Friday 3 June 2016

[Review] Belajar Mencintai Secara Ikhlas


Judul               : My Perfect Doll
Penulis             :  Frisca Marth
Editor              : Tri Kuncoro P.H.
Penerbit           : Buku Oryzaee
Cetakan           : Pertama, 2016
Halaman          : xii + 370 hlm
ISBN               : 978-602-73305-5-9

Menjadi wanita yang tidak lagi sempurna bukanlah pilihannya.  Hanya saja semua itu sudah menjadi suratan takdir bagi dirinya dan tak bisa dihindari. Bahkan karena ketidaksempurnaan yang melekat pada dirinya, membuat wanita itu kehilangan mimpi dan terjebak pada sebuah hubungan menyakitkan yang tidak pernah dia duga.

Novel ini menceritakan  tentang Davina Laurencia yang harus menerima takdir menikah dengan  Devon Hendrico Jonthan,  sejak kecelakan yang merenggut segala kesempurnaan hidup yang sempat dimiliki.  Ayah Devon yang kebetulan menabrak Davina merasa sangat bersalah, sehingga menuntut anaknya—Devon untuk  menikahi Davina agar menjaga wanita itu yang kini tak bisa lagi berjalan, sebagai wujud tanggungjawab.

Namun bagi Devon menikah dengan Devina itu bencana. Kenapa harus dia yang bertanggung jawab atas kecacatan Davina padahal dirinya pun kehilangan orang yang paling disayanginya—sang ayah. “Karena kau, aku kehilangan satu-satunya anggota keluargaku. Tapi anehnya aku harus bertanggujawab atas kecacatanmu!.”  Selamanya dia akan membenci Devina. Dan dia akan berusaha membuat Davina menuntut cerai dari dirinya. (hal. 12) 

Davina memang sedih jika mengingat segala tingkah polah Devon yang secara terang-terangan menganggap dirinya musuh. Membencinya dengan  sangat kentara. Menyakiti Davina dengan suka bergonta ganti wanita.  Tapi Davina mencoba bertahan demi sebuah permintaan dari Alfredo Jonathan—ayah Devon.

Davina tetap memperlakukan Devon dengan baik. Menyiapkan sarapan untuk suaminya, menyiapkan pakaian dan selalu menunggu kepulangannya. Davina akan setia duduk di tepian jendela menunggu Devon.

Hanya saja sikap Devon tak pernah sekalipun lunak pada Davina. Dia kerap membentak dan mencaci maki Davina  yang hanya bisa berada di kursi roda.  Jika Devon bersikukuh bersikah seperti itu, Davina juga tetap bersikukuh selalu memperlakukan Devon dengan baik. Dia bahkan merawat suaminya dengan telaten ketika sakit. (hal. 33)  Tapi bagi Devon, Davina hanyalah sebuah boneka baginya—tidak lebih.

Sampai kemudian sosok Joshua datang dan  membawa Davina menjauh dari hidupnya.  Sebuah kenyataan yang sejatinya sejak lama Devon tunggu. Namun entah kenapa dia merasa kehilangan sosok boneka yang sering disakitinya—wanita yang tampak selalu tegar dan selalu mengalah.   Devon  menjadi kacau dan Davina sendiri baru menyadari  sejak kehadiran Joshua, bahwa mau tidak mau harus dia  harus mengambil keputusan yang  terbaik demi kebaikan semua orang.  

Sebuah novel yang sangat menghibur dan enak untuk dinikmati.  Kisahnya diceritakan dengan gaya bahasa santai dan renyah.  Kejutan-kejutan kecil yang ada dalam pergantian bab menjadi tambahan poin tersendiri.   Memang sih ada beberapa bagian yang bisa ditebak. Tapi ternyata penulis tetap memiliki kejutan lain yang tidak terduga.

Serta ada beberapa pesan yang termaktub dalam beberapa quote dalam novel ini.  “Tidak ada gunanya menyimpan dendam.” (hal. 179)  Seseorang harus ikhlas. “Kematian seseorang sudah diatur Tuhan.” (hal. 182) Serta dalam mencinta seseorang itu harus ikhlas. “Cinta bukan persoalan fisik yang sempurna, melainkan hati dan penerimaan seutuhnya.”

Hanya saja masih ada beberapa kesalahan kepenulisan dan beberapa bagian yang saya rasa ada beberapa loncatan.  Setting-nya  belum merasuk dalam feel cerita. Masih terasa hanya samar-samar.  Juga pemilihan nama Devon dan Davina jadi suka sering beribet karena agak mirip. Tapi lepas dari semua itu, novel ini tetap asyik dibaca. Apalagi pada penikmat genre romance. Sikap Devon yang evil dan kebaikan Joshua, pasti akan membuat pembaca gregetan. Juga sikap Davina yang terlalu baik pake banget.

Aku rasa ini quote yang cukup manis

“Hati  wanita tak ubahnya  bagaikan kristal.  Sekali, kau menghancurkannya, aka akan sangat sulit bagimu membuatnya utuh kembali. Tapi, percayalah, jika kau bersabar dan melakukannya dengan cara yang benar, meski tidak kembali utuh sepenuhnya, setidaknya perjuanganmu tidak akan sia-sia.” (hal. 190)


Srobyong, 3 Juni 2016 

No comments:

Post a Comment