Thursday 7 June 2018

[Resensi] Meneladani Nilai-Nilai Kehidupan di Pesantren

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 20 Mei 2018 



Judul               : Ha Nahnu Dza
Penulis             : Ira Madan
Penerbit           : Tinta Medina, Imprint of Tiga Serangkai
Cetakan           : Pertama, Mei 2017
Tebal               : x + 438 halamn
ISBN               : 978-602-0894-64-5
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara

Pendidikan di pesantren identik dengan pendidikan Islam yang kental. Di mana di pesantren, kita akan diajak belajar berbagai kajian   ilmu agama dari ilmu fiqih, hadis, Al-quaran, ushul fiqih dan berbagai kajian  ilmu lainnya. Selain itu dalam pesantren kita juga dididik hidup dalam suasana yang kental akan ukhuah islamiyah—persaudaraan,  saling mengharagi perbedaan status, adat dan budaya dari masing-masing santri—jika memang tidak berasal dari daerah yang sama.  Selain itu di pesantren kita juga dididik  menjadi anak yang memiliki mental kuat, semangat juang mengali ilmu dan disiplin tinggi, karena terbiasa mengikuti aturan-aturan yang berlaku.

Setidaknya inilah beberapa hal yang ingin disampaikan Ira Madan—penulis asal Sumatra Utara—melalui karyanya “Ha Nahnu Dza”—novel yang menjadi salah satu nominasi “Islamic Book Award 2018” dalam kategori fiksi dewasa.  Mengambil latar pesantren sebagai setting cerita, Ira Madan berhasil menyuguhkan kisah yang cukup menarik untuk dikaji bagi masyarakat luas.

Novel ini sendiri berkisah tentang empat tokoh laki-laki remaja yang tengah mencari pencarian jati diri, usaha  dalam meraih mimpi, dengan berbagai aspek masalah  keluarga yang tengah di hadapi. Ada Sadam Husein, terlahir dari keluarga sederhana. Karena sebuah insiden dia kemudian menjadi asisten Saiful—putra dari atasan ayahnya. Namun di sinilah masalahnya, Saiful selalu berlaku menyebalkan dan membuat Sadam harus selalu mengalah—bahkan harus bersediah mengerjakan tugas Saiful.  Demi bisa lepas dari Saiful, Sadam akhirnya memutuskan belajar di pesantren. Namun kenyataan tidak terduga, kembali menghantui Sadam (hal 18).

Ada pula Sayydina Ali, seorang mualaf yang masih enggan belajar agama Islam. Andai ibunya tidak menikah dengan seorang ustad, pasti dia tidak perlu repot belajar shalat atau membaca Al-Quran. Namun demi sang ibu, Ali dituntut belajar bahkan dimasukkan ke pesantren. Kemudian ada Daffa Amhar yang mengidap savant syndrome, yang memilih masuk pesantren demi bisa dekat dengan kakan satu ayah dengannya. Dan terakhir ada Nafiz Bunayya, anak dari keluara terpandang—yang karena salah pergaulan, akhirnya dimasukkan orangtunya ke pondok pesantren.

Pada awalnya  baik Sadam, Ali, Daffa dan Nafiz, merasa pesantren hanyalah  sebuah tempat yang kurang menarik. Mereka berada di sana karena tujuan tertentu, bukan karena ikhlas dari hati ingin belajar mendalami ilmu agam.   Tapi semakin lama berada di pesantren, mereka kemudian menyadari pesantren bukanlah tempat yang sepenuhnya buruk, sebagaimana yang sering terdengar di masyarakat yang menggambarkan pesantren seperti penjara suci, karena para santri harus hidup dalam berbagai aturan yang ketat.

Di pesantren mereka malah mulai menyadari tentang pentingnya menuntut ilmu dan meraih mimpi.  Di sana mereka juga belajar tentang cara hidup sederhana dan saling menghargai. Karena hidup dalam satu atap, lambat laun mereka pun menjadi akrab dan tumbuhlah jalinan pesahabatan yang kental. Tidak kalah menarik, kehidupan mereka menjadi berwana ketika ada santriwati yang membuat mereka belajar bagaimana cara menghargai cinta dan menempatkan cinta pada tempatnya.

Sebuah novel yang cukup menarik. Ira Madan menggambarkan kehidupan pesantren yang penuh dengan nilai-nilai keteladan.  Namun lebih menarik lagi jika novel ini diekseskusi lebih matang.  Mengingat tokoh utama di sini adalah laki-laki, tapi gaya bahasanya masih terasa khas perempuan.  Selain itu dalam beberapa bagian masih ada beberapa bagian yang terasa bertele-tele dan loncat-loncat. Namun lepas dari kekurangannya novel yang membidik masalah pendidikan dan kehidupan pesantren,  cukup menarik untuk dibaca dan dikaji.

Banyak ilmu-ilmu yang bisa diteladani untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti ajakan menuntut ilmu dan menghormati guru, “Tuntutlah ilmu dan belajarlah (untuk ilmu) ketenangan dan kehormatan diri, dan bersikaplah rendah hati kepada orang yang mengajar kamu.” (hal 15).

Srobyong, 27 April 2018 

No comments:

Post a Comment