Sunday 10 February 2019

[Resensi] Roman Pemanjat Tebing dan Spiritualisme Kritis




[Sumber gambar : Pixiz] 


Judul               : Bilangan Fu
Penulis             : Ayu Utami
Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal               : 572 halaman
Cetakan           : Kedua, Oktober 2018
ISBN               : 978-602-424-397-5

Setelah mendulang sukses dalam debut karyanya berjudul “Saman”—yang merupakan pemenang Sayembara Roman DKJ 1998—Ayu Utami kembali melahirkan sebuah karya tidak kalah menarik.    Di mana novel ini merupakan peraih “Khatulistiwa Literary Award 2008” .  Dan di tahun yang sama novel ini juga mendapat penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera).  Mengambil tema dasar tentang kisah roman pemanjat tebing yang dipadukan dengan tema spiritualisme kritis, kisah  yang ditawarkan penulis ini cukup menarik untuk dibaca.  

Sandi Yuda adalah seorang pemanjat tebing.  Baginya menjadi  pemanjat tebing adalah sebuah dorongan yang menunjukkan  bahwa dia adalah seorang yang unggul—lelaki yang tidak menyerah pada kegenitan, kecemasan, ketakutan ataupun bujuk-manja kemewahan kota.  Lelaki yang kuat dan merdeka.  Bersama teman-temannya dia mendaki  petebingan di desa Sewugunung dekat lereng watugunung.   Agar  pendakiannya berhasil, maka dia harus bisa membuka jalur pendakian dengan  memaku dan mengebor batu-batuan di tebing dengan penuh kehati-hatian. Dia memiliki kebiasaan bertaruh dengan hal-hal yang tidak biasa.

Ada pula Parang jati, seorang mahasiswa geologi yang juga suka memanjat tebing. Dan kebetulan dia tinggal di desa Sewugunung. Berbeda dengan Yuda yang memanjat dengan mengebor tebing, maka tidak dengan Parang Jati. Menurutnya dalam memanjat tebing, kita tidak boleh menyakiti bebatuan tebing dengan memaku dan mengebor. Karena itu akan merusak  keindahan alam itu sendiri. Parang Jati khawatir kebiasaan memanjat dengan cara itu lama kelamaan akan merusak dan bahkan memusnahkan bukit itu sebagaimana yang terjadi pada bukit citatah. Namun meski berbeda cara, mereka yang bertemu secara tidak sengaja malah mencari teman.

Marja adalah kekasih Yuda. Mereka memiliki hubungan unik namun saling memahami dan pengertian.  Hal itulah yang membuat hubungan mereka awet. Namun bagaimana ketika tiba-tiba Parang Jati hadir di antara mereka? Selain membahas tentang percintaan dua pemanjat tebing, novel ini juga mengulik perihal masalah keagamaan di tanah air secara  menarik dan menggelitik. Kemudian ada pula  kritik terhadap masalah masalah gerakan militer yang ada di pemerintahan.

Hemat saya secara garis besar melalui buku ini, Ayu Utami mencoba mengkritisi berbagai permasalahan yang ada di masa orde baru. Seperti sikap intoleran yang dan cara beragama yang terkesan formalitas—maksudnya agama yang dianut warga mengikuti apa yang diikuti oleh orang-orang kebanyakan atau orang-orang yang memiliki kuasa.  

Hanya saja dari segi bercerita dan gaya bahasa, buku ini cukup sulit untuk dicerna. Kita harus membaca beberapa kali agar memahami esensi yang disampaikan penulis. Karena dari segi cerita selain roman antara Yuda, Parang Jati dan Marja, novel ini lebih banyak memunculkan fragmen-fragmen yang berhubungan dengan masalah mitos, adat dan budaya  yang cukup detail ulasannya, di banding kisah itu sendiri.  Semisalnya masalah kisah Nyi Rorokidul dan atau pewayangan yang menggambarkan sosok Drupadi.

Jadi selama membaca novel ini, saya seperti membaca sejarah dan dongeng dari fragmen yang dimunculkan penulis. Namun lepas dari kekurangan yang ada, saya sangat salut dengan penulis yang mana demi menyelesaikan naskah ini, dia melakukan banyak riset bahkan ikut berlatih panjat tebing dan masuk sekolah panjat Tebing Skygers. Setidaknya dalam usaha menuntaskan novel yang konon idenya berasal dari kekasihnya (bernama Erik yang seorang pemanjat tebing) Ayu membutuhkan waktu 4 tahun untuk pencarian dan sembilan bulan untuk menuntaskan cerita.

Hal ini adalah bukti nyata dalam totalitas Ayu dalam membuat sebuah karya. Bahwa dia tidak main-main demi menghasilkan sebuah cerita yang bisa jadi akan memberi inspirasi bagi pembaca serta renungan yang mendalam. Misalnya kritik menarik tentang persamaan pemanjat tebing—khusunya penganut dirty climbing—dengan para pemeluk agama. Di mana pemanjat tebing ketika memiliki ambisi untuk berhasil, mereka akan berjuang keras agar bisa meraih ambisinya,  meski itu dia harus memaku dan mengebor tepian tebing sehingga merusak alam. Yang terpenting mereka berhasil sampai di atas.

Begitu pula seorang penganut agama. Agar agama yang dianutnya itu bisa tersiar ke semua orang, kadang ada oknum-oknum yang melakukan berbagai cara meski itu dengan kekerasan agar agamanya diterima. Padahal tentu saja cara itu merupakan cara yang salah.

Tapi ada juga  pemanjat tebing yang lebih memilih menyatu dan bersahabat dengan alam serta penganut agama yang dalam syiarnya memakai cara damai dan bersahabat.  Dan saya rasa kejadian semacam itu sampai sekarang pun masih bisa kita lihat dan memang berada di sekitar kita.

Yang saya sukai dari novel ini adalah nilai-nilai kehidupan yang cukup banyak bisa kita ambil pembelajaran. Misalnya dalam memanfaatkan teknologi, serta ajakan untuk lebih menghargai alam dengan merawat dan tidak merusaknya.

Srobyong, 10 Februari 2019


2 comments:

  1. butuh waktu 4 tahun lebih untuk mengerjakan sebuah novel ,
    wah ini kalo saya mungkin ngga bakal fokus

    ReplyDelete