Judul : Mencari Jejak Caraka
Penulis :
I’ir Hikma
Penerbit :
Indiva Media Kreasi
Cetakan :
Pertama, November 2020
Tebal :
216 halaman
Harga :
60.000
ISBN :
978-623-253-015-7
Peresensi :
Ratnani Latifah
“Ketika kamu sakit, ingatlah satu hal. Kamu hanya
sedang diberi kekuatan untuk bertahan. Kamu senang diberi keistimewaan untuk
mendapatkan hikmah. Kamu hanya sedang sangat disayang oleh sang Pencipta.” (hak 7).
Meski tidak
terpilih sebagai pemenang utama, novel “Mencari
Jejak Caraka” ini tidak kalah seru daripada ketiga novel lainnya. Karena itulah
novel ini menjadi salah satu novel favorit dalam Kompetisi Menulis Novel Remaja Indiva 2019. Kisah yang disampaikan memang menarik, Sejak
awal membaca, pembaca akan digiring untuk menemukan jejak Caraka—lebih sering dipanggil
Raka, yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak, juga mengungkap alasan atau
misteri alasan Raka menghilang.
Memadukan tema
anak broken home, misteri, persahabatan dan traveling, novel ini sangat menarik untuk
dibaca. Apalagi kisah ini dipaparkan dengan alur campuran maju mundur, yang
akan membuat kita gregetan.
Di sekolah
Raka terkenal sebagai anak yang antisosial. Ia tidak pernah mau bergaul dengan
teman-temannya. Karena itu pula teman-teman sekelas—kelas Bahasa—pun tidak
terlalu peduli dengan Raka. Bagaimana mau peduli, ketika setiap kali didekati
Raka selalu menjaga jarak? Hingga suatu hari Raka tiba-tiba menghilang tanpa
jejak.
Awalnya tentu
saja teman-temannya tidak terlalu ambil pusing. Mereka pikir Raka hanya
membolos sebagaimana kebiasaannya sejak dulu. Sampai kemudian, Hana, sang ketua
kelas dipanggil wali kelas Bahasa—yang lebih sering disebut Sensei—untuk
membuat tim untuk mencari jejak Raka—Tim Peka (Pencari Raka). Di
mana salah satu alasannya karena masalah ujian yang semakin dekat.
“Satu
minggu lagi stimulasi ujian akan dilaksanakan. Jadwal kalian mulai nanti akan terus padat. Belum bimbingan
belajar tiap Senin dan Jumat. Saya tidak ingin mendengar ada yang tidak ikut
ujian nanti.” (hal
58).
Pada awalnya
Hana merasa bingung. Kenapa ia dan kawan-kawannya yang harus mencari Raka?
Bukankah mudah bagi gurunya itu untuk menghubungi orang tua Raka? Namun Hana
akhirnya mengikuti perintah gurunya, meski dengan berbagai pertanyaan yang
menggumpal di kepalanya. Namun dari pencarian itulah, pada akhirnya Hana dan
teman-temannya semakin mengenal Raka dari cara yang tidak biasa.
Dari jurnal
yang tidak sengaja Hana temukan di rumah Raka, ia dan teman-temannya—Farel, Alden, Hasna, Indira, Nata dan Sia—berusaha menelusuri
jejak Raka yang tidak mudah. Karena teman yang dianggap sebagai arca itu cepat
sekali pergi dari satu tempat ke tempat lain. Raka ternyata melakukan pendakian
dari satu gunung ke gunung lain, menjejak ke pantai, juga mengunjungi
tempat-tempat tidak terduga, seolah ia ingin menjelajahi Indonesia.
Pertanyaannya kenapa Raka melakukan hal itu?
Jika dilihat
dari temanya, sebenanya tema utamanya cukup umum—anak broken home yang
berusaha mencari pelarian dari masalahnya. Namun dipadukan dengan traveling,
misteri pencarian jejak juga masalah lainnya, kisah ini menjadi lebih menarik
dan hidup. Apalagi cerita ini dipaparkan
dengan cukup apik dan lugas. Melihat bagaimana penulis menceritakan kisahnya, saya jadi teringat dengan kebiasaan S Gegge Mappangewa, yang selalu memberikan quote
di setiap awal bab, dan gaya Azzura
Dayana dalam novel traveling-nya.
![]() |
(Ranu Kumbolo, Gunung Semeru. Unplash/Fajruddin Mudzakkir) |
Meski
perjalanan yang diceritakan memang sepotong-potong, hal itu tidak mengurangi
rasa penasaran pembaca untuk ikut menikmati petualangan yang dilakukan Raka. Karena tempat-tempat yang dikunjungi Raka
dipaparkan dengan cukup detail dan menarik. salut dengan riset yang telah
dilakukan penulis. Rasanya seru sekali menjadi Raka yang bisa bebas bepergian ke
tempat-tempat yang ia suka. Ups.🤭 (Jujur baca novel ini membuat saya langsung googling untuk survei lokasi. Berikut saya bagikan beberapa hasil pencarian tempat yang dikunjungi Raka 😁)
![]() |
(Gunung Rinjani. Pixabay/arhnue) |
Keunggulan
lain dari novel ini adalah alur cerita yang tidak terduga. Penulis pandai
menyembunyikan klue-klue sehingga pembaca akan terus menebak-nebak tentang apa
sih sebenarnya masalah Raka? Kenapa ia jadi seperti itu? Kenapa Raka nampak
menjaga jarak dan permasalahan lainnya. Salut buat penulisnya. Gaya bahasa penyajian pun sangat mudah
dipahami. Kisahnya nampak hidup—apalagi dengan diselingi kata-kata daerah, yang
menunjukkan lokalitas daerah Jawa.
![]() |
(Air Terjun Binangalom.Tripadvisor.com) |
Hanya saja
untuk bagian cerita di jurnal dan kisah Hana dan kawan-kawan dalam pencarian
Raka, agak tumpang tindih, karena bagian jurnal ditulis dengan huruf yang sama.
Andaikan jurnal dituliskan dalam huruf yang berbeda, mungkin akan lebih
memudahkan untuk memisahkan masa kisah yang berasal dari Jurnal Raka, juga dan
keseharian Hana dalam upaya pencarian.
![]() |
(Danau Toba. Pixabay/Zx4354453) |
Begitupula
dengan masalah penanggalan, ada beberapa bagian yang tidak konsisten dalam
memberikan tanggal, bulan dan tahun. Kadang hanya ada info tempat kejadian,
tanpa tanggal atau tahun. Atau kadang
hanya info lokasi dan jam kejadian. Padahal jika ada keterangan waktu—baik dari tanggal, bulan, tahun, lokasi
dan jam, pasti lebih rapi. Kalau tidak diulang atau diperjelas, kadang suka
bingung. (Hehheh). Mungkin saya saja sih yang merasakan ini. Karena nulis novel
semacam ini tentu sulit. Kemudian saya juga agak kurang sreg dengan
terlalu banyaknya tokoh, yang membuat cerita kadang tidak fokus.
![]() |
(Danau Kelimutu. Liputan6.com/ Ola Keda) |
Satu lagi
ketika membaca novel ini saya menemukan berapa kesalahan tulisan.
Hana
menggeleng. “Biasanya Raka selalu seperti ini. Kalau sudah begini, artinya dia
bolos sekolah.” Raka menjelaskan kebiasaan teman sekelasnya. è Bukankah seharunya Hana? Saat
itu Sensei berbicara dengan Hana. (hal 56).
“Kamu sekamar
sama kamu bertiga.” è Mungkin maksudnya kami. (hal
80).
15 Januari
2018, Tebing Breksi, Jogjakarta
14.23. è
Bukankah perjalanan study campus harusnya 2019? (hal 99).
Namun lepas
dari kekurangan yang ada, saya suka dengan banyak selipan-selipan membangun,
memotivasi dan menginspirasi. Yah, banyak pelajaran yang bisa kita petik dari
kisah ini.
Misalnya
tentang arti penting keluarga, seperti figur orang tua dalam merawat dan
mendidik anak. Sebagaimana kisah Raka sendiri. Meski terlahir dari keluarga
terpandang, namun ia tidak bahagia karena kesepian dan juga menjadi korban
perceraian orang tuanya. Padahal seorang anak membutuhkan dekapan kasih sayang
dan bimbingan selalu.
Karena
masalah itulah Raka terluka. Apalagi sosok yang selama ini paling dekat dengan
dirinya tiba-tiba menghilang. Raka memilih bertualang untuk menyembuhkan
lukanya. Melalui kisah ini kita seolah diingatkan bahwa, cara menyembuhkan luka
bukanlah dengan perjalanan saja, tetapi membiarkan diri rela—menerima dan
berdamai dengan diri sendiri.
“Penyembuhan
itu bukan perjalanan. Tapi pendewasaan berpikir. Lakukan petualangan untuk
mendewasakan cara berpikir. Aku jamin kamu akan lebih bisa berdamai dengan
masalah.” (hal 149).
Ada pula
selipan religi yang mengingatkan kita bahwa selalu ada Allah di dekat kita,
jika kita mau mendekat dan berserah.
“Jangan
khawatir. Hidup tidak seberat yang kau lihat. Kau masih punya Allah dan aku.
Ketika kamu sakit ada aku yang siap merawatmu untuk kembali sembuh. Tapi, Allah
akan lebih menyabarkan hatimu.” (hal 154).
Ada pula
sindiran halus agar kita selalu menjaga kebersihan di mana pun berada, termasuk
di tempat-tempat wisata. Mencinta alam dan tidak merusaknya.
“Patai
yang seindah ini, sayang sekali jika
harus dirusak dengan sampah. Miris tempat-tempat wisata yang indah harus rusak dengan
kehadiran sampah-sampah. Mungkin faktor
banyaknya pengunjung yang datang dan tidak adanya rasa tanggung jawab terhadap
alam, sehingga siapa pun dengan seenaknya membuang sampah sembarangan.” (hal 23).
Ada pula
tentang persahabatan. Ini terlihat bagaimana cara gurunya mengarahkan anak didiknya untuk saling
peduli kepada teman sekelas. Dan memang dari pencarian Raka ini, teman-temannya
kemudian menyadari tentang pentingnya saling mengenal dan memahami.
Selain itu,
dari novel ini kita diingatkan untuk memiliki sikap kompak, dan saling
bekerjasama dalam kebaikan. Juga tentang
perlunya memiliki sikap peduli pada sesama, peduli pada kesulitan teman dan
tidak segan untuk membantu. Ada pula ajakan untuk menjadi pribadi yang lebih
terbuka. Jangan memendam kesedihan sendiri, karena bersama itu lebih baik dari
pada sendiri. Kita tidak harus lari dari masalah, tetapi menghadapi dengan
lebih lapang. Dan ujian itu tanda bahwa Allah masih sayang kepada kita.
“Katakan,
jangan hanya kau pendam sendirian. Kau hanya manusia biasa. Kau tidak akan
kuat. Ada bahu-bahu kami yang siap berbagi beban. Ada telinga-telingan kami
yang akan selalu mendengarkan kesah. Kau tidak pernah sendirian, kawan.” (hal 25).
Srobyong, 16 Februari 21
kalau baca novel tentang petualangan gini, selalu tergoda untuk jalan-jalan deh
ReplyDeletejadi ingat novel-novelnya mbak azura dayana deh, yang idenya tentang gunung semua.
Betul sekali Mbak. Hawanya ingin mengunjungi semia destinasi yang ada di novel. Hehhehe.
DeleteNah kalau baca novel Mbak Azura, isinya pengen mendaki. Hehhe