Tuesday 25 July 2017

[Resensi] Dampak Perpisahan Orangtua - Anak

Dimuat di Jateng Pos, Minggu 23 Juli 2017 


Judul               : No Place Like Home
Penulis             : Alma Aridatha
Penerbit           : Penerbit Ikon
Cetakan           : Pertama, April 2017
Tebal               : 290 halaman
ISBN               : 978-602-74653-7-4
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara.

Memiliki keluarga yang utuh  dan harmonis adalah harapan setiap anak. Karena dengan begitu, kasih sayang yang  didapatkan akan terasa lebih lengkap. Oleh karena itu sudah semestinya sebagai orangtua dan atau calon orangtua,  harus memikirkan dampak yang akan terjadi sebelum mengambil sebuah keputusan. Jangan karena ego yang tinggi, hal itu malah menjadi bumerang—membuat anak sedih dan kecewa.

Novel ini mengambil teman keluarga broken home yang dibalut dengan renyah dan gurih.  Kisah berpusat pada tokoh Ganda yang merasa bimbang. Di usianya yang ke sepuluh, dia akhirnya mengetahui siapa ayah kandungnya—Gio. Namun di sanalah masalahnya. Sejak kecil Ganda yang sudah dekat  dan nyaman dengan ayah tirinya—Dhimas. Ganda  merasa tidak memerlukan keberadaan Gio.  Sampai sebuah kejadian membuat Ganda berubah.

Setelah lulus sekolah menengah pertama, Ganda memutuskan ingin tinggal bersama ayahnya. Dia akan bersekolah SMA di Jakarta. Hal itu tentu saja membuat ibunya—Tara bingung dan merasa tidak rela. Namun begitu, dia mencoba memahami pilihan putranya (hal 8-9).  Maka kehidupan baru Ganda pun di mulai. Jika di Bandung dia akan bersama Tara, Dhimas dan Juna, adiknya, di Jakarta dia harus beradaptasi dengan keluarga Gio. Di sana Gio sudah memiliki istri bernama Jess dan dua anak.

Ganda sadar, jika sebagian orang harus tumbuh tanpa orangtua, dia malah memiliki dua ayah dan dua ibu. Sebuah kenyataan yang harus disyukuri bukan? Namun pada kenyataannya anugerah itu juga menjadi kesedihan bagi Ganda. Entah mengapa dia tidak merasakan arti sebuah keluarga yang dia inginkan. Sebuah keluarga yang hangat dan mengayominya. Ganda ingin tinggal di rumah yang memberinya kedamaiaan dan kenyamanan.

Sayangnya semua itu hanya harapan. Ganda sadar baik ayah dan ibunya itu memiliki kesamaan.  Mereka selalu merasa cukup memberinya fasilitas dan materi yang melimpah, maka dia akan bahagia. Padahal anggapan itu salah. “Ganda tidak menginginkan sepeda gunung mahal atau motor sport terbaru atau rekening yang penuh dengan nominal angka. Dia hanya ingin lebih diperhatikan. Apakah keinginannya terlalu berlebihan?” (hal 15).

Dan kesedihan Ganda semakin penuh, ketika menyadari bahwa keberadaannya selalu menjadi alasan untuk disakit—dia selalu disalahkan pada perbuatan yang tidak pernah dilakukan. Dia marah dan terluka. Kenapa masa lalu orangtuanya harus dilimpahkaan padanya? Bukankah dia hanya seoranag korban dari kesalahan dan keegoisan orangtuanya?

Kenyataan tentang masalah keluarga yang rumit, sedikit banyak membawa dampak banyak bagi Ganda. Hal itu bisa dilihat dari sikap atau tingkahnya. Dia memilih diam dan memendam semuanya sendiri. Dia menjauh, menutup diri dan malas bersosialisasi. Sampai sebuah kejadian dalam masa orientasi siswa membuat Ganda mengenal Nadya. Gadis itu sangat rame dan bersemangat.

Nadya membawa suasanaa baru dalaam hari-hari Ganda. Sampai kemudian Ganda tahu di balik senyum Nadya gadis itu memiliki kisah yang tidak kalah pilu dari dirinya. Hanya saja Nadya berani menghadapinya.  Di sini Ganda belajar banyak dari Nadya tentang arti memafkan.

Meminta maaf itu gampang. Memberi maaf itu sedikit lebih sulit, tapi masih bisa dilakukan. Namun, melupakan semua kejadian itu yang mustahil (hal 115).

Selain mengusung tema keluarga, tentu saja ada kisah manis khas remaja. Tentang persahabatan,  cinta, patah hati dan salah paham. Semua diramu dengan cukup menarik. Sehingga kisahnya tidak monoton dan membosankan.  Penulis pandai dalam mengeksekusi alur maju mundur.

Hanya saja di balik keunggulannya, dalam novel ini masih ditemukan beberapa salah tulis dan tulisan kurang jelas.  Namun lepas dari kekuranganya, novel ini patut dibaca. Di sini kita dapat belajar bahwa dalam mendidik anak bukan hanya materi yang diutamakan, namun juga kasih sayang dan pendidikan langsung dari orangtua yang merupakan madrasah pertama.  Menarik.

Srobyong, 10 Juni 2017 

No comments:

Post a Comment