Judul :
Mitomania : Sudut Pandang
Penulis :
Ari Keling
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : Pertama, Januari 2021
Tebal :
256 halaman
ISBN : 978-623-253-028-7
Harga :
65.000
Peresensi : Ratnani Latifah
“Kebohongan yang dilakukan itu tidak baik karena bisa
menimbulkan masalah yang lebih besar, menjadi lebih rumit, atau malah membuat
masalah baru.” (hal
145-146).
Pernahkah
kita menyadari bahwa kebiasaan berbohong ternyata bisa menjadi sebuah penyakit
yang mengerikan? Novel yang terpilih sebagai ‘Novel Favorit’ dalam Kompetisi
Menulis Novel Remaja Indiva 2019 ini menyibak tentang fakta menarik kebiasaan
berbohong.
“Saya
menduga kalau Kefi mengidap salah satu penyakit bohong patologis, yaitu
mitomania,dan sepertinya ini yang akut.” (hal 133).
Bisa kita
bayangkan apa itu penyakit bohong patologis mitomania? Dengan menarik penulis
menceritakan masalah ini dengan latar cerita masa remaja, yang lucu, seru dan
tidak terduga. Kita akan diajak menganalisis
kebohongan yang telah dilakukan oleh salah satu murid di SMA Jaya Nusantara.
Kefindra—yang
lebih sering disapa Kefi mengaku bahwa selama bersekolah di SMA Jaya Nusantara,
ia telah mengalami bulliying—ia mendapat kekerasan verbal, non verbal
bahkan secara fisik—oleh Amanda, Lisa dan Morgan. Karena masalah itu, Kefi
melaporkan perundungan itu kepada guru Bimbingan dan Konseling, Pak Joni. Ia menjelaskan secara
singkat bagaimana proses perundungan yang ia alami dan menunjukkan bukti legam
di pipinya.
Untuk menindak
lanjuti pelaporan Kefi, akhirnya Pak Joni memanggil Amanda, Lisa dan Morgan untuk
menyelesaikan masalah. Namun pengakuan yang dipaparkan Kefi, bisa dibantah oleh
Amanda, Lisa dan Morgan.
Inilah
tantangan yang harus dipecahkan oleh Pak Joni, selalu guru Bimbingan dan
Konseling, juga Pak Beni, selaku kepala sekolah. Mereka harus menganalisis
cerita dari empat muridnya untuk menemukan siapa sebenarnya murid mereka yang telah berbohong. Dan kenapa harus
sampai melakukan hal semacam itu? Karena dari cara mereka bercerita Pak Joni
mencurigai bahwa bisa jadi di antara muridnya ada yang mengalami penyakit
kejiwaan akut.
Wow! Menarik dan
seru. Ide penulis sangat keren. Saya sudah cukup sering membaca novel remaja,
tetapi jarang penulis yang mengangkat tema seperti ini. Biasanya kisah novel remaja lebih
pada kisah percintaan—dari kesalahpahaman atau pertengkaran lalu berbuah jatuh
cinta. Ups. Namun tidak dengan novel ini,
meski genre remaja, tetapi ceritanya benar-benar out of the box. Ada
memang selipan kisah cintanya, tapi itu bukanlah point yang diutamakan dalam
kisah ini.
Dipaparkan menggunakan
alur maju mundur, semakin membuat cerita ini menarik dan penasaran. Meski
kebenarannya memang cukup cepat ditemukan, tetapi masalah-masalah lain yang
disiapkan penulis pun tidak kalah memukau. Membaca novel ini kita akan diberi
banyak kejutan yang tidak terduga—siapa pelakunya dan juga latar belakang masalahnya.
Membaca cerita
dan sudut pandang Kefi, Amanda, Lisa dan Morgan secara bergantian, akan membuat
kita ikut menebak. Siapa sebenarnya si biang masalah. Mengingat biasanya
seorang korban bulliying cenderung penakut dan mudah gugup. Akan tetapi
masalahanya selama melihat dan mengamati gerak tubuh keempat murid tersebut,
Pak Joni dan Pak Beni sungguh bingung. Karena keempatnya bercerita dengan
sungguh-sungguh dan penuh kejujuran. Tidak ada tanda-tanda kebohongan.
Secara keseluruhan
novel ini sangat menarik. Hanya saja novel ini lebih terasa tell-nya, karena
memang cukup banyak bagian narasi. Mengingat di sini kita seakan-akan menjadi
pendengar dari cerita dari para tokoh. Namun
begitu hal itu tidak mengurangi keseruan dalam upaya memecahkan masalah yang
ada. Setiap membalik halaman kita akan
bertanya-tanya siapa yang salah dan apa
latar belakang seseorang bisa memiliki penyakit kejiwaan?
“Penyebab seseorang bisa mengidap mitomania akut ini
yang pertama ... kegagalan dalam percintaan, pekerjaan, pertemanan, dan studi
bisa menjadi pemicu seseorang berusaha menghindari dari masalah-masalah itu,
sehingga dia menjadi pembohong patologis untuk
melarikan diri dari semua yang dialaminya itu. Bisa juga karena faktor
kegagalan dalam hidupnya, terkhusus masalah keluarga, di mana semua orang
berharap mempunyai keluarga yang harmonis. Terus ... kurang kasih sayang, rasa
tidak puas, dan rendah diri juga bisa menjadi penyebab seseorang mengidap
mitomania.” (hal
144).
Lepas dari
semuanya, saya hanya merasa kurang sreg dengan masalah panggilan seorang ibu
pada anaknya dengan panggilan “Dik?” bukankah harusnya, “Nak?”
“Dik,
sedang apa?” tanyanya sambil menutup kembali pintu berwarna cokelat itu. (hal 162).
Dari segi
salah tulis novel ini cukup bersih. Kayaknya saya hanya menemukan satu
kesalahan soal penulisan yang harusnya ditulis kataè tapi ditulis kaya.
“Jadi, cerita
fakta itu bercampur dengan khayalanannya,” kaya Pak Joni kembali menganalisis. è Kata (Tapi itu nggak terlalu menganggu dengan
jalannya cerita). (hal 40).
Bagi yang
suka misteri psikologis, saya sarankan untuk membaca novel ini. Apalagi dari novel ini kita akan menemukan
banyak sekali pembalajaran hidup, motivasi dan inspirasi. Di sini kita belajar
bahwa cara mendirik anak dan keluarga yang harmonis itu akan berpengaruh pada
sikap dan kondisi jiwa anak. Lahir dalam keluarga broken home, memiliki
orangtua yang sering melakukan kekerasan itu ternyata bisa memicu kondisi
psikologi yang buruk bagi anak.
Oleh sebab
itu, bagi orangtua sebelum memilih berpisah seyogyanya harus memikirkan bagaimana
dampaknya kepada anak. Kalau pun jalan terbaik memang pisah, sebaiknya anak
tetap diberi kasih sayang sebagaimana mestinya. Karena rasa kurang kasih sayang pun
berpengaruh pada jiwa anak. Sosok ayah dan ibu tetap selalu dibutuhkan anak—di mana
pun dan kapan pun. Novel ini jleb banget soal masalah parenting. Setidaknya
setelah membaca ini kita harus mulai belajar soal parenting juga.
Selain itu,
melalui novel ini kita bisa belajar bahwa kita tidak boleh terlalu memanjakan
anak dan menggunakan kekuasaan untuk menyelesaikan masalah. Di sini penulis
menyindir soal masalah kedudukan orangtua yang sering membuat seseorang merasa
sombong—contohnya dari sikap Amanda.
Kita pun
diingatkan untuk menjadi orangtua yang bijaksana dengan tidak memaksakan
kehendak—sebagaimana sikap Bu Amira, ibunya Kefi. Orangtua harus bijak dan bertanggung jawab. Lalu ada pula sentilan agar kita tJangan menjadi
pembohong, berani mengakui kekalahan, jangan sombong dan banyak lagi.
Lebih dari itu, pengetahuan kita pun semakin bertambah karena kita jadi mengetahui soal mitomania.
“Mitomania akut ini adalah kebohongan patologis paling ekstrem.
Karena penderitanya menganggabungkan fakta dan fantasi. Bisa jadi, dia
menceritakan kebohongan mengenai sesuatu yang dikhayalkan atau diimpikannya.
Dia menganggap kebohongannya itu adalah sebuah fakta, sehingga dia enggak bisa
membedakan mana fiktif dan kenyataan.” (hal 133).
Srobyong, 17
Februari 2021
Wah, menarik betul ini ceritanya.
ReplyDeleteIya Mbak. seru kita diajak penulis untuk ikut menjawab misteri itu sendiri. Menebak siapa yang berbohong dan apa alasannya.
Deleteide novel ini yang menarik dan berbeda dengan novel remaja umumnya.
ReplyDeletebtw, salam kenal. senang bisa berkunjung kesini
Betul sekali Mbak. Idenya unik.
DeleteSalam kenal kembali Mbak. Selamat datang di rumah sederhanya saya. ^_^