Wednesday, 2 October 2019

[Resensi] Keberanian dan Kegigihan Anak Kampung Melindungi Tanah Kelahiran


Doc. pribadi 

Judul               : Si Anak Badai
Penulis             : Tere Liye
Co-author        : Sarippudin
Penerbit           : Republika
Cetakan           : Pertama, Agustus 2019
Tebal               :  322 halaman
ISBN               : 978-602-5734-93-9

Sumber : Republika
Si Anak Badai merupakan seri terbaru dari “Serial Anak Nusantara”. Di mana sebelumnya penulis kawakan asal Sumatra Selatan ini, telah lebih dulu menerbitkan Si Anak Cahaya—yang mengisahkan tentang Petualangan Nurmas—ibu dari Amelia, Pukat, Eliana dan Burlian. Kemudian ada pula Si Anak Spesial (Republish dari Burlian), Si Anak Kuat (Republish dari Amelia), Si Anak Pintar (Republish Pukat) dan Si Anak Pemberani (Republish dari Eliana).

Akan tetapi, meskipun kita belum membaca seri sebelumnya,  kita tetap bisa menikmati novel “Si Anak Badai” secara mandiri.  Karena pada seri terbaru ini, Tere Liye menghadirkan kisah dengan tokoh baru yang tidak memiliki benang merah sebagaimana kisah sebelumnya. Namun jangan khawatir meskipun berbeda, kisah Si Anak Badai ini, tidak kalah menarik dari kisah-kisah sebelumnya. Bahkan bisa jadi, setelah membaca novel ini kita malah akan ketagihan dan penasaran dengan seri-seri yang sudah lebih dahulu terbit.  Sebagaimana saya sendiri,  setelah khatam novel ini,  saya langsung mengkhatamkan Si Anak Cahaya dan bersiap untuk membaca dua seri lainnya.

Kali ini Tere Liye, mengajak pembaca bertualang bersama empat sahabat; Zaenal—atau kerap dipanggil Za,  Ode, Malim dan Awang dalam suasana kehidupan di Kampung Muara Manowa. Sebuah daerah yang berada di muara sungai yang menjadi perlintasan kapal-kapal berhaluan menuju desa atau kota-kota berikutnya. Dengan berbagai problematika khas anak-anak yang juga diselingi masalah keluarga, politik dan sosial budaya yang ada, kisah menjadi sangat seru dan menarik.

Kehidupan empat sekawan ini tentu saja awalnya sangat menyenangkan. Setiap hari Minggu sore atau ketika setiap tanggal merah tiba, sambil bermain-main mereka akan menunggu kapal-kapal—baik dari laut ke hulu atau dari hulu yang berlayar menuju lautan.  Di sana mereka memiliki kebiasaan unik—ketika kapal tiba, mereka akan berlomba-lomba menyelam untuk memperebutkan uang logam yang dilempar oleh para penumpang. Siapa cepat dia dapat. Kebiasaan unik lainnya adalah kebiasaan anak-anak yang selalu mengiringi kedatangan para tamu ke Muara Manowa, serta kebiasaan warga yang suka saling membalas pantun. Pagi hari mereka bersekolah meski dengan segala keterbatasan yang ada dan malam harinya, selepas salat Magrib mereka akan akan mengaji di rumah Guru Rudi, yang rumahnya tidak jauh dari  jembatan menuju masjid.

Namun kebahagiaan itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika tiba-tiba Pak Alex datang mengunjungi Muara Manowa. Pria yang menurut Za mirip bajak laut itu dengan dalih menawarkan kemajuan di tempat tinggal mereka, tetapi pada kenyatannya Pak Alex datang untuk mengancurkan tanah kelahiran mereka—kampung Muara Manowa.

“Sudah saatnya tempat ini dibuat maju, mengejar ketertinggalan dari daerah lain. Sudah saatnya  bapak-bapak menjadi lebih kaya, lebih sejahtera. Karena itu kami ingin membangun pelabuhan di Kampung Manowa.” (hal 84-85).

Visi dan misi yang ia lontarkan hanyalah basa-basi. Karena ketika pelabuhan dibangun, maka sudah pasti warga akan kehilangan tempat tinggal juga kehilangan mata pencaharian.  Karena itulah Sakai bin Manaf atau yang dikenal dengan sebutan Pak Kapten, langsung menolak rencana yang dipaparkan Pak Alex.

“Kami tidak mau dipindah-pindah. Lebih bagus kalau pelabuhan yang dipindah. Terserah di mana asal tidak di tempat kami.” (hal 86).

Akan tetapi siapa yang bisa mengalahkan uang dan kekuasaan? Pak Alex dengan kekuasaannya, dengan keji memfitnah Pak Kapten terlibat dalam meledaknya kapal Maju Sejatera. Selain itu, Pak Kapten juga dianggap sebagai penghasut warga—karena Pak Kapten-lah orang pertama yang menolak rencana itu dan kemudian memengaruhi pikiran warga dengan memutar film di layar tancap. Karena alasan itulah akhirnya Pak Kapten ditangkap.

Kejadian itu tentu saja membuat semua warga sangat sedih, termasuk Za, Ode, Manaf dan Awang. Mereka sangat mengkhawatirkan keadaan Pak Kapten. Satu-satunya harapan mereka adalah  bantuan dari Adnan Buyung, seorang pengacara di ibu kota,  yang kebetulan merupakan Kakak Wak Sidik—salah satu warga.  Dan kesedihan itu semakin menumpuk ketika Pak Alex dan orang-orang dari ibu kota itu benar-benar datang membawa berbagai alat berat untuk mulai pembuatan pelabuhan.

Diceritakan dengan gaya bahasa yang lugas, renyah dan tidak bertele-tele, novel ini sangat menarik untuk dibaca. Kita akan dihibur melihat keseharian Za, Ode, Malim dan Awang, yang lugu, pemberani, setia kawan dan memiliki tekad kuat. Banyak kejadian seru yang menghibur, membangun dan bahkan memotivasi dari berbagai petualangan yang dialami empat sekawan tersebut.

Misalnya ketika Za dan dua adiknya, Fatah dan Thiyah mendapat tugas dari ibunya untuk mengukur beberapa warga Muara Manowa yang ingin dijahitkan baju.  Atau ketika Malim merasa tidak lagi memiliki motivasi untuk melanjutkan sekolah. Za dengan sikap teguh, berusaha semaksimal mungkin untuk membujuk sahabatnya agar tidak putus sekolah. Padahal berkali-kali Malim menolak dan bahkan bersikap kasar, tetapi Za tetap seteguh karang. “Mau jadi apa pun, sekolah tetap penting. Jadi pedagang juga butuh sekolah.” (hal 189).

Ada pula kejadian mendebarkan, ketika mereka harus menghadapi badai besar, saat empat sekawan itu ikut memancing cangkalan bersama Paman Deham. Di mana kejadian itu merupakan cikal bakal lahirnya nama “Si Anak Badai”. Tidak hanya itu, ada pula kejadian mendebarkan yang berhubungan tentang bagaimana usaha keras empat sekawan dalam upaya menggagalkan pembangunan pelabuhan. Berbagai kejadian dan petualangan yang dialami Za, Ode, Malim dan Awang sedikit banyak selalu memberi pencerahan dan akan menggugah pembaca. Mereka adalah anak-anak pemberani yang siap berjuang demi mempertahankan hak yang mereka miliki.

Dari segi tema, Tere Liye sudah sudah menunjukkan keunikan cerita, yang memang jarang dieksekusi oleh penulis Indonesia lainnya. Di sini ia kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam memunculkan ide-ide segar yang tidak pasaran. Sebagaimana novel “Pulang” dan “Pergi” yang mengangkat tema shadow Economy,  atau seri “Serial Bumi” yang mengangkat  tema fantasi yang dipadukan dengan science fiction—di mana kita sadari tema semacam itu cukup jarang dieksekusi.  Inilah daya tarik tersendiri yang membuat buku-buku Tere Liye selalu digemari dari semua kalangan usia. Karena dia selalu menyajikan kisah-kisah yang segar dan memikat.

Begitu pula dengan setting lokasi cerita yang ia pilih. Ketika banyak penulis mengambil kota besar sebagai setting cerita, maka tidak dengan Tere Liye.  Di sini ia berani mengambil langkah maju dengan mengambil setting di daerah terpencil, yang  jarang diangkat oleh penulis lain—ia memilih Kampung Muara Manowa, sebuah desa yang terletak di sekitar muara sungai  yang kemudian dipadukan dengan kisah petualangan yang mendebarkan.  Dan yang menarik kualitas bagaimana mengambarkan setting lokasi benar-benar hidup dan tidak terasa tempelen. Karena ketika membaca novel ini saya langsung membayangkan bagaimana tata letak rumah warga juga bagaimana kegiatan pasar apung atau kegiatan sehari-hari yang membuat anak-anak terbiasana menggunakan perahu untuk melakukan aktivitasnya.

Bayangan saya soal setting lokasi cerita. Sumber:  google 

Pasar apung. Sumber : google 

Tidak kalah menarik adalah bagaimana penulis menyisipkan kritik politik dan atau  sosial budaya dalam kisah ini. Baik secara tersirat atau tersurat, Tere Liye mencoba menyuarakan bagaimana kegelisahan orang-orang yang tinggal di daerah pedalaman, yang harus rela meninggalkan tanah kelahiran demi proyek pembangunan pelabuhan—yang sebenarnya sangat merugikan warga.  Bagaimana tidak,  karena adanya  proyek tersebut, mereka harus rela meninggalkan kampung halaman, kehilangan pekerjaan, kehilangan tempat menuntut ilmu dan banyak lagi.

“Sekarang orang-orang pintar itu akan membuat pelabuhan di sini. Mereka tidak tahu apa dampaknya bagi kita. Lebih celakanya lagi, mereka tidak peduli apa akibatnya bagi kita. Yang penting pelabuhan itu jadi, yang penting mereka mendapat uang banyak dari pembangunan pelabuhan.” (hal 98).

Dan yang lebih miris, pembangunan pelabuhan itu hanya sebuah akal-akalan para pembesar untuk merengkuh keuntungan lebih besar  dengan praktik korupsi.

“Sepanjang kau bisa diandalkan, proyek pelabuhan selesai, dana cair, kau akan liburan ke luar negeri. Kariermu juga akan menanjak cepat.” (hal 308).

Sedangkan untuk penokohan cerita, satu kata untuk penulis buku ini “keren” tokoh-tokoh dalam novel ini, benar-benar hidup—baik melaui gambaran fisik,  sikap juga percakapan-percakapan  dalam cerita. Kemudian soal alur dan plot cerita secara keseluruhan sudah sangat rapi dan menarik.  Sejak awal penulis berhasil menyihir  pembaca untuk menyelesaikan kisah ini hingga akhir.  Hanya saja ada beberapa konflik cerita dalam novel ini,  yang jujur ada beberapa bagian yang terasa datar dan kurang menegangkan. Hal ini sangat berbalik dari novel Si Anak Cahaya, yang sejak awal kisah sudah menunjukkan berlapis-lapis masalah yang membuat saya penasaran. 

Kemudian soal porsi Pak Kapten dalam novel ini. Sebagai salah satu tokoh yang memiliki peran cukup penting,  porsi kisah hidup Pak Kapten kurang dijelaskan lebih detail dan gamblang.  Padahal jika ada penelusuran lebih lanjut sudah pasti kisah ini akan terasa lebih seru dan semakin menarik. Saya penasaran kenapa nama asli Pak Kapten baru diketahui di bagian-bagian akhir. Kemudian tidak ada penjelasan kenapa hampir semua warga segan dan anak-anak selalu takut pada sosok tersebut, serta kenapa ia dipanggil Pak Kapten.   Sebenarnya apa kedudukun Pak Kapten ini di Kampung Muara Manowa?  

Namun secara keseluruhan, saya benar-benar kagum dengan bank ide Tere Liye, yang bisa menghadirkan kisah-kisah menarik dan  selalu memberi inspirasi dan renungan.  Dan untuk masalah kesalahan menulis, novel ini cukup bersih,  saya hanya menemukan satu kata, yang sebenarnya itu sama sekali tidak mengganggu.

Kali ini  mereka tidak sibuk mengolokku, melalinkan ikut ...,” ==  Kali ini  mereka tidak sibuk mengolokki, melainkan ikut ...,” (hal 229).

Lepas dari kekurangannya,   novel ini tetap menarik untuk dibaca. Banyak nilai-nilai pembelajaran yang diikutsertakan penulis dalam kisahnya. Dan seperti biasanya Tere Liye hadir dengan ilmu-ilmu baru yang akan menambah wawasan kita.  Di sini penulis menunjukkan tentang manfaat kayu ulin yang kokoh dan awet. Karena itu dermaga di sana juga jembatan masjid, dibangun dengan memanfaatkan kayu ulin.

Gambar 1 Pohon Ulin || Gambar 2 :  Kayu Ulin || Gambar 3 : Dermaga yang dibuat dari kayu ulin. || Sumber : Google 

“Tidak usah khawatir. Dermaga ini terbuat dari  kayu ulin yang kokoh. Jangankan ambruk, bergeser sedikit pun tidak.” (hal 259).

Kemudian ada disinggung sedikit perilah masalah struktur tanah di Kampung Muara Manowa—yang berhubungan dengan cocok tidaknya struktur tanah itu digunakan untuk membangun proyek pelabuhan.

Sumber : Frisco



Dan meskipun kali ini tere liye kembali mengagandeng co-author, sebagaimana dalam novel “Pergi” hal itu tidak mengurangi rasa khas tulisan Tere Liye dan keseruan cerita yang ada.  Membaca novel ini kita akan menemukan banyak sekali pembelajaran-pembejalaran positif.  Ada pelajaran agar kita belajar dari kesalahan yang pernah lalu. “Setiap orang melakukan kesalahan. Yang membedakan antara orang yang melakukan kesalahan itu adalah ada yang belajar  dari kesalahannya, ada yang juga tidak mengambil pelajaran apa-apa.” (hal 72).

Di sini kita juga bisa melihat sikap setia kawan yang ditunjukkan oleh Za, Ode, Awang dan Malim. 

“Seorang teman tidak akan meninggalkan temannya sendiri.” (hal 191).

Kemudian kita pun diajarkan untuk menjadi pribadi yang sabar ketika ada masalah atau ujian. 

“Manusia mendapat ujian bukan karena dia  telah berbuat kesalahan, Rahma. Ujian itu kadang untuk lebih menguatkan.” (hal 221).

Dan tidak kalah menarik saya juga suka selipan-selipan nilai-nilai religi yang kerap dilakukan penulis kondang ini. 

“Ilmu milik Allah itu sangat luas. Bayangkan kalian mencelupkan telunjuk di laut, kalian angkat telunjuk itu, maka air yang menempel di telunjuk kalian itulah ilmu lautan yang tak terhingga banyaknya, itulah ilmu Allah. Ada yang kita tahu, ada juga yang tidak tahu.” (hal 58).

Selain itu masih banyak nilai-nilai pembelajaran yang bisa kita petik. Misalnya  tentang kebiasaan gotong royong, pentingnya bersikap hormat serta berbakti kepada orangtua, pentingnya belajar tanggung jawab,  pentingnya bersekolah, taat dan rajin beribadah kepada Allah, bersikap jujur, sabar dan tidak melakukan tindak korupsi.

Srobyong, 2 Oktober 2019


Alhamdulilallah resensi ini menjadi salah satu dari 10 resensi pilihan Republika
(Tere Liye, Si Anak Badai)



4 comments:

  1. Helo, mbak. Sesuai janjiku padamu. Setelah kelar baca bukunya, saya balik lagi di mari buat baca ulang resensi mbak.
    Seperti biasa, mbak ratna selalu ciamik kalo perkara meresensi buku. Hihi. Komplit dan detail, pokonya mah. Sukses mbak. Semoga menang (lagi) seperti event sebelumnya. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. AAamiin.Terima kasih Mbak. Doa yang sama buat Mbak Leli 😊🙏

      Delete
  2. Replies
    1. Wah mantap Mbak, buku-buku Tere Liye memang selalu menarik Mbak.

      Delete