Doc. pribadi
Judul : Si Anak Badai
Penulis : Tere Liye
Co-author : Sarippudin
Penerbit : Republika
Cetakan : Pertama, Agustus 2019
Tebal :
322 halaman
ISBN : 978-602-5734-93-9
Sumber : Republika |
Si Anak Badai merupakan seri terbaru dari “Serial
Anak Nusantara”. Di mana sebelumnya penulis kawakan asal Sumatra Selatan ini,
telah lebih dulu menerbitkan Si Anak Cahaya—yang mengisahkan tentang
Petualangan Nurmas—ibu dari Amelia, Pukat, Eliana dan Burlian. Kemudian ada
pula Si Anak Spesial (Republish dari Burlian), Si Anak Kuat (Republish dari
Amelia), Si Anak Pintar (Republish Pukat) dan Si Anak Pemberani (Republish dari
Eliana).
Akan tetapi, meskipun kita belum membaca seri
sebelumnya, kita tetap bisa menikmati
novel “Si Anak Badai” secara mandiri. Karena pada seri terbaru ini, Tere Liye
menghadirkan kisah dengan tokoh baru yang tidak memiliki benang merah
sebagaimana kisah sebelumnya. Namun jangan khawatir meskipun berbeda, kisah Si
Anak Badai ini, tidak kalah menarik dari kisah-kisah sebelumnya. Bahkan bisa
jadi, setelah membaca novel ini kita malah akan ketagihan dan penasaran dengan
seri-seri yang sudah lebih dahulu terbit. Sebagaimana saya sendiri, setelah khatam novel ini, saya langsung mengkhatamkan Si Anak Cahaya dan
bersiap untuk membaca dua seri lainnya.
Kali ini Tere Liye, mengajak pembaca bertualang
bersama empat sahabat; Zaenal—atau kerap dipanggil Za, Ode, Malim dan Awang dalam suasana kehidupan di
Kampung Muara Manowa. Sebuah daerah yang berada di muara sungai yang menjadi
perlintasan kapal-kapal berhaluan menuju desa atau kota-kota berikutnya. Dengan
berbagai problematika khas anak-anak yang juga diselingi masalah keluarga,
politik dan sosial budaya yang ada, kisah menjadi sangat seru dan menarik.
Kehidupan empat sekawan ini tentu saja awalnya
sangat menyenangkan. Setiap hari Minggu sore atau ketika setiap tanggal merah
tiba, sambil bermain-main mereka akan menunggu kapal-kapal—baik dari laut ke
hulu atau dari hulu yang berlayar menuju lautan. Di sana mereka memiliki kebiasaan unik—ketika
kapal tiba, mereka akan berlomba-lomba menyelam untuk memperebutkan uang logam
yang dilempar oleh para penumpang. Siapa cepat dia dapat. Kebiasaan unik
lainnya adalah kebiasaan anak-anak yang selalu mengiringi kedatangan para tamu
ke Muara Manowa, serta kebiasaan warga yang suka saling membalas pantun. Pagi
hari mereka bersekolah meski dengan segala keterbatasan yang ada dan malam
harinya, selepas salat Magrib mereka akan akan mengaji di rumah Guru Rudi, yang
rumahnya tidak jauh dari jembatan menuju
masjid.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi mimpi buruk,
ketika tiba-tiba Pak Alex datang mengunjungi Muara Manowa. Pria yang menurut Za
mirip bajak laut itu dengan dalih menawarkan kemajuan di tempat tinggal mereka,
tetapi pada kenyatannya Pak Alex datang untuk mengancurkan tanah kelahiran
mereka—kampung Muara Manowa.
“Sudah saatnya tempat ini dibuat maju, mengejar
ketertinggalan dari daerah lain. Sudah saatnya
bapak-bapak menjadi lebih kaya, lebih sejahtera. Karena itu kami ingin
membangun pelabuhan di Kampung Manowa.” (hal 84-85).
Visi dan misi yang ia lontarkan hanyalah basa-basi.
Karena ketika pelabuhan dibangun, maka sudah pasti warga akan kehilangan tempat
tinggal juga kehilangan mata pencaharian. Karena itulah Sakai bin Manaf atau yang dikenal
dengan sebutan Pak Kapten, langsung menolak rencana yang dipaparkan Pak Alex.
“Kami tidak mau dipindah-pindah. Lebih bagus kalau
pelabuhan yang dipindah. Terserah di mana asal tidak di tempat kami.”
(hal 86).
Akan tetapi siapa yang bisa mengalahkan uang dan
kekuasaan? Pak Alex dengan kekuasaannya, dengan keji memfitnah Pak Kapten
terlibat dalam meledaknya kapal Maju Sejatera. Selain itu, Pak Kapten juga
dianggap sebagai penghasut warga—karena Pak Kapten-lah orang pertama yang
menolak rencana itu dan kemudian memengaruhi pikiran warga dengan memutar film
di layar tancap. Karena alasan itulah akhirnya Pak Kapten ditangkap.
Kejadian itu tentu saja membuat semua warga sangat
sedih, termasuk Za, Ode, Manaf dan Awang. Mereka sangat mengkhawatirkan keadaan
Pak Kapten. Satu-satunya harapan mereka adalah
bantuan dari Adnan Buyung, seorang pengacara di ibu kota, yang kebetulan merupakan Kakak Wak
Sidik—salah satu warga. Dan kesedihan
itu semakin menumpuk ketika Pak Alex dan orang-orang dari ibu kota itu benar-benar
datang membawa berbagai alat berat untuk mulai pembuatan pelabuhan.
Diceritakan dengan gaya bahasa yang lugas, renyah
dan tidak bertele-tele, novel ini sangat menarik untuk dibaca. Kita akan
dihibur melihat keseharian Za, Ode, Malim dan Awang, yang lugu, pemberani,
setia kawan dan memiliki tekad kuat. Banyak kejadian seru yang menghibur,
membangun dan bahkan memotivasi dari berbagai petualangan yang dialami empat
sekawan tersebut.
Misalnya ketika Za dan dua adiknya, Fatah dan Thiyah
mendapat tugas dari ibunya untuk mengukur beberapa warga Muara Manowa yang
ingin dijahitkan baju. Atau ketika Malim
merasa tidak lagi memiliki motivasi untuk melanjutkan sekolah. Za dengan sikap
teguh, berusaha semaksimal mungkin untuk membujuk sahabatnya agar tidak putus
sekolah. Padahal berkali-kali Malim menolak dan bahkan bersikap kasar, tetapi
Za tetap seteguh karang. “Mau jadi apa pun, sekolah tetap penting. Jadi
pedagang juga butuh sekolah.” (hal 189).
Ada pula kejadian mendebarkan, ketika mereka harus
menghadapi badai besar, saat empat sekawan itu ikut memancing cangkalan bersama
Paman Deham. Di mana kejadian itu merupakan cikal bakal lahirnya nama “Si Anak
Badai”. Tidak hanya itu, ada pula kejadian mendebarkan yang berhubungan tentang
bagaimana usaha keras empat sekawan dalam upaya menggagalkan pembangunan
pelabuhan. Berbagai kejadian dan petualangan yang dialami Za, Ode, Malim dan
Awang sedikit banyak selalu memberi pencerahan dan akan menggugah pembaca.
Mereka adalah anak-anak pemberani yang siap berjuang demi mempertahankan hak
yang mereka miliki.
Dari segi tema, Tere Liye sudah sudah menunjukkan
keunikan cerita, yang memang jarang dieksekusi oleh penulis Indonesia lainnya.
Di sini ia kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam memunculkan ide-ide segar
yang tidak pasaran. Sebagaimana novel “Pulang” dan “Pergi” yang mengangkat tema
shadow Economy, atau seri “Serial
Bumi” yang mengangkat tema fantasi yang
dipadukan dengan science fiction—di mana kita sadari tema semacam itu
cukup jarang dieksekusi. Inilah daya
tarik tersendiri yang membuat buku-buku Tere Liye selalu digemari dari semua
kalangan usia. Karena dia selalu menyajikan kisah-kisah yang segar dan memikat.
Begitu pula dengan setting lokasi cerita yang
ia pilih. Ketika banyak penulis mengambil kota besar sebagai setting
cerita, maka tidak dengan Tere Liye. Di
sini ia berani mengambil langkah maju dengan mengambil setting di daerah
terpencil, yang jarang diangkat oleh
penulis lain—ia memilih Kampung Muara Manowa, sebuah desa yang terletak di
sekitar muara sungai yang kemudian
dipadukan dengan kisah petualangan yang mendebarkan. Dan yang menarik kualitas bagaimana
mengambarkan setting lokasi benar-benar hidup dan tidak terasa tempelen. Karena
ketika membaca novel ini saya langsung membayangkan bagaimana tata letak rumah
warga juga bagaimana kegiatan pasar apung atau kegiatan sehari-hari yang
membuat anak-anak terbiasana menggunakan perahu untuk melakukan aktivitasnya.
Bayangan saya soal setting lokasi cerita. Sumber: google |
Pasar apung. Sumber : google |
Tidak kalah menarik adalah bagaimana penulis
menyisipkan kritik politik dan atau
sosial budaya dalam kisah ini. Baik secara tersirat atau tersurat, Tere
Liye mencoba menyuarakan bagaimana kegelisahan orang-orang yang tinggal di
daerah pedalaman, yang harus rela meninggalkan tanah kelahiran demi proyek pembangunan
pelabuhan—yang sebenarnya sangat merugikan warga. Bagaimana tidak, karena adanya proyek tersebut, mereka harus rela
meninggalkan kampung halaman, kehilangan pekerjaan, kehilangan tempat menuntut
ilmu dan banyak lagi.
“Sekarang orang-orang pintar itu akan membuat
pelabuhan di sini. Mereka tidak tahu apa dampaknya bagi kita. Lebih celakanya
lagi, mereka tidak peduli apa akibatnya bagi kita. Yang penting pelabuhan itu
jadi, yang penting mereka mendapat uang banyak dari pembangunan pelabuhan.” (hal
98).
Dan yang lebih miris, pembangunan pelabuhan itu
hanya sebuah akal-akalan para pembesar untuk merengkuh keuntungan lebih
besar dengan praktik korupsi.
“Sepanjang kau bisa diandalkan, proyek pelabuhan
selesai, dana cair, kau akan liburan ke luar negeri. Kariermu juga akan menanjak
cepat.” (hal 308).
Sedangkan untuk penokohan cerita, satu kata untuk
penulis buku ini “keren” tokoh-tokoh dalam novel ini, benar-benar hidup—baik melaui
gambaran fisik, sikap juga
percakapan-percakapan dalam cerita. Kemudian
soal alur dan plot cerita secara keseluruhan sudah sangat rapi dan menarik. Sejak awal penulis berhasil menyihir pembaca untuk menyelesaikan kisah ini hingga
akhir. Hanya saja ada beberapa konflik
cerita dalam novel ini, yang jujur ada
beberapa bagian yang terasa datar dan kurang menegangkan. Hal ini sangat berbalik
dari novel Si Anak Cahaya, yang sejak awal kisah sudah menunjukkan
berlapis-lapis masalah yang membuat saya penasaran.
Kemudian soal porsi Pak Kapten dalam novel ini.
Sebagai salah satu tokoh yang memiliki peran cukup penting, porsi kisah hidup Pak Kapten kurang
dijelaskan lebih detail dan gamblang.
Padahal jika ada penelusuran lebih lanjut sudah pasti kisah ini akan
terasa lebih seru dan semakin menarik. Saya penasaran kenapa nama asli Pak
Kapten baru diketahui di bagian-bagian akhir. Kemudian tidak ada penjelasan
kenapa hampir semua warga segan dan anak-anak selalu takut pada sosok tersebut,
serta kenapa ia dipanggil Pak Kapten. Sebenarnya apa kedudukun Pak Kapten ini di
Kampung Muara Manowa?
Namun secara keseluruhan, saya benar-benar kagum dengan bank ide Tere
Liye, yang bisa menghadirkan kisah-kisah menarik dan selalu memberi inspirasi dan renungan. Dan untuk masalah kesalahan menulis, novel
ini cukup bersih, saya hanya menemukan
satu kata, yang sebenarnya itu sama sekali tidak mengganggu.
Kali ini
mereka tidak sibuk mengolokku, melalinkan ikut ...,” == Kali ini
mereka tidak sibuk mengolokki, melainkan ikut ...,”
(hal 229).
Lepas dari kekurangannya, novel
ini tetap menarik untuk dibaca. Banyak nilai-nilai pembelajaran yang diikutsertakan
penulis dalam kisahnya. Dan seperti biasanya Tere Liye hadir dengan ilmu-ilmu
baru yang akan menambah wawasan kita. Di
sini penulis menunjukkan tentang manfaat kayu ulin yang kokoh dan awet. Karena
itu dermaga di sana juga jembatan masjid, dibangun dengan memanfaatkan kayu
ulin.
Gambar 1 Pohon Ulin || Gambar 2 : Kayu Ulin || Gambar 3 : Dermaga yang dibuat dari kayu ulin. || Sumber : Google |
“Tidak usah khawatir. Dermaga ini terbuat dari kayu ulin yang kokoh. Jangankan ambruk,
bergeser sedikit pun tidak.” (hal 259).
Kemudian ada disinggung sedikit perilah masalah
struktur tanah di Kampung Muara Manowa—yang berhubungan dengan cocok tidaknya
struktur tanah itu digunakan untuk membangun proyek pelabuhan.
Sumber : Frisco |
Dan meskipun kali ini tere liye kembali mengagandeng co-author, sebagaimana dalam novel “Pergi” hal itu tidak mengurangi rasa khas tulisan Tere Liye dan keseruan cerita yang ada. Membaca novel ini kita akan menemukan banyak sekali pembelajaran-pembejalaran positif. Ada pelajaran agar kita belajar dari kesalahan yang pernah lalu. “Setiap orang melakukan kesalahan. Yang membedakan antara orang yang melakukan kesalahan itu adalah ada yang belajar dari kesalahannya, ada yang juga tidak mengambil pelajaran apa-apa.” (hal 72).
Di sini kita juga bisa melihat sikap setia kawan
yang ditunjukkan oleh Za, Ode, Awang dan Malim.
“Seorang teman tidak akan
meninggalkan temannya sendiri.” (hal 191).
Kemudian kita pun diajarkan untuk menjadi pribadi
yang sabar ketika ada masalah atau ujian.
“Manusia mendapat ujian bukan
karena dia telah berbuat kesalahan,
Rahma. Ujian itu kadang untuk lebih menguatkan.” (hal 221).
Dan tidak kalah menarik saya juga suka
selipan-selipan nilai-nilai religi yang kerap dilakukan penulis kondang ini.
“Ilmu milik Allah itu sangat luas. Bayangkan kalian mencelupkan telunjuk di laut, kalian angkat telunjuk itu, maka air yang menempel di telunjuk kalian itulah ilmu lautan yang tak terhingga banyaknya, itulah ilmu Allah. Ada yang kita tahu, ada juga yang tidak tahu.” (hal 58).
Selain itu masih banyak nilai-nilai pembelajaran
yang bisa kita petik. Misalnya tentang
kebiasaan gotong royong, pentingnya bersikap hormat serta berbakti kepada
orangtua, pentingnya belajar tanggung jawab,
pentingnya bersekolah, taat dan rajin beribadah kepada Allah, bersikap
jujur, sabar dan tidak melakukan tindak korupsi.
Srobyong, 2 Oktober 2019
Alhamdulilallah resensi ini menjadi salah satu dari 10 resensi pilihan Republika
|
Helo, mbak. Sesuai janjiku padamu. Setelah kelar baca bukunya, saya balik lagi di mari buat baca ulang resensi mbak.
ReplyDeleteSeperti biasa, mbak ratna selalu ciamik kalo perkara meresensi buku. Hihi. Komplit dan detail, pokonya mah. Sukses mbak. Semoga menang (lagi) seperti event sebelumnya. :)
AAamiin.Terima kasih Mbak. Doa yang sama buat Mbak Leli 😊🙏
DeleteSaya selalu suka novel Tere Liye, hehehe
ReplyDeleteWah mantap Mbak, buku-buku Tere Liye memang selalu menarik Mbak.
Delete