![]() |
![]() |
Judul : Two Queens of Baghdad
Penulis : Nabia Abbott Penerjemah : Juslich Hanafi Penerbit : Buku Republika Cetakan : Pertama, Juli 2021 Tebal : vii + 301 halaman ISBN : 978-623-791-084 Peresensi : Ratnanmi Latifah |
Selama ini mungkin kita hanya mengenal nama-nama
besar dari khalifah pada Dinasti Abbasiyah. Misalnya Khalifah Al-Saffah,
Al-Mansur, Al-Mahdi, Al-Hadi, Harun
ar-Rasyid, Al-Amin atau Al-Makmun. Nama-nama mereka telah terukir dengan sangat
gamblang dalam sejarah Islam. Kisah dan keteneran mereka banyak menarik pada
sejarawan, penulis biografi atau pihal lain yang memang menggemari
literatur. Namun seringakali kita lupa,
bahwa di balik kesuksesan seorang pria, selalu ada wanita yang memiliki peran
penting dalam pencapaian tersebut.
Hal itu juga berlaku bagi tokoh-tokoh besar di masa
kepemimpinan Dinasti Abbasiyah.
Sayangnya kisah yang berhubungan dengan peran wanita tersebut, tidak
banyak dibahasa dalam literatur sejarah Islam. Dan hemat saya, ketika mempelajari
pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam, selain para Khalifah yang dibahas secara
luar, tokoh dan peran wanita tidak disebutkan secara spesifik.
Maka beruntung sekali jika kita membaca buku karya
Nabia Abbott, yang akan membahas tentang sejarah dua ratu yang memiliki peran penting selama Dinasti Abbasiyah tengah berjaya.
Karena tanpa adanya campur tangan mereka, bisa jadi para Khalifah yang selama
ini kita kenal mungkin tidak ada dalam catatan sejarah. Dua ratu yang dimaksud penulis adalah Ratu
Khaizuran dan Ratu Zubaidah. Dengan cukup detail penulis mecoba
mengungkapkan tentang fakta-fakta
menarik yang belum banyak kita ketahui.
Sebagaimana kita ketahui, di masa lampau perbudakan
masih marak terjadi negeri Arab. Tak terkecuali pada masa Dinasti Abbasiyah.
Namun siapa yang menyangka dari rahim seorang budak itulah terlahir tokoh-tokoh
fenomenal yang akhirnya memberikan banyak kontribusi pada perkembangan
Islam. Ratu Khaizuran merupakan gadis
budak dari seorang Arab dari Bani Thagafi. Memiliki pesona yang memikat, gadis
itu akhirnya dapat meluluhkan hati
Khalifah Mansur yang kemudian membuatnya menjadi menantunya. Di mana
pernikahannya dengan Al-Mahdi maka lahirlah dua calon khalifah besar yaitu
Al-Hadi juga Harun Ar-Rasyid. Namun pencapaian itu tidaklah diperoleh Khaizuran
dengan mudah. Ia harus bersusah payah dan tentu harus memiliki kecerdasan dalam
dunia politik, juga memiliki tekad kuat untuk mewujudkan impiannya. Termasuk
upaya besarnya menjadikan Harun ar-Rasyid sebagai seorang Khalifah.
“Matahari yang menakutkan telah melarikan diri, Dan
menyembunyikan wajahnya yang bercahaya di malam hari; Dunia yang suram tidak
ceria. Tapi Harun datang dan semua baik-baik saja. Kembali matahari memancarkan
sinarnya; Alam dihiasi jubah kecantikan: Karena goyangan tongkat harun yang
perkasa, Dan tangan Yahya menopang dunia.” (hal 129)
Berbeda dengan Khaizuran yang merupakan budak,
Zubaidah isri Harun ar-Rasyid merupakan wanita terhormat dari keluarga Dinasti
Ustmaniyah dari Juras. Hanya saja ketika menjadi ratu bagi sang Khalifah,
Zubaidah tak kunjung memiliki keturunan. Karena sebelum ia memiliki anak,
lahirlah Abdullah—yang kemudian dikenal sebagai Al-Makmun—yang lahir dari
seorang budak.
Sebagai seorang pasangan sah dari Khalifah, Ratu
Zubaidah adalah sosok yang luar biasa. Karena jika tidak, sudah pasti ia tidak
akan bertahan dengan posisi tersebut. Karena seorang Ratu harus memiliki hati
seluas samudera juga harus selalu bijak dalam bertindak. Dan itulah yang ia
lakukan. Sampai kemudian ia memiliki putra bernama Al-Amin yang akan membuatnya
harus berpikir berkali-kali antara membantu putranya sendiri atau putra tiri
yang sejak awal ia asuh, karena sang ibu telah mangkat.
Secara keseluruhan, buku ini sangat menarik. Jika
biasanya saat membaca buku-buku sejarah kita merasa malas dan mengantuk, tetapi
tidak untuk buku ini. Semakin kita menyelami isinya, maka kita akan dibuat
semakin penasaran untuk membalik lembar berikutnya. Tak hanya tentang dua ratu tersebut, melalui
buku ini pula kita dapat menemukan syair-syair apik juga nasihat-nasihat bijak
yang patut untuk direnungkan.
Misalnya quote tentang anjuran untuk tidak menunda pekerjaan dan selalu sigap,
“Jangan menunda pekerjaan hari ini, hingga esok;
hadirilah urusan negara secara langsung; dan jangan tidur (di posisi yang
dijabat) karena ayahmu belum tidur sejak dia memasuki masa kekhalifahan, karena
ketika dia tidur menutup mata, jiwanya tetap terjaga.” (hal 5)
Ada pula quote tentang bagaimana cara mencintai dan menghormati wanita;
“Wanita itu seperti tulang rusuk (dari mana dia diciptakan). Jika
kau meluruskannya, kau justru menghancurkannya; jika kau menyukainya, kau harus
menerima sifatnya yang ‘bengkon’.” (hal 50-51)
Kemudian, quote cara yang benar dalam menuntut ilmu.
“Sudah sepatunya pengetahuan harus dicari dengan
rendah hati.” (hal 65)
Dan perlunya bersikap keras jika selama menuntut ilmu ia suka bermalas-malasa dan tidak bisa dinasihati,
“Jangan terlalu lunak dalam memaafkannya sehingga membuat dia
mengganggap kemalasan itu manis dan karena itu berusaha melakukannya.
(hal 204).
Tidak ketinggalan sebuah puisi menarik yang pernah disyairkan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid,
“Biarkan dia sendiri menguasai
negara, Yang pikirannya kokoh, yang hatinya murni; Hindari orang bodoh yang
bimbang, Yang pikiran dan ucapannya tidak pernah pasti.” (hal 206-207)
Dan melalui buku ini pula kita akan mengetahui sepak
terjang dua ratu yang sangat menginspirasi. Karena meskipun mereka harus terjun
dalam dunia politik—mereka adalah tokoh yang memiliki rasa kepedulian yang
tinggi pada sesama, dan tidak segan untuk membantu untuk kemaslahatan umat,
juga menjadi pelopor dalam beberapa bidang. Ada catatan Ratu Khaizuran membangun berbagai fasilitas
yang berkaitan dengan air—seperti air mancur, kolam renang, sumur, kanal dan
saluran air. Di mana perjuangannya tersebut kemudian diteruskan oleh Ratu
Zubaidah. Selamat membaca.
Srobyong, 4 Oktober 2021
Sama-sama
ReplyDelete