Dimuat di Jateng Pos, Minggu 13 Januari 2019
Judul :
Islamofobia
Penulis : Karen Armstrong, dkk
Penerjemah : Pilar Muhammad P
Cetakan : Pertama, Agustus 2018
Tebal : 352 halaman
ISBN : 978-602-441-055-1
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Sejak serangan-serangan terorisme yang mengerikan, seperti kejadian di
Amerika (11 September 2001) serta serangan di Paris (13 November 2015) oleh
para ekstremis yang mengatasnamakan Islam, sejak itu timbul-lah prasangka,
permusuhan, ketakutan dan kebencian terhadap sebagian besar umat
Islam. Gejala inilah yang kemudian lazim
disebut dengan Islamofobia.
Dan karena sikap para oknum yang mengatasnamakan
Islam dalam perbuatan kejinya, kini Islam dianggap sebagai agama yang monolitik
(tunggal-kaku tanpa variasi) dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan
realitas-realitas baru. Islam dianggap tidak memiliki nilai-nilai yang sama
dengan yang diajarkan agama-agama besar lainnya. Islam adalah agama inferior
dalam pandangan Barat, yaitu agama yang kuno, biadab dan tidak rasional. Islam
merupakan agama kekerasan dan mendukung terorisme. Dan Islam adalah ideoligi
politik yang buas (hal 13).
Dari sebagian kecil umat Islam yang bertindak telah
bertindak jahat, kini semua muslim disamaratakan sebagai sosok terorisme dan
esktrimisme. Padahal jika boleh jujur, dari sekian banyak korban terorisme adalah umat Islam itu sendiri. Kenyataan itu tentu saja cukup membingungkan. Buku ini hadir dalam upaya untuk menemukan
alasan dari mana akar kemunculan Islamofobia di Dunia Barat. Namun lebih dari
itu, buku ini juga mengajak kita untuk mencoba meredakan islamofobia agar
mengembalikan sikap welas asih antar agama dan antar sesama.
Dibuka dengan artikel karya Karen Amstong, di sini
kita akan mendapati fakta bahwa sebenarnya islamofobia sudah muncul cukup lama di dunia Barat. Pada 2013, Uni
Eropa menyatakan bahwa Wahabisme adalah sumber utama terorisme global. Namun,
mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa semptinya visi Wahabi merupakan lahan
subur bagi berkembangnya ekstremisme. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, para
kepala suku beraliran Wahabi memang benar-benar melakukan serentetan ekspedisi
militer penuh kekerasan terhadap kaum Syi’ah (hal 19-20).
John L. Espposito, dalam artikelnya memaparkan bahwa
dari berbagai penelitian yang ada
islamfobia meningkat secara siginifikan tidak hanya dengan terjadinya
insiden terorisme domestik, tetapi juga pada saat pemilu, seperti yang terlihat
pada pemilu presiden tahun 2008 dan 2012 dan pemilu kongres tahun 2010. Selama
kampanye, Newt Gingrich, Rick Santorum, Herman Cain dan lainnnya berusaha untuk
mendapatkan perhatian dengan membuat pernyataan sembrono tentang orang Islam
(hal 87).
Sedangkan sejak awal Islam merupakan agama yang
mencintai kedamaian. Hal ini bisa kita lihat dari padangan Nabi Muhammad selama
mengajarkan Islam. Nabi Muhammad
mengajarkan umatnya untuk selalu mengasihi manusia agar Allah pun
mengasihi mereka. Islam melarang membunuh tawanan, membunuh masyarakar sipil.
Islam harus menegakkan hukum dan ketertiban, memerdekan budak, melarang
pemerkosaan, mewujudkan perdamaian, melarang membakar hidup-hidup makhluk
hidup, dan melarang menyebut orang Muslim sebagai orang kafir.
Dan semua sikap itu berbanding terbalik dengan
ajaran para terorisme yang tidak memiliki belas kasih terhadap sesama manusia,
tega membunuh masyarakat sipil dan melegalkan perbudakan dan menyukai aksi-aksi
kekerasan.
Oleh sebab itu penting sekali bagi kita untuk mulai
meredakan islamofobia di dunia Barat. Sehingga dalam hubungan keagamaan dan
antar sesama, akan tercipta sikap welas asih juga saling menghormati. Di antaranya kita bisa memulainya dengan
menghormati instrumen-instrumen semua agama, baik itu berupa bangunan yang
menaungi penganut agam, ayat-ayat suci atau kitab suci yang dianggap merupakan
wahyu Tuhan dan sifat kenabian, meluangkan waktu dengan orang-orang Islam di
komunitas, berpikiran terbuka dan banyak lagi.
Imam Abdul Malik Mujahid dalam artikelnya memaparkan
14 cara dalam melawan islamofobia. Di
antaranya kita harus mengingat Nabi. Nabi didera penghinaan mengerikan dan
kejahatan kebencian dalam masa hidupnya. Dia tetap teguh, sabar dan toleran
menghadapi islamofobia ini.
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah
(kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu
dan anatara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang setia.”
(hal 133).
Buku ini sangat patut dibaca sebagai wacana dalam
mengenal sejarah tumbuh kembangnya islamofobia dan di Barat dan bagaimana cara
kita melawan dan atau merdakan Islamofobia.
Srobyong, 8 Desember 2018
No comments:
Post a Comment