Judul : Petualangan Tiga Hari
Penulis : Dian Dahlia
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : Pertama, September 2020
Tebal : 256 halaman
Harga Buku :Rp60.000
ISBN : 978-623-253-003-4
Peresensi : Ratnani Latifah
Sebagai Novel Pemenang Ketiga dari Kompetisi Menulis Novel Remaja yang
diadakan Penerbit Indiva pada 2019, novel ini memang sangat menarik. Kisahnya
seru dan mendebarkan, tidak hanya itu membaca novel ini kita seakan-akan kita
benar-benar ikut melakukan petualangan seru bersama sang tokoh. Yang paling saya suka dari novel ini adalah
ritme cerita yang cepat sehingga tidak terkesan bertele-tele.
Novel ini sendiri menceritakan tentang Mukhlis, remaja yang semula tinggal di Pallawa Lipu—di mana letaknya
berada di salah satu sisi Selat Makasar wilayah perairan Kota Bontang (hal 6). Sehari-hari ia harus berjibaku dengan laut—dari
bermain dengan kawan-kawan, hingga melakukan tugas membantu orangtuanya. Karena memang dari sanalah ia dan keluarganya
bisa menjalani hidup.
Namun diam-diam Mukhlis ini memiliki sebuah impian besar untuk
mengunjungi kota Bontang. Ia memiliki rasa
penasaran yang tinggi terhadap hal-hal yang belum pernah ia lihat atau datangi.
Bagaimana bentuk Kota Bontang? Apa saja
yang ada di sana? Bagimana suasananya dan banyak lagi. Apalagi kakaknya, Sanusi
yang sudah sering ke sana selalu menceritakan hal-hal yang nampak seru dan
menarik. Belum lagi, hampir semua
temannya di kelas pun sudah pernah ke Kota Bontang. Hanya ia yang belum pernah.
Keinginan Mukhlis, sebenarnya sejengkal lagi akan tercapai. Akan
tetapi karena suatu hal, mimpinya itu kembali pupus. Mukhlis benar-benar
kecewa. Hingga suatu hari sebuah kesempatan tidak terduga, datang
menghampirinya. Tanpa berpikir panjang ia pun langsung memanfaatkan momen itu.
“Hei! Jangan disitu! Masuk ke perahu segera kalau memang mau
menumpang.” (hal 28).
Akan tetapi keberuntungan dan kenekatan yang dilakukan Mukhlis,
menjadi pembuka jalan hidupnya yang penuh kejutan dan tidak terduga. Dari terpisah dengan rombongan kapal,
kelaparan hingga terlunta-lunta di kota tanpa mengenal siapa pun. Beruntung
pada beberapa kesempatan ia bertemu dengan orang-orang baik yang mau membantu. Namun
di lain kesempatan, Mukhlis juga dipertemukan dengan orang jahat yang berusaha
memanfaatkan dirinya.
Membaca novel ini kita akan menyaksikan bagaimana petualangan Mukhlis yang benar-benar tidak terduga dan
penuh lika-liku. Mukhlis anak dari pulau
terpencil yang kurang pengalaman, bertemu dengan hal-hal baru yang membuat ia
memiliki cita-cita yang mulia. Konsep ceritanya sederhana tapi sangat mengena
sekali kisahnya. Yang paling menegangkan tentu saja ketika ia harus berhadapan
dengan seseorang yang bernama Pak Jo.
Seru, mendebarkan juga membuat penasaran. Penulis dengan apik menyiapkan
kejutan-kejutan pada setiap babnya.
Jujur saja dibandingkan novel juara pertama dan kedua, saya lebih
menikmati kisah ini. Ada beberapa bagian
pada novel kedua yang menurut saya agak kurang logis (nanti dibahas di
resensinya sendiri).
Dari segi tema, novel ini sudah menunjukkan keunggulannya. Karena tema
yang diangkat memang cukup unik dan jarang ditulis oleh penulis lainnya. Temanya
lebih kepada petualangan anak dari pulau terpencil dan trafficking. Jika kebanyakan kisah
remaja lebih berbau aroma merah jambu, maka di sini penulis mengajak pembaca
untuk menjadi petualangan dan belajar
menjadi remaja yang berani, bertanggung
jawab, cerdas dan mandiri.
Perihal latar cerita, sedikit banyak penulis mengingatkan saya dengan
kebiasaan Tere Liye yang suka mengambil setting di tempat-tempat
pedalaman. Dan saya merasa penggambaran latar pun di paparkan dengan apik dan
tidak terkesan tempelan. Narasi yang digunakan penulis seolah-olah bisa
menyihir pembaca, sehingga bisa ikut merasakan bagaimana tata letak atau
suasana yang ada di Pallawa Lipu. Salut buat penulis.
![]() |
(Pallawa Lipu dalam bayangan saya-sumber gambar : Jessica Helena Wuysang, antara foto) |
Dan untuk gaya bercerita pun dipaparkan dengan lugas dan simpel.
Bahasanya tidak jlimet, sehingga membuat kita mengernyitkan kening ketika
membaca. Dipadukan dengan alur dan plot yang menarik, penuh kejutan, semakin
membuat kisah ini tidak membosankan. Kita akan diajak membaca terus dan tidak
berhenti sebelum sampai kata finish.
Sedikit kekurangan dari novel ini adalah, di mana saya masih menemukan
beberapa kesalahan ketik, yang sebenarnya tidak cukup mengganggu. Namun jika
penulisan nama terus salah, tentu saja bisa menjadikan cerita runyam.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Bu Ina mengetuk pintu kamar
Muskhlis dan Rifki è Padahal
saat itu Muskhlis sekamar dengan Alif. (hal 211).
Dan jika saja novel ini
diselipi semacam quote-quote yang
membangun, tentu kisahnya akan semakin seru dan mantap.
Namun terlepas dari kekurangannya, novel ini sarat pendidikan dan
hikmah. Memuat banyak motivasi dan sangat menginspirasi. Di antaranya novel ini mengajarkan kepada pembaca tentang keberanian. Bahwa kita harus
berani melawan orang-orang yang berbuat jahat atau melawan orang-orang licik.
Kita tidak boleh takut dan merasa kalah sebelum berusaha untuk mengingatkan
orang tersebut, bahwa perbuatannya itu salah. Kita bisa melihat bagaimana Mukhlis yang begitu berani melawan Pak Jo.
Padahal ia tahu orang itu sangat berbahaya. Ia nekat melawan Pak Jo yang ingin
menjualnya.
Selain petualangan, novel ini memang sedikit menyoroti tentang trafficking
atau pedagangan manusia. Miris memang, tetapi kejadian seperti yang
dialami si tokoh utama memang sering
terjadi. Salah satunya di India. Anak-anak yang hilang banyak dimanfaatkan untuk dijual-belikan. Jadi
melalui novel ini setidaknya penulis menghimbau agar kita selalu berhati-hati di mana pun berada.
Kemudian, tentang kejujuran. Kita
diingatkan dan dimotivasi untuk selalu jujur di mana pun dan kapanpun.
Sebagaimana Mukhlis, meski tersesat ia jujur tidak mengambil uang dari dompet
yang ia temukan dan berusaha mengembalikan dompet itu pada pemiliknya. Tokoh cerita juga berlaku jujur ketika
menceritakan sebab musabab kenapa ia tersesat dan alasan kenapa ia nekat ikut
kapal.
Ada pula motivasi tentang betapa pentingnya menuntut ilmu. Sebagai
anak yang tinggal di pulau terpencil, Mukhlis belum mengetahui banyak hal.
Namun ketika ia keluar dan menapaki dunia luar, ia kemudian mengenal banyak
hal. Termasuk tentang cita-cita dan pentingnya belajar. Maka bagi siapa saja,
kita harus bersyukur karena bisa belajar dengan mudah dan fasilitas yang
lengkap. Oleh sebab itu kita harus rajin dan bersungguh-sungguh ketika belajar
dan menuntut ilmu.
Menyayangi keluarga. Keluarga adalah rumah bagi kita. Itulah sedikit
gambaran yang mungkin bisa kita lihat dari kisah ini. Di mana pun berada, Mukhlis selalu teringat dengan keluarganya.
Sebagian cita-citanya pun berhubungan untuk membahagiaan keluarganya. Bahkan
Mukhlis tetap menyimpan permen dari temannya, sejak sebelum ia bertualang
sampai kembali. Dan itu semua demi sang adik.
Berani mengakui kesalahan. Setiap orang pernah melakukan kesalahan,
maka sudah semestinya kita harus berani mengakui kesalahan tersebut. Salah
satunya dengan meminta maaf. Sebagaimana Mukhlis yang mengaku salah karena
telah berbuat nekat dan tidak berpikir panjang. Karena marah dan kecewa ia
telah melakukan sesuatu yang menyusahkan orangtua juga banyak pihak.
Selalu berbuat baik. Kepada siapa saja seyogyanya kita memang harus
bersikap baik. Kita tidak boleh bersikap kasar apalagi jahat. Sebagaimana Rifki,
meski baru mengenal Mukhlis, ia selalu berbuat baik dan tidak segan menolong. Begitu juga Mukhlis, meski sudah diperlakukan
jahat, ia tetap menolong Pak Jok ketika dalam keadaan terdesak, termasuk ketika disengat ikan pari.
![]() |
(Ikan pari yang banyak ditakuti, karena sengatannya mengandung |
Tidak mudah menyerah. Dalam
menghadapi sesuatu kita diharapkan memang tidak mudah menyerah. Kita harus
melakukan segala upaya untuk menaklukkan tantangan yang ada di depan kita. Sebagaimana
Mukhlis dan Rifki, juga Alif yang berusaha menggalkan upaya Pak Jo yang akan
berbuat jahat kepada mereka.
Tentu saja masih banyak pembelajaran, inspirasi dan motivasi yang ada
di dalam buku ini. Penulis juga
menyinggung tentang bagaimana mengatasi masalah anak jalanan. Ada pula sedikit
sindiran yang dipaparkan penulis adalah bagaimana kebiasaan orang dewasa yang
kurang mau mendengarkan pendapat remaja. Karena biasanya seorang remaja itu
senang dihargai dan diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya.
“Orang dewasa biasanya bertindak seenaknya kepada anak-anak seperti kita tanpa bertanya.” (hal 153).
Srobyong, 21 Januari 2021
No comments:
Post a Comment