[Sumber gambar : Pixiz]
Judul :
Bilangan Fu
Penulis :
Ayu Utami
Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal :
572 halaman
Cetakan :
Kedua, Oktober 2018
ISBN :
978-602-424-397-5
Setelah mendulang sukses dalam debut karyanya berjudul
“Saman”—yang merupakan pemenang Sayembara Roman DKJ 1998—Ayu Utami kembali
melahirkan sebuah karya tidak kalah menarik.
Di mana novel ini merupakan peraih “Khatulistiwa
Literary Award 2008” . Dan di tahun
yang sama novel ini juga mendapat penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara
(Mastera). Mengambil tema dasar tentang
kisah roman pemanjat tebing yang dipadukan dengan tema spiritualisme kritis,
kisah yang ditawarkan penulis ini cukup
menarik untuk dibaca.
Sandi Yuda adalah seorang pemanjat tebing. Baginya menjadi pemanjat tebing adalah sebuah dorongan yang
menunjukkan bahwa dia adalah seorang
yang unggul—lelaki yang tidak menyerah pada kegenitan, kecemasan, ketakutan ataupun
bujuk-manja kemewahan kota. Lelaki yang
kuat dan merdeka. Bersama teman-temannya
dia mendaki petebingan di desa Sewugunung
dekat lereng watugunung. Agar pendakiannya berhasil, maka dia harus bisa
membuka jalur pendakian dengan memaku
dan mengebor batu-batuan di tebing dengan penuh kehati-hatian. Dia memiliki
kebiasaan bertaruh dengan hal-hal yang tidak biasa.
Ada pula Parang jati, seorang mahasiswa geologi yang
juga suka memanjat tebing. Dan kebetulan dia tinggal di desa Sewugunung.
Berbeda dengan Yuda yang memanjat dengan mengebor tebing, maka tidak dengan
Parang Jati. Menurutnya dalam memanjat tebing, kita tidak boleh menyakiti
bebatuan tebing dengan memaku dan mengebor. Karena itu akan merusak keindahan alam itu sendiri. Parang Jati
khawatir kebiasaan memanjat dengan cara itu lama kelamaan akan merusak dan
bahkan memusnahkan bukit itu sebagaimana yang terjadi pada bukit citatah. Namun
meski berbeda cara, mereka yang bertemu secara tidak sengaja malah mencari
teman.
Marja adalah kekasih Yuda. Mereka memiliki hubungan
unik namun saling memahami dan pengertian.
Hal itulah yang membuat hubungan mereka awet. Namun bagaimana ketika
tiba-tiba Parang Jati hadir di antara mereka? Selain membahas tentang
percintaan dua pemanjat tebing, novel ini juga mengulik perihal masalah
keagamaan di tanah air secara menarik
dan menggelitik. Kemudian ada pula kritik
terhadap masalah masalah gerakan militer yang ada di pemerintahan.
Hemat saya secara garis besar melalui buku ini, Ayu
Utami mencoba mengkritisi berbagai permasalahan yang ada di masa orde baru. Seperti
sikap intoleran yang dan cara beragama yang terkesan formalitas—maksudnya agama
yang dianut warga mengikuti apa yang diikuti oleh orang-orang kebanyakan atau
orang-orang yang memiliki kuasa.
Hanya saja dari segi bercerita dan gaya bahasa, buku
ini cukup sulit untuk dicerna. Kita harus membaca beberapa kali agar memahami
esensi yang disampaikan penulis. Karena dari segi cerita selain roman antara
Yuda, Parang Jati dan Marja, novel ini lebih banyak memunculkan fragmen-fragmen yang
berhubungan dengan masalah mitos, adat dan budaya yang cukup detail ulasannya, di banding kisah
itu sendiri. Semisalnya masalah kisah
Nyi Rorokidul dan atau pewayangan yang menggambarkan sosok Drupadi.
Jadi selama membaca novel ini, saya seperti membaca
sejarah dan dongeng dari fragmen yang dimunculkan penulis. Namun lepas dari
kekurangan yang ada, saya sangat salut dengan penulis yang mana demi
menyelesaikan naskah ini, dia melakukan banyak riset bahkan ikut berlatih
panjat tebing dan masuk sekolah panjat Tebing Skygers. Setidaknya dalam usaha
menuntaskan novel yang konon idenya berasal dari kekasihnya (bernama Erik yang
seorang pemanjat tebing) Ayu membutuhkan waktu 4 tahun untuk pencarian dan
sembilan bulan untuk menuntaskan cerita.
Hal ini adalah bukti nyata dalam totalitas Ayu dalam
membuat sebuah karya. Bahwa dia tidak main-main demi menghasilkan sebuah cerita
yang bisa jadi akan memberi inspirasi bagi pembaca serta renungan yang
mendalam. Misalnya kritik menarik tentang persamaan pemanjat tebing—khusunya
penganut dirty climbing—dengan para pemeluk agama. Di mana pemanjat
tebing ketika memiliki ambisi untuk berhasil, mereka akan berjuang keras agar
bisa meraih ambisinya, meski itu dia
harus memaku dan mengebor tepian tebing sehingga merusak alam. Yang terpenting
mereka berhasil sampai di atas.
Begitu pula seorang penganut agama. Agar agama yang
dianutnya itu bisa tersiar ke semua orang, kadang ada oknum-oknum yang
melakukan berbagai cara meski itu dengan kekerasan agar agamanya diterima. Padahal
tentu saja cara itu merupakan cara yang salah.
Tapi ada juga pemanjat tebing yang lebih memilih menyatu dan
bersahabat dengan alam serta penganut agama yang dalam syiarnya memakai cara
damai dan bersahabat. Dan saya rasa
kejadian semacam itu sampai sekarang pun masih bisa kita lihat dan memang
berada di sekitar kita.
Yang saya sukai dari novel ini adalah nilai-nilai
kehidupan yang cukup banyak bisa kita ambil pembelajaran. Misalnya dalam
memanfaatkan teknologi, serta ajakan untuk lebih menghargai alam dengan merawat
dan tidak merusaknya.
Srobyong, 10 Februari 2019
butuh waktu 4 tahun lebih untuk mengerjakan sebuah novel ,
ReplyDeletewah ini kalo saya mungkin ngga bakal fokus
Tergantung motivasinya Mas 😁
Delete