Wednesday 27 September 2017

[Resensi] Romantika Kehidupan di Pesantren

Dimuat di Padang Ekspres, Minggu 24 September 2017 


Judul               : Habibie Ya Nour El Ain
Penulis             :  Maya Lestari GF
Penerbit           : Dar Mizan
Cetakan           : Pertama, Desember 2016
Tebal               : 240 hlm
ISBN               : 978-602-420-298-9
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

“Hidup adalah refleksi diri kita. Apa yang kamu keluarkan untuk dunia, itulah yang akan dipantulkan balik kepadamu. Kamulah yang memilih, akankah memberi kebaikan atau keburukan.” (hal 16).

Membaca novel ini kita akan diajak mengenal lebih dalam dengan romantika kehidupan dunia pesantren. Bagaimana cara pergaulan yang baik antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana menyikapi perasaan suka jika tengah jatuh cinta. Balasan apa yang kita dapat dari perbuatan kita. Metode pendidikan yang digunakan. Tentang peraturan pondok pesantren. Dan masih banyak lagi.

Maya Lestari—penulis produktif yang berasal dari Padang—Sumatra Barat ini sangat lihai dalam mengolah konflik, membuat pembaca seolah ikut masuk dalam cerita. Sebagaimana yang dipaparkan M Irfan Hidayatullah—penulis dan Dosen Fakultas Sastra  Universitas Padjajaran, “Tidak mudah menulis novel yang seimbang antara bentuk dan bobotnya. Bentuk ringan dan populer, tetapi bobot filosofis dan pesannya dalam. Novel semacam ini hanya bisa ditulis oleh seorang penulis dengan jam terbang tinggi seperti Maya Lesatri GF.”

Novel ini sendiri berkisah tentang Barra Sadewa yang mengaku tidak percaya dengan Tuhan dan mendapat label anak nakal di sekolah, yang kemudian membuat dirinya terjebak pada romantika kehidupan di pesantren. Dia dipaksa kepala sekolahnya untuk mondok selama dua minggu di Pesantren Nurul Ilmi, untuk merenungkan segak perbuatan yang selama ini telah dilakukan. Di mana dalam bayangan Barra, pesantren adalah penjara (hal 44).  Karena di pesantren dia tidak bisa bebas melakukan apa saja. Ketika dia datang, dia diharuskan memotong rambut, lalu  harus tidur sesuai jadwal—tidak boleh bergadang, harus bangun pagi untuk shalat berjamaaah.

Lalu tanpa sengaja Barra bertemu dengan Nilam, putri pemilik pesantren—Buya yang sejak kecil dididik dengan etika pergaulan yang ketat-khususnya dalam berhubungan antara laki-laki dan perempuan—di gerbang pesantren di bawah pohon mahoni.  Siapa sangka pertemuan singkat itu menyisakan sejumput rasa yang mendalam di hati Barra.  Tidak terkecuali bagi Nilam sendiri. Cinta kedunya tumbuh tidak bisa dicegah.

“Kita mungkin bisa memilih dengan siapa kita akan menikah, tapi kita tidak bisa memilih dengan siapa jatuh cinta. keduanya ada di wilayah yang berbeda. Cinta itu tidak rasional, sementara pernikahan serasional perhitungan.” (hal 183).

Tapi Nilam sadar dia tidak boleh terbujuk perasaan itu. Di sini keteguhan hati Nilam dipertaruhkan. Sedang bagi Barra, keberadaan Nilam kemudian sedikit banyak membuatnya mencoba bertahan. Selain karena Nilam, keberadaan ayah Nilam—Buya, semakin membuat Barra merasa betah dan merasa dihargai sebagai manusia. Tidak seperti kebanyakan orang yang suka memarahi, memaksa atau bahkan menghinanya karena statusnya,  Buya selalu mempelakukan Barra dengan baik. “Ayahmu serupa Al Hikam, Nilam. Lembut di perkataan, menyentuh di perbuatan.” (hal 111).  Juga para guru dan santri yang selalu memperlakukannya layaknya keluarga.  

Di sinilah titik balik kehidupan Barra. Dia mulai menata kehidupannya agar lebih baik. Hanya saja untuk masalah hati ... entah kenapa masih terpaut dengan Nilam.  Dan ketika dia hendak merengkuh hati Nilam, ternyata gadis itu telah melakukan ta’aruf dengan seseorang yang telah dipilihkan keluarga.  (hal 188).

Novel ini dipaparkan dengan gaya bahasa yang renyah dan memikat. Sejak awal penulis sudah membuat penasaran dengan akhir kisah cerita ini.  Pemelihan alur dan sudut pandangnya menambah keunggulan novel ini. Mengambil latar Padang semakin membuat novel ini terasa lokalitasnya.

Di sisi lain,  yang membuat novel ini semakin lengkap adalah banyaknya petuah bijak yang bisa dipetik pembelajaran. Tokoh Buya sungguh sangat inspiratif. Mengajarkan bahwa dalam berdakwah diperlukan metode lemah lembut penuh kasih sayang. Karena memang kita tidak bisa memaksa seseorang hidup sebagaimana cara kita hidup.

“Kadang orang tak memerlukan banyak nasihat. Mereka Cuma butuh melihat, bahwa mereka diterima dan disayangi. Kasih sayang adalah nasihat yang paling baik.” (hal 155).

Di sini kita juga diajak untuk menjaga hati sesuai dengan syariat, menjauhi prasangka buruk dan melakukan kebaikan-kebaikan yang insyah Allah bisa dipetik di kemudian hari. Hanya saja masih ditemukan beberapa kesalahan tulis dan bagian yang masih kurang terasa logis. Tapi lepas dari kekuarangnnya novel ini sangat direkomendasikan untuk dibaca. Memikat dan bermanfaat.

Srobyong, 25 Februari 2017


2 comments:

  1. pengen beli buku ini makasi reviewnya mba 👌👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Monggo Mbak, langsung dibeli. Sama-sama, bukunya sangat inspiratif dan menarik :)

      Delete