Monday 4 September 2017

[Resensi] Kisah Cinta di Tengah Konflik

Dimuat di Tribun Jateng, Minggu 3 September 2017 


Judul               : 33 Senja di Halmahera
Penulis             : Andaru Intan
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Juni 2017
Tebal               : 192 halaman
ISBN               : 978-602-03-4264-1
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara


Mengambil latar Halmahera, novel ini dikemas dengan cukup menarik dan memikat.  Andaru Intan mencoba mengenalkan adat, budaya, juga  pesona Halmahera lewat kisah yang dia paparkan. Selain itu dia juga mengangkat jejak-jejak  konflik Maluku,  sebagai pengingat bahwa kita harus saling menghormati antar agama. Tidak boleh saling menghakimi dan menyakiti.

Memang novel  ini tetap tidak jauh-jauh dari kisah cinta. Namun dengan apik, penulis tetap menghadirkan nilai-nilai luhur yang bisa diambil pembelajaran dan perenungan. Khususnya bagamaimana menyikapi perbedaan agama di mana pun kita berada. Bahwa kita tidak bisa memaksa seseorang untuk memeluk agama yang kita yakini.  

“Satu-satunya jalan agar kita bisa bersama adalah aku ikut denganmu atau kau ikut denganku. Kau tahu, aku tidak bisa meninggalkan jalanku. Dan aku juga tidak akan pernah memaksamu meninggalkan jalanmu. Tak ada gunanya  kita membangun sesuatu dengan sekuat tenaga, sementara kita tahu hal itu akan hancur esok harinya.” (hal 162–163).

Mengisahkan tentang Nathan—seorang tentara yang mendapat tugas ke  daerah pelosok Halmahera Selatan, tepatnya berada di Sofifi, Maluku Utara.  Sebuah tempat yang jauh tertinggal dari peradaban. (hal 10). Nathan bersama teman-temannya ditugaskan untuk menjaga Halmahera pasca terjadinya  konflik Maluku—yaitu perang saudara antara umat Islam dan Kristen.  Ada sebagian tentara yang menjaga proses pembangunan kembali masjid dan ada yag menjaga proses pembangunan kembali gereja.

Di masa tugasnya itulah, Nathan mengenal seorang gadis asli Sofifi bernama Puan, yang merupakan seorang guru. Sejak awal Nathan langsung menunjukkan rasa tertarik pada Puan. Puan gadis yang berbeda. Puan meski tinggal di pesisir pantai, tapi takut laut. Puan adalah gadis yang sangat  menjaga kerhomatannya. Puan juga sangat pandai dalam berburu  sabeta—ulat sagu, yang nantinya akan dimasak sebagai sate lezat—makanan khas Halmahera. Maka Nathan pun mencoba mendekati Puan dengan berbagai cara.  Memang tidak mudah, tapi akhirnya Nathan berhasil membuat Puan yang jarang berbicara, mau berbicara bahkan tersenyum padanya.

Tidak menunggu lama, kisah cinta mereka pun akhirnya dimulai. Kegigihan Nathan berhasil membuat Puan bersimpati.  Tapi kebahagiaan yang dirasakan Puan hanya sekejap. Puan akhirnya tahu kalau Nathan tidak memiliki kepercayaan yang sama dengan dirinya.  “Barangkali kita bisa bicara lagi lain waktu, ini saatnya pulang. Aku harus ke gereja.” (hal 97).   Puan sungguh binggung. Di satu sisi dia tahu hubungan mereka tidak akan mungkin berjalan lancar, jika mereka memiliki kepercayaan yang berbeda. Tapi di sisi lain, Puan tidak bisa menghilangkan bayang-bayang Nathan dari pikirannya.  

Apalagi sejak dia melakukan Tarian Lalayon di pernikahan Aish—sahabat Puan. Sebuah tarian yang dilakukan secara berpasangan dengan gerakan indah. Kemudian Puan juga menikmati kebersamaan yang menyenangkan dengan Nathan, saat laki-laki itu mengajaknya pergi ke  Kepulauan Widi—sebuah pulau yang terkenal dengan keindahana pesona lautnya, juga terkenal sebagai tempat mistis.  “Di kepulauan Widi nanti jangan membunuh hewan, jangan merusak tanaman, jangan pergi sendirian, dan jangan bicara kotor.”  (hal 125).   

Hanya saja sekembalinya dari liburan itu, Puan harus menghadapi kemarahan papanya. Puan ditegur dan diingatkan papanya agar tidak melanjutkan hubungan dengan Nathan, yang jelas-jelas tidak memiliki masa depan.  “Kau sudah dewasa. Sudah tahu mana yang boleh dan yang tidak. Papa tidak suka kau main-main. Apalagi dengan orang yang tidak seiman.”  (hal 150).

Tidak hanya menawarkan cinta, tapi disatupadukan dengan isu polemik agama, adat, budaya juga pesona Halmahera, membuat novel ini lebih berwarna.  Hanya saja untuk eksplore adat dan budaya Halmahera masih terasa kurang.  Memang penulis meleburkan bahasa-bahasa setempat pada cerita, tapi rasa tempat itu belum terasa kental.  Jika setting lebih diekplore lebih dalam, pasti akan menambah keunikan novel ini. Namun lepas dari kekurangannya novel ini mengajarkan banyak nilai-nilai kebaikan.

Srobyong, 4 Juli 2017

No comments:

Post a Comment