Wednesday, 29 January 2025

Resensi Buku Rumus Bahagia [Mempelajari Rumus Bahagia]



Judul               : Rumus Bahagia

Penulis             : Mo Gawdat

Penerjemah      : Alex Tri Kantjono Widodo

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama

Cetakana         : Pertama, 2020

Tebal               : 382 halaman

ISBN               : 978-602-06- 2430-3

Peresensi         : Ratnani Latifah

 



Hampir setiap orang mendambakan kebahagiaan dalam kehidupannya. Meskipun dalam mewujudkan kebahagiaan itu kadang kita akan bertemu dengan tembok penghalang—misalnya kehilangan, kerentanan dan berbagai rasa lain yang tidak baik—bertemu banyak kejutan yang tidak terduga dan berbagai tantangan lainnya. Akan tetapi jika kita dapat mengatur ulang diri ini, dapat menemukan jalan kembali untuk penyesuaian diri dengan apa yang kita alami, sejatinya kita dapat menumbuhkan kebahagiaan lagi.

Buku “Rumus Bahagia” karya Mo Gawdat ini dapat menjadi panduan bagi kita untuk menumbuhkan dan menciptakan kebahagiaan yang kita inginkan. Terlebih buku ini hadir dari pengalaman penulis setelah mengalami berbagai kepedihan; dimulai dari kehilangan Ali, putranya  dan saudara lelakinya, gagal dalam kesepakatan bisnis serta berbagai kejadian buruk lainnya.

Pasca kejadian yang ia alami, penulis  berusaha menguji sistem alogaritma yang telah ia kembangkan dan pelan-pelan dirinya dapat menikmati perjalanan hidupnya yang naik turun, penuh tantangan dengan Rumus Bahagia yang ia kembangkan. Seperti apakah Rumus Bahagia yang ditawarkan Mo Gawdat ini?

“Kebahagiaan  dalam  dunia modern dikelilingi mitos. Sebagian besar pemahaman kita tentang apa itu kebahagiaan dan dari mana kita dapat menemukannya mengalami distorsi. Ketika Anda tahu yang sedang Anda cari, pencarian menjadi mudah. Mungkin perlu waktu untuk melepaskan kebiasaan-kebiasaan lama, tetapi selama Anda bertahan di jalan yang benar, Anda akan meraihnya.”

(Mo Gawdat, Rumus Bahagia. hal. 1)

Pada bagian pertama kita akan diajak untuk menyusun persamaan. Di sini kita diajak untuk mengenal diri sendiri, siapa kita, bagaimana status sosial kita hingga tragedi apa yang pernah kita alami. Dari semua itu, faktanya siapa pun kita diri ini memang mendambakan kebahagiaan.

“Keinginan untuk merasakan kebahagiaan merupakan keinginan dasar manusia seperti dorongan bagi kita untuk bernapas.”

Dalam upaya meraih kebahagian, ada yang memperjuangkannya dengan mengukir prestasi, meraih keberhasilan, mengumpulkan kekayaan atau meraih ketenaran. Namun, faktanya semua itu tidak selalu menjadi faktor kebahagiaan, ada banyak orang yang telah sukses, tetapi mereka masih merasa tidak puas dan masih mendambakan kebahagiaan.

Di sini kita dapat menyimpulkan bahwa kesuksesan itu bukan syarat utama dalam meraih kebahagiaan. Akan tetapi dengan bahagia kita dapat meraih keberhasilan. Di sini penulis mengungkapkan bahwa ada sumber-sumber lain yang dapat membuat rasa bahagia itu lebih menenangkan. Bahkan jika itu hal-hal yang sederhana. Misal kita merasa bahagia ketika melihat langit cerah, merasa bahagia dengan secangkir kopi dan buku,  atau membuat daftar kebahagian yang kita alami dalam sehari-hari. Dan faktanya hal ini memang sangat membantu. Saya pun pelan-pelan mencoba melakukan hal ini untuk menumbuhkan rasa bahagia dari hal-hal kecil yang saya alami. 


Kemudian, dijelaskan pula bahwa pikiran kita memiliki kekuatan dalam menumbuhkan kebahagiaan yang kita harapkan. Dan rasa sakit yang kita rasakan, meskipun rasanya tidak selalu menyenangkan, tetapi rasa sakit itu pada dasarnya memberikan kita banyak manfaat. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Hal ini memang ada benarnya, ketika kita lebih sering berpikir positif, maka hal baik itulah yang terjadi. Sebaliknya jika kita sering berpikiran buruk, resah dan tidak tenang itulah yang kita dapatkan. 

Penulis juga memaparkan  macam-macam pikiran yang secara keseluruhan dapat memberikan pengaruh bagaimana kita dapat menghadapi suatu masalah dan dalam menyikapi apa yang kita alami. Setidaknya ada lima kondisi pikiran kita,

Kondisi bingung, kondisi menderita, kondisi pelarian, kondisi bahagia, kondisi sukacita

Ketika kita memahami lima kondisi pikiran kita, maka hal itu akan memudahkan kita dalam membangun model kebahagiaan versi kita.

Misalnya dalam kondisi bingung kita rentan mengalami ilusi yang membuat kita pikiran menjadi tidak tenang. Kita membayangkan hal-hal yang tidak baik, kita merasa kehabisan waktu, merasa tertinggal, hingga perasaan bingung semakin lekat dalam diri kita. Kita seolah berada di labirin panjang yang tidak tahu jalan keluarnya.

Sedangkan ketika kita berada pada kondisi suka cita,  pikiran kita lebih memahami dan menerima kehidupan memang seperti ini. Kadang ada riak dan tantangan, tetapi ketika kita paham memang seperti itulah kehidupan, maka kita lebih mudah berdamai dengan keadaan dan tidak mudah terjebak pada kondisi kebingungan yang rentan.

Pada bagian dua kita diajak untuk menyelami lebih dalam tentang bagaimana memaknai kebahagiaan, yaitu tentang 6 Ilusi Besar; yaitu hal-hal yang dapat memengaruhi kita dalam memaknai kebahagiaan.

Seringkali tanpa kita sadari, diri ini masih sering terjebak pada suara kecil yang ada di pikiran kita. Suara yang terus berisik yang kadang ia membawa pengaruh buruk, kadang juga membawa pengaruh yang baik.  Agar kita lebih mudah dalam menemukan titik kebahagiaan, penulis menganjurkan kita untuk pelan-pelan mengelola suara berisik tersebut.

Secara sederhana, pelan-pelan singkirkan pikiran negatif yang menggema, kuasai diri dan pikirkan hal-hal baik yang membawa pengaruh positif pada diri.

Kalau kata Mo Gawdat, ia menuturkan,

“Kebahagiaan selalu ditemukan di sisi positif setiap konsep.”

(hal. 58)

Kemudian kita diajak untuk mengenal siapakah diri kita yang sebenarnya. Di mana secara keseluruhan kita diajak untul belajar menjadi diri sendiri, apa pun kata orang. Menjadi diri sendiri akan membuat kita lebih menghargai dan mencintai diri sendiri. Menghargai diri dapat menumbuhkan rasa bahagia dan ketenangan hati. Nyatanya memang benar. Ketika kita fokus menerima diri, kita jadi lebih mudah untuk berdamai dengan diri sendiri dan tidak lagi ingin membandingkan diri. 

“Tidak ada baik atau buruk, tetapi pikiranlah yang membuatnya demikian.”

(hal. 121)

Tidak hanya itu kita juga diajak berdamai dengan keadaan di masa lalu dan menghargai masa kini.

“Jika Anda ingin bahagia, hayatilah hidup pada detik ini juga.”

(hal. 141)

Secara ringkas bagian tiga akan membahas tentang 7 Titik Buta yang kerap membuat kita kesulitan menemukan kebahagiaan. Misalnya kebiasaan kita yang sering mengkritik diri sendiri.

“Otak kita cenderung lebih sering mengkritik, mencela, dan mengeluh daripada sebaliknya.”

(hal. 200)

Dan bagian keempat akan membahas tentang  5 Kebenaran, tentang kebahagiaan. Pada bagian ini kita diharapkan dapat menyadari pola kehidupan. Bahwa sesekali kita mungkin akan bertemu hal-hal yang tidak menyenangkan, kesedihan atau kegagalan. Akan tetapi ketika kita siap dan maun menerimanya, belajar bersyukur pada hal-hal kecil, menumbuhkan cinta pada orang lain, maka di sana pelan-pelan kita akan menemukan kebahagiaan yang kita ingini.

“Bersyukur adalah jalan pasti menuju kebahagiaan.”

(hal. 264)

Bahwa hidup bahagia itu, bukan berarti kehidupan ini selalu berjalan lancar sesuai apa yang kita harapan. Akan tetapi ketika kita dapat mengelola hati dan pikiran, dapat menghargai setiap perjalanan hidup dan menerima takdir yang telah Allah tetapkan.

Buku ini banyak memberikan gambaran baru tentang bagaimana memaknai kebahagiaan. Membaca buku ini saya seperti diajak menyelami diri, guna memahami bagaimana kita dapat menumbuhkan bahagia yang sebenarnya alih-alih terpaku pada bahagia semu yang kerap kita anggap sebagai kebahagiaan sejati.



Membaca buku ini setidaknya saya memahami, bahwa:

  1. Bahagia itu hadir dari dalam diri sendiri
  2. Bahagia hadir bukan hanya karena prestasi atau kesuksesan dan kekayaan.
  3. Bahagia dapat hadir dengan penerimaan diri
  4. Bahagia tumbuh dari pikiran positif
  5. Belajar menghentikan kebiasaan mengeluh dan mengkritik diri dapat membuat kita lebih tenang dan bahagia
  6. Bahagia itu belajar berdamai dengan keadaan
  7. Berhenti overthinking agar lebih menikmati hidup
  8. Bahagia hadir dengan rasa syukur
  9. Bahagia tumbuh dari rasa cinta kasih
  10. Berbagai masalah yang hadir memang kadang membuat kita sedih, tetapi kepedihan juga membawa manfaat baik bagi kehidupan.
  11. Bahagia tumbuh ketika kita lebih fokus pada saat ini, daripada terjebak masa lalu
  12. Boleh memikirkan masa depan, tetapi jangan lupa menikmati masa sekarang ini.

Saya rekomendasikan buku ini untuk siapa pun yang sedang berusaha menemukan jati diri dan berjuang untuk menjadi pribadi yang lebih baik,  menghargai proses hidup yang dimiliki dan menemukan bahagia versi dirinya sendiri.

Srobyong, 29 Januari 2025

 













 

 

Monday, 13 January 2025

Resensi Digital Minimalis - [Memegang Kendali Diri di Tengah Gempuran Teknologi]

 

Judul               : Digital Minimalism; Mempertahankan Fokus di Tengah Dunia yang Gaduh

Penulis             : Cal Newport

Penerjemah      : Agnes Cynthia

Penerbit           : Gramedia

Cetakan           : Pertama, 2024

Tebal               : 360 halaman

ISBN               : 978-602-06-4469-1

Peresensi         : Ratnani Latifah, Penulis tinggal di Jepara


Seharusnya, kita  adalah orang yang memegang kendali kehidupan di dunia ini. Kita yang menentukan cara menjalani kehidupan,  juga cara menghadapi dunia yang serba cepat.  Akan tetapi, faktanya saat ini teknologi-lah yang mulai memegang kendali atas diri kita. Gempuran teknologi yang semakin hari semakin pesat membuat kita  menjadi kewalahan. Kita terlalu banyak menghabiskan waktu dengan ponsel pintar, dibandingkan membangun relasi secara nyata dengan komunikasi terbuka tanpa gangguan gadget.


Lalu bagaimana kita menghadapi gempuran teknologi, agar tetap bijak dalam memanfaatkan fasilitas tersebut? Buku Digital Minimalism ini akan membantu kita menemukan cara mengendalikan diri agar tidak lagi terjebak di dunia digital, cara tetap fokus di tengah dunia yang gaduh.


Disadari atau tidak, saat ini kita memang tengah terjebak di dunia digital yang membuat kita selalu fokus pada layar handpohone. Setiap hari, setiap waktu kita akan berkutat dengan ponsel pintar sejak bangun tidur hingga bersiap tidur kembali. Kita menghabiskan waktu untuk mengecek surel, mengecek notifikasi media sosial yang kita miliki. Bahkan di saat  sedang makan, kita masih berkutat dengan ponsel untuk hal-hal kecil, seperti melihat status teman dunia maya kita, melihat jumlah like postingan kita, atau untuk menonton drama.


Tanpa kita sadari, ketika kita jauh dari ponsel, ada perasaan tertinggal dan tidak nyaman karena tidak mengetahui seputar info terbaru. Dan sering kali kita menjadi tidak tenang dan penasaran mengintip jumlah like, share atau komen di posingan kita. Apakah postingan kita diminati, menarik dan disukai?


Fenomena ini,  membuat Bill Maher mengungkapkan kegelisahannya. Apa yang ia lihat dan rasakan saat ini, mengingatkannya tentang perusahaan tembakau yang merekayasa rokok mereka agar  menjadi lebih candu.  Sehingga ia menyimpulkan seperti ini.


“Mengecek  berapa jumlah ’like’ yang kita terima  saat ini adalah  nikotin jenis baru.”

 (hal. 11)


Jika kita memikirkannya kembali, rasanya kita memang sering melakukannya, bukan? Media sosial itu seperti candu yang membuat kita kadang sulit untuk berbalik arah dan cenderung menggunakan banyak waktu untuk berselancar di sana.


Apa itu kecanduan? Dalam buku ini dijelaskan,


“Kecanduan adalah kondisi ketika seseorang mengonsumi zat tertentu atau memiliki perilaku tertentu karena ganjaran yang diterimanya memberikan intensif yang menarik untuk mengulangi perilakunya meskipun konsekuensinya bersifat merusak.”

(hal. 19)


Rasa-rasanya bukankah kadang kita seolah telah berada di jalan persimpangan ini? Kita sadar terlalu fokus di media sosial itu kadang dampaknya tidak baik, tetapi kita masih terus mengulanginya lagi, bukan?  (Membaca buku ini jadi menatap diri sendiri, semoga pelan-pelan dapat berubah dan lebih bijak menggunakan media sosial. Hisk)


Dunia digital pelan-pelan  telah mengalihkan dunia nyata kita, hingga kita seolah abai dengan keadaan sekitar. Saat berkumpul bersama teman, saudara atau keluarga,  raga kita memang berada di sana, tetapi jiwa kita tidak fokus di sana. Kita lebih sering mengecek gadget, kita asyik berselancar sendiri, atau kita tidak fokus saat diajak berbicara.


Ketika bersama anak atau momen berkumpul dengan keluarga,  kita tidak lagi fokus menikmati momen kebersamaan yang menyenangkan, kadang kita lebih fokus untuk merekam segala kegiatan itu guna untuk dishare di media sosialnya. Sehingga kita jadi sulit menikmati sebuah momen yang indah dan berkesan karena sibuk membuat dokumentasi.


“Teknologi-teknologi ini semakin lama semakin mendikte cara kita dalam berperilaku serta apa yang kita rasakan. sehingga entah mengapa kita sering memaksakan diri menggunakan ia lebih dalam daripada melakukan kegiatan lain yang lebih bernilai.”

(hal. 9)


Terlepas dari pengaruh negatif dalam perkembangan teknologi, kita pun tahu bahwa teknologi sebenarnya tidak selalu buruk—ia memiliki banyak manfaat dan kegunaan, ia memudahkan dan meringankan, tetapi bagaimana kita  menggunakannya akan membawa pengaruh besar  dalam kehidupan kita. Agar kita dapat mengendalikan diri di tengah gempuran teknologi dan bahaya kecanduan teknologi, ada baiknya kita mencoba menerapkan kiat yang dipaparkan penulis ini.


Salah satunya kita dapat memulainya dengan menerapkan  minimalisme digital; yaitu membangun kebiasaan  menggunakan teknologi hanya untuk hal-hal yang penting, dengan melihat manfaat dan dampaknya bagi diri kita. Kita tidak perlu memiliki media sosial, tetapi gunakan yang memang kita butuhkan dan perlukan.  


“Filosofi tentang pemanfaatan teknologi, ketika Anda memfokuskan waktu dari Anda pada sejumlah kecik kegiatan yang telah dipilih dengan saksama dan dioptimalkan, yang menunjang hal-hal yang menurut Anda penting, dan membuat Anda dengan gembira dapat melewatkan semua kegiatan daring lain.”

(hal. 35)


Untuk mewujudkannya, kita harus belajar menerapkan prinsip-prinsip minimalisme digital, yang sudah dijelaskan sangat gamblang oleh penulis di buku ini.


Kemudian, cara kedua kita dapat mulai bersih-bersih digital, yaitu  mulai mengambil jeda dari sejumlah teknologi selama kurang lebih  tiga puluh hari. Kita dapat menghapus aplikasi yang tidak kita butuhkan, kita menyeting notifikasi agar tidak membuat kita kewalahan. Setelah masa jeda selesai coba kembali berkenalan dengan teknologi dan memiliki  menentukan nilai teknologi  yang akan kita gunakan. 


Penting untuk kita ketahui, berdasarkan hasil studi telah dijelaskan, bahwa kadang media sosial itu memang membuat kita terkoneksi, tetapi di sisi lain kita juga nerasa kesepian. Kita bahagian tetapi juga sedih.


“Penggunaan media sosial dan ponsel cerdas tampaknya telah menyebabkan meningkatnya isu-isu kesehatan mental di kalangan remaja.”

(hal. 135)




Secara keseluruhan buku ini sangat menarik.  Penulis melengkapi buku ini dengan kisah nyata dari para pejuang minimalisme digital yang mengungkapkan betapa hidup menjadi lebih menyenangkan dan terkendali ketika kita dapat menggunakan teknologi secara bijak. Selain itu penulis juga memberikan arahan dan tips bagaimana agar kita belajar konsisten untuk memperbaiki pola hidup yang lebih menyenangkan dengan mengurangi paparan teknologi.


Dengan menerapkan minimalisme digital kita dapat memaksimalkan waktu kita untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, lebih produktif, memiliki kualitas tidur yang baik, dan hidup lebih seimbang.


Memang benar tidak ada salahnya kita memanfaatkan tekonologi, tetapi jangan sampai karena teknologi kita kehilangan jati diri, kita menjadi asing dengan orang-orang yang kita kasihi. Seimbangkan kehidupan kita di dunia digital dan non-digital, agar hidup menjadi lebih tenteram. 


Bijak menggunakan teknologi, akan sangat membantu kita mewujudkan diri untuk lebuh dapat mengendalikan diri, untuk menikmati hidup yang telah banyak terkikis modernisasi.


Srobyong, 13 Januari 2025


 

Sunday, 22 December 2024

Resensi Buku Mendengarkan dengan Hati


Judul: Mendengarkan dengan Hati: Menciptakan Hubungan yang Tulus dan Saling Percaya 

Penulis: Patrick King 

Terjemah: Susi Purwoko

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama 

Cetakan:  Pertama, 2024

ISBN: 978-602-06-7653-1


"Tanpa hati, seseorang tidak bisa terhubung di tingkat pribadi dan manusiawi yang mendalam."

(hal. 42)


Salah satu cara agar komunikasi berjalan lancar, agar komunikasi yang kita bangun dengan  siapa pun tidak membuat seseorang  merasa diabaikan adalah dengan menjadi pendengar yang baik. Ketika  kita dapat menjadi pendengar yang baik  saat berkomunikasi dengan siapa pun, maka kita  dapat membangun hubungan yang harmonis dan menyenangkan dengan siapa pun. 


Masalahnya bagaimana agar kita dapat menjadi pendengar yang baik dalam berkomunikasi? Bagaimana  agar kita tidak hanya sekedar mendengarkan, tetapi juga dapat merasakan emosi dan berempati pada teman bicara kita?  Buku ini dapat menjadi bacaan yang akan membantu kita untuk belajar seni mendengarkan dengan hati.


Melalui buku ini kita jadi paham bahwa mendengarkan adalah inti komunikasi yang benar, dan komunikasi yang benar adalah inti setiap hubungan  yang bermakna yang dapat kita miliki dengan orang lain. Karena itulah belajar mendengarkan untuk membangun komunikasi yang baik sangat dianjurkan.


Dan melalui buku ini kita diingatkan bahwa menjadi pendengar yang baik itu bukanlah sikap sosial yang mewah, atau sesuatu yang harus kita lakukan demi  orang lain, tetapi menjadi pendengar yang baik akan bermanfaat untuk diri sendiri juga untuk orang-orang di sekitar kita. 


Kita mungkin pernah mengalami saat berkomunikasi dengan pasangan, teman atau siapa pun, mereka seolah mendengarkan tetapi faktanya mereka tidak  mendengarkan secara mendalam. Sehingga kita merasa diabaikan dan diam-diam terluka.



Pada kesempatan lain ketika kita menceritakan sesuatu pada teman, tetapi teman kita itu meskipun mendengarkan, tetapi tangannya sibuk dengan gawai. Pada saat itu rasanya pasti tidak menyenangkan, bukan? 



Begitu pula ketika kita yang posisinya sebagai pendengar tetapi kita hanya mendengarkan secara sekilas,  lalu dengan santainya memberikan masukan menurut sudut pandang kita sendiri, tanpa memikirkan emosi atau perasaan teman bicara kita. Ia yang bercerita mungkin merasa tidak puas. Bisa jadi ia sebenarnya tidak ingin mendengarkan solusi, tetapi hanya ingin didengar. Jadi runyam, kan, kalau kita tidak dapat memahami lawan bicara.


Di dalam buku ini dijelaskan ada empat gaya komunikasi yang sebaiknya kita pelajari untuk membangun komunikasi yang baik, berdasarkan pilihan, kepribadian dan tujuan seseorang berbincang. Di antaranya  gaya "berorientasi pada orang" gaya mendengarkan yang memberi perhatian pada orang sebagai suatu keutuhan beserta perasaan-perasaannya.  (hal. 36)


Dari empat gaya tersebut agar kita dapat menjadi pendengar yang baik, maka kita dapat membingkai dan menggunakan pendekatan hati. Orang-orang yang melakukan pendekatan hati, biasanya terlebih dahulu mementingkan konten emosional, dan berusaha terhubung. Mereka biasanya mementingkan motivasi, nilai, perasaan dan penghargaan.


Dan agar kita dapat menerapkan seni  mendengarkan dengan hati, maka sebaiknya kita dapat memahami lima tingkatan mendengarkan. Apakah kita orang yang mendengarkan dengan acuh, pura-pura mendengarkan, memilih apa yang didengarkan, mendengarkan dengan perhatian, dan mendengarkan dengan empati.


Selanjutnya tidak kalah penting kita juga harus belajar memvalidasi apa yang dibicarakan lawan bicara kita. Validasi adalah salah satu praktik memberi dan menerima dalam komunikasi sebagai upaya membangun sikap saling menghormati antara dua orang.

 

Secara keseluruhan buku ini sangat menarik. Masih banyak penjelasan lain yang dipaparkan penulis terkait cara menjadi pendengar yang baik; mendengarkan dengan hati. Dipaparkan dengan gaya bahasa yang sederhana  dan tidak membingungkan, buku ini sangat menarik untuk kita kaji secara mendalam. 


Melalui buku ini kita mendapatkan banyak sekali pemahaman baru terkait cara berkomunikasi, di antaranya: 

1. Cara menjadi pendengar yang baik yang mendengarkan dengan hati.

2. Cara membangun hubungan harmonis antara sesama.

3. Cara menciptakan hubungan dan komunikasi yang tulus.

4. Bagaimana cara memberikan validasi pada teman yang berkomunikasi dengan kita.

5. Mengetahui tipe komunikasi seperti apa yang kita miliki, apakah tipe yang narsis atau menjadi pendengar yang baik? 


Penting untuk kita pahami 


"Komunikator yang baik cenderung lebih sedikit bicara dibandingkan komunikator yang buruk." 

(hal. 16)


"Anda akan menjadi orang yang pandai bercakap-cakap dengan menjadi rendah hati, ramah, dan ingin tahu tentang betapa menariknya orang lain." 

(hal. 17)


"Menjadi komunikator yang empatetik adalah menjadi pribadi yang matang secara emosional dan nyaman dengan emosi-emosi, apa pun emosi itu."

(hal. 98-99)


Saturday, 14 December 2024

Resensi - Buku What Happened to You? -Dampak Trauma Masa Kecil dan Cara Pemulihannya

 


-Dampak Trauma Masa Kecil dan Cara Pemulihannya.

 

Judul: What Happened to You: Memahami dan Menyembuhkan Trauma Masa Kecil 

Penulis: Bruce D. Perry dan Oprah Winfrey

Penerjemah: Donna Widjajanto 

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan: Kedua, Maret 2024

ISBN: 978-602-06-7154-3


"Apa yang terjadi padamu?" 


Itulah pertanyaan yang sering diajukan Dr.  Perry seorang psikiater, juga seorang pakar otak dan trauma, asal Amerika pada pasiennya. Menurutnya menggunakan pertanyaan tersebut dapat membuatnya lebih dekat dengan pasien, lebih  memahami  emosi mereka, lebih memahami keadaan mereka dan lebih diterima oleh mereka, dibandingkan menggunakan pertanyaan terkait apa yang salah dengan diri seseorang. 


"Apa yang salah dengan dirimu?"


Mengambil tema yang saat ini banyak dibicarakan yaitu tentang inner child dan trauma masa kecil, buku sangat menarik untuk disimak. Apalagi buku ini disajikan dengan cara yang tidak biasa. Membaca buku ini akan membuat kita menemukan banyak sekali insight baru terkait cara memahami diri dan menyembuhkan diri dari trauma masa kecil.


Buku ini disajikan dalam bentuk percakapan antara Dr. Perry dengan Oprah Winfrey  terkait berbagai masalah tentang trauma masa kecil dan rasa sakit yang pernah merasa rasakan. Melalui percakapan tersebut kita akan diajak  menyelami berbagai keadaan dan kejadian yang pada dasarnya dapat memengaruhi kehidupan kita. Kita diajak mengetahui bagaimana dampak berbagai pola asuh yang kita  alami, rasa sakit akibat ketidakberdayaan, perasaan  sepi karena ditinggalkan, trauma masa lalu yang sulit didamaikan, serta bagaimana untuk sembuh.

Intip daftar isinya dulu, ya.





Membaca buku ini kita seperti diajak untuk melihat kembali ke lorong waktu, melihat diri kita di masa lalu, dan menatap diri ini di masa sekarang.  Kita disadarkan bahwa alasan mengapa kejadian masa lalu seolah masih melekat hingga sekarang, dan kita diajak menemukan cara untuk pulih.



"Pengalaman-pengalaman paling awal memiliki pengaruh paling besar karena saat itulah otak berkembang paling pesat." 

(hal. 14).


Awal masa kehidupan anak, otak mereka berkembang dengan sangat cepat. Saat itu mereka mungkin tampak tidak memahami keadaan yang ada di sekelilingnya. Padahal anak kecil adalah sosok yang sensitif yang dapat menyadari dan memahami bagaimana ia diperlakukan oleh orang lain. 


Ketika anak tumbuh dalam pola asuh yang baik, ia akan merasa aman dan tenang.


Sebaliknya jika ia tumbuh dalam pola asuh yang banyak teriak dan amukan, ia akan tumbuh dengan rasa takut dan tertekan.






"Bagaimana kita dicintai memberitahu cara jaringan saraf penting kita terbentuk, terutama jaringan-jaringan ini regulasi diri." 

(hal.75)


Sedangkan kekacauan dan ketidakterdugaan pengasuhan memengaruhi perkembangan sistem respon stres anak sehingga menjadi tersensitisasi (hal 82).




Secara keseluruhan buku ini sangat menarik dan inspiratif. Dalam percakapan tersebut penulis juga menyertakan kisah-kisah nyata dengan pembahasan, menunjukkan tentang bagaimana trauma itu tumbuh dalam diri seorang dan bagaimana proses pemulihannya. Termasuk kisah Oprah sendiri yang juga mengalami masa kecil yang pahit, penuh luka dan trauma. 


Pesan-pesan yang saya tangkap setelah membaca ini di antara:

1. Pola asuh memiliki pengaruh besar dalam memberikan dampak memori pada anak. Ketika kita diasuh dengan kasih sayang, kita akan tumbuh dengan jiwa yang penyayang. 


Sebaliknya ketika kita diasuh dengan kekerasan, kemarahan dan pengabaian, kita dapat tumbuh dengan rasa trauma dan ketakutan.


"Saya menyadari pengabaian sama beracunnya dengan trauma." 

(Dr. Perry, hal. 179)


2. Anak dapat merekam dengan baik terhadap pengalaman pertama mereka ketika bertumbuh. Karena itulah isilah tangki pertumbuhannya dengan kasih sayang, kepedulian dan penerimaan.


3. Ada beberapa faktor yang dapat membuat seorang anak mengalami stres dan trauma, di antaranya mengalami kejadian tidak terduga yang menyakitkan, ekstrem dan berkepanjangan.


4. Setiap kita mungkin memiliki trauma mas lalu, memiliki luka di masa kecil, tetapi kita dapat pulih ketika mau berproses untuk memperbaiki diri dan sembuh.


5. Agar kita dapat berdamai dengan trauma masa kecil, maka kita harus mengetahui akar masalahnya terlebih dahulu.


6. Agar kita dapat memberikan pola asuh terbaik pada anak,  salah satunya tidak menempatkan mereka di depan layar, tapi berbicara dengan mereka.


Masih banyak pengalaman menarik yang akan kita temukan ketika membaca buku ini. Di mana selama membacanya kita akan terdiam, mengangguk setuju dan termotivasi untuk sembuh. 

Beberapa quotes yang menghangatkan hati


"Trauma dan kesulitan, di satu sisi, adalah karunia. Apa yang akan kita lakukan dengan ini akan berbeda antara satu orang dengan orang lainnya."

 (Dr. Perry. 342)


"Kita harus memiliki keberanian untuk mengorek lukanya dan mulai menyembuhkan diri sendiri."

 (hal. 344)




Thursday, 27 April 2023

Resensi Malice; Catatan Pembunuhan sang Novelis karya Keigo Higashino -Menemukan Motif Pembunuhan sang Novelis



Judul               : Malice; Catatan  Pembunuhan sang Novelis

Penulis             : Keigo Higashino

Penerjemah      : Faira Ammadea

Cetakan           : Kelima, Januari 2022

Halaman          : 304 halaman

ISBN               : 978-602-06-3932-1

Malice; Catatan Pembunuhan sang Novelis, merupakan novel dari seri Detektif Kaga yang paling laris dan banyak dipuji.

Sinopsis

Novel ini sendiri mengisahkan tentang kematian Hidaka Kunihiko, sang novelis handal yang telah melahirkan buku-buku best seller di Jepang.  Pada malam yang tidak terduga Hidaka ini ditemukan tewas  di rumahnya. Tubuhnya ditemukan di ruang kerjanya dalam keadaan terkunci.  Hikada ditemukan dalam keadaan tertelungkup; lehernya terpelintir  sehingga nampak sisi kiri wajahnya. Dan matanya nampak setengah terbuka.

Rie-san, sang istri dan Nonoguchi Osamu, sahabat si penulis merupakan orang yang pertama kali menemukan jasad Hidaka.  Mereka nampak terkejut dengan kematian orang terdekatknya. Padahal Hidaka telah menyiapkan rencana yang cukup matang untuk pindah ke Kanada bersama istrinya.

Detektif Kaga Kyoichiro, petugas yang menyelidiki kasus tersebut berusaha menguak misteri kematian sang penulis. Pada awalnya penyelidikan mengalami kebuntuan.  Orang-orang yang selama ini dicurigai ternyata memiliki alibi kuat. Termasuk  melihat Rie-san dan Nonoguchi. Hingga beberapa waktu kemudian, Detektif Kaga menemukan fakta menarik tentang hubungan Nonoguchi dan Hidaka yang sebenarnya.

Karena fakta itu Detektif menjadi sangat penasaran—bukan bagaimana cara pembunuhan dan siapa yang melakukan, tetapi mengapa Hidaka harus tewas seperti itu.  Bermula dari penemuan itu pula akhirnya sang detektif berusaha menguak misteri paling dalam tentang motif pembunuhan tersebut. Karena kematian Hidaka itu bukanlah kematian biasa.

Review

Seperti biasa, Keigo Higashino selalu memukau dengan cerita-cerita yang ia tulis.  Ia tidak hanya membuat kita (para pembaca) tertegun dan memiliki rasa penasaran tinggi terhadap novel misterinya. Lebih dari itu ia juga mampu membolak-balik emosi pembaca selama membaca novel ini.

Dari segi cerita novel ini ternyata tidak sesederhana yang kita pikirkan. Mungkin setelah membaca berapa halaman kita dapat menebak siapa dalang dari kejadian ini. Akan tetapi setelah itu kita tidak akan mudah berpuas diri. Setelahnya kita akan dibuat penasaran tentang bagaimana dan alasannya. Mengapa? Mengapa?

Seru, menggelitik dan mendebarkan. Membaca pertarungan analisis antara penulis dan detektif akan membuat kita terombang-ambing. Kira-kira siapa yang berkata jujur dan siapa yang menyimpan  kebohongan? Bagaimana tidak? Karena di sini kita akan sering  dibuat salah pahama, dikejutkan dengan fakta-fakta baru yang mencengangkan.  Satu waktu kita mungkin akan benci pada salah satu tokoh cerita, tetapi di halaman lain kita mungkin akan merasa simpati.  Namun itulah salah satu sisi menarik dari novel ini. Karena dari kebingungan yang kita rasakan, kita jadi tidak dapat berhenti membaca sampai menyelesaikan kata tamat.

Dari segi alur dan plot, Keigo Higashino memiliki keluwesan hebat yang mencampurkan alur maju mundur dengan apik. Sejak membaca karya-karyanya seperti Kesetiaan MR. X,  Pembunuhan di Nihonbashi dan Keajaiban Toko Kelontong, saya selalu suka dengan gaya bercerita dan bagaimana ia menciptakan alur yang cukup rumit, tetapi tetap asyik dinikmati.

Selain jalan ceritanya yang memang menarik,  saya menyukai novel ini karena karakter tokohnya adalah penulis.Hidaka dan Nonoguchi adalah sahabat yang sama-sama ingin jadi penulis. Hanya saja ternyata Hidaka lebih dahulu berhasil meraih mimpinya dan bahkan menjadi penulis yang karyanya laris manis. Sedangkan Nonoguchi masih berusaha merintis. Mungkinkah masalah itu yang menjadi latar  belakang terjadinya pembunuhan atau ada misteri lain yang belum diketahui?  Temukan jawabannya di dalam novel ini.

Pesan Cerita  dan Kritik Sosial

Sebagai pembaca saya biasanya tidak hanya fokus  pada jalan cerita saja. Hal yang paling menyenangkan saat membaca biasanya,  secara tidak langsung kita dapat  menyerap banyak pesan-pesan memikat dan kritik sosial di lingkungan sekitar. Pesan yang membuat kita tersenyum karena setuju, atau tertampar karena memang  fakta di lapangan seperti itu.  Novel ini sendiri secara tidak langsung novel ini mengajarkan kita untuk tidak mudah percaya dengan  berita-berita yang belum ada bukti kebenarannya, dan semacam ajakan untuk orang tua memberikan contoh terbaik baik anaknya—khususnya dalam kebiasaan membaca.  

Ada pula pesan tersirat tentang bahaya menyimpan amarah dan dendam. Karena kemarahan dan dendam dapat memunculkan banyak bencana yang tidak terduga.

Pada beberapa adegan saya menemukan beberapa kalimat yang membuat saya setujut sekaligus miris.

“Biasanya orangtua masa kini hanya bisa mengharuskan anak-anaknya untuk membaca, padahal mereka sendiri tidak suka membaca. Aku sendiri tidak paham bagaimana seseorang tidak punya kebiasaan membaca bisa memberi saran pada anaknya tentang buku apa yang bisa mereka baca.”

(hal 48)

“Hubungan  antara guru dan murid dibangun berdasarkan persepsi yang salah., yaitu tugas sang guru adalah mengajarkan sesuatu sementara tugas murid adalah mempelajarinya, Yang penting adalah bagaimana persepsi itu bisa membuat kedua belah pihak sama-sama puas, apalagi yang namanya kebenaran tidak menjamin semuanya akan baik-baik saja. Yang kita kerjakan saat ini sama dengan bermain sekolah-sekolahan.”

(hal 73)

 

Jika setelah ini kamu masih penasaran dengan karya lain Keigo Higashino, jangan khawatir mulai 25 Maret -2 Mei 2023 kamu bisa ikutPre-Order buku terbarunya Angsa dan Kelelawar di sini, ya.  Temukan keseruan ceritanya dan jangan kaget kalau kau akan terpikat.



Srobyong, 27 April 2023