sahabatnya, Abduh.  Di sini  Murad jadi mengetahui masalah minat baca yang rendah masih terus menghantui warga Aceh.

“Tolong jangan paksa aku membaca buku. Aku ini orang Aceh yang tidak suka baca buku. Jangan paksa aku. Membaca buku bisa membuatku mati. Suruh saja aku lari seribu meter, aku akan lari seribu meter daripada membaca satu halaman buku.” (hal 98-99).

Murad sungguh miris. Padahal dalam Al-Quran sendiri para umat dianjurkan untuk membaca. Tapi sepertinya warga Aceh sudah tidak terlalu peduli dengan kandungan Al-Quran. Di sisi lain, ketika dia mengunjungi sahabat-sahabat seperjungannya dulu, Murad dikejutkan dengan banyaknya perubahan yang tidak pernah dia duga.

“Tiba-tiba saja aku merasa asing pada tanah kelahiranku yang pulang ke rumah sendiri pun harus diam-diam dan sembunyi-sembunyi seperti pencuri. Orang-orang dekat dan sahabat karib kini menjadi musuh, bahkan mereka hendak membunuhku. Sementara aku harus menjauhi keluarga dan teman-teman dekat yang tidak terlibat politik. Sungguh asing negeri ini. Tanah ini rumahku, surgaku; tanah merah surga.” (hal 129).

Dan yang lebih membuat Murad merasa sedih adalah bagaimana roda pemerintah yang ada di Aceh saat itu. Aceh yang katanya digadang-gadang sebagai Serambi Mekah yang menetapkan   hukum Islam dalam segala peradilan, namun kenyataan tidak sesuai dengan pernyataan.

“Tampaknya pemberlakukan hukum ini gagal total dan tidak ada yang peduli. Sekalipun dicambuk, hubungan terlarang—pacaran terus saja terulang. Lagi pula hukuman keras ini hanya bisa diberlakukan untuk rakyat jelata yang lemah, sedangkan pejabat yang berzina sama sekali luput dari hukuman. Bahkan yang terbukti korupsi akan segera dibebaskan setelah menemukan kesepakatan bersama, dan hakim pun dengan senang hati menerima bagian hasil jarahan daripada sibuk menghukum orang-orang jahat yang punya banyak uang.” (hal 66-67).

Dan kisah semakin seru dengan keberadaan Murad yang mulai tercium aparat. Di mana dia semakin dijadikan kambing hitam dalam kisruh pemilu yang saat itu akan dilaksanakn dua  bulan lagi.

Membaca novel ini kita akan dikenalkan tentang dunia politik yang keras dan penuh intrik. Di mana kita tidak tahu siapa kawan siapa lawan. Bahkan kadang jalan kotor bisa dijadikan jalan asal membantu untuk mewujudkan ambisi yang dimiliki. Selain itu kita juga diajak menyelami masalah kritik sosial. Di mana pemerintah gagal dalam menjaga amanah yang dibebankan pada mereka. Banyak dana-dana yang tidak diberikan pada tempatnya, juga perilah korupis hukum, menganut paham uang adalah raja, yang bisa membeli apa saja. termasuk kebebasan dari jerat hukum.  

Dipaparkan dengan gaya bahasa yang tidak monoton membuat novel ini nyaman dibaca. Untuk kesalahan tulisan pun sangat minim. Hanya saja untuk beberapa bagian saya merasa kurang konflik yang membuat tegang dan terkejut. Tapi lepas dari itu, novel ini patut dibaca. Karena novel ini memberi banyak pembelajaran yang bisa dijadikan renungan. Termasuk masalah keagamaan yang kadang masih disepelekan.

Srobyong, 2 Maret 2017 

No comments:

Post a Comment