Monday 24 October 2016

[Resensi] Cinta Bersemi di Blue City

Dimuat di Harian Singgalang, MInggu 23 Oktober 2016 

Judul               : Love in Blue City
Penulis             : Irene Dyah
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Mei 2016
Halaman          : 212 hlm
ISBN               : 978-602-03-2865-2
Peresensi         : Ratnani Latifah


Membaca novel ini kita akan dikenalkan dengan kota kecil bernama Chefchaouen atau juga dikenal dengan sebutan Blue City. Sebuah kota yang terletak di sebelah timur laut Maroko. Memiliki keunikan, di mana  hampir di semua tempat, kota ini didominsi warna biru. Itulah kenapa Chefchaouen dijuluki sebagai mutiara biru.  Di sini pembaaca akan diajak jalan-jalan menimati kota biru ini.

Selain mengenalkan setting kota yang indah, novel ini juga menyajikan kisah yang memikat. Nada Aleema Shahir sangat ingin mengunjungi Chefchaouen, Maroko. Dan keinginannya terwujud berkat kakaknya—Tristan yang berencana berbulan madu ke Maroko. Namun siapa sangka, Tristan harus membatalkan perjalanan itu karena istrinya, Miyu hamil.  Akhirnya hanya Nada yang tetap pergi dengan ditemani Rania sahabatnya (hal. 8).

Alasan kenapa Nada sangat ingin mengunjungi kota ini karena dia sangat tergila-gila dengan warna biru.  Dan dia menjadikan kota ini sebagai tempat yang wajib dikunjungi.  Namun di balik alasan itu sejatinya Nada juga punya misi. Dia ingin bertemu kembali dengan Haykal, sahabat Tristan yang diam-diam disukai Nada.   Tapi betapa kecewanya Nada ketika akhirnya bertemu dengan Haykal, pria itu malah muncul dengan seorang gadis cantik bernama Noemie.

Sedih dan kecewa itulah yang Nada rasakan, tapi, dia tidak ingin berlarut dalam kesedihan. Bagaiamana pun dia tengah liburan di kota impiannya. Jadi dia harus menikmatinya. Begitulah keinginan Nada dalam hati.

Tapi betapa Nada berusaha untuk bersikap wajar, dia tetap kesulitan. Dia sedih juga marah. Masalahnya, meski Haykal nampak dekat dengan Noemie, pria itu tetap perhatian dan suka usil pada Nada.  Belum lagi Nada terjebak menjalin persahabatan dengan Neomie yang ingin belajar tentang Islam pada Nada.

“Aku hanya berharap kamu tidak keberatan berkawan denganku. Aku ingin punya lebih banyak teman muslimah.” (hal. 83-86).

Di lain sisi Haykal mengkhawatirkan sikap Nada yang terlihat agak berubah. Jika sebelumnya gadis itu selalu cerewet dan suka marah-marah, maka kali ini Nada terlihat lebih pendiam. Padahal dia sudah berjanji pada Tristan untuk selalu menjaga Nada selama berada di Blue City. Bahkan di saat Nada selalu menjaga jarak, Haykal terus berusaha menjaga gadis itu.

Akan tetapi meski Haykal selalu bersikap baik, sikap Nada tidak berubah. Gadis itu masih suka marah tidak jelas dan kadang sangat pendiam.  Dan sikap Nada semakin aneh ketika mendengar percakapan yang tidak sengaja dia dengar. Percakapan yang merubah segalanya. Membuat Nada sedih, Haykal bingung dan Noemie marah dan tidak habis pikir.  Entah bagaimana para tokoh di novel ini menyikapi tumbuhnya cinta di kota biru itu.

Novel ini mengambil mengambil tema sederhana namun dieksekusi dengan sangat baik. Gaya bahasanya renyah, percakapan antara tokoh membangun kisah ini semakin asyik untuk diikuti dan terasa hidup.

Dan yang paling menarik tentu saja setting dari kisah ini sendiri.  Penulis menjabarkan dengan baik  kota yang memiliki sebutan mutiara biru.  Di sana Nada menikmati perjalanan melewati lorong biru Medina, lalu melakukan perjalanan ke Spanish Mosque.

Hanya saja, saya merasa kurag sreg dengan sikap Nada. Sebagai seorang muslimah yang berhijab saya merasa karakternya belum terlalu kuat.  Atau mungkin tokoh Nada sengaja dipaparkan seperti ini, karena bercermin dari para muslimah saat ini. Tapi lepas dari kekurangannya, novel ini tetap asyik untuk dinikmati. 

Membaca novel ini mengajarkan bagaimana cara menjemput cinta yang baik.  “Bidadari istimewa, hanya bisa dipesan setelah membayar mahal. Dan rasa sayang itu harus diperjuangkan.” (hal. 131-135)

Serta mengajari untuk selalu menyukuri apa yang dimiliki dan menerima semuanya dengan ikhlas apa yang telah digariskan Tuhan.  “Hidup selalu indah jika kita pandai bersyukur. Kalau kita ikhlas menerima skenario Tuhan, apa pun bentuknya. Kadang yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Dia.” (hal. 192)

Srobyong, 16 Oktober 2016 


No comments:

Post a Comment