Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 11 Januari 2019
Judul :
Tanah Seberang
Penulis : Kurnia Gusti Sawiji
Penerbit : Mojok
Cetakan : Pertama, Juli 2018
Tebal : 270 halaman
ISBN : 978-602-1318-68-3
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
“Hidup itu seperti sungai. Sungai itu berkelok-kelok
dan cabangnya, membuat kita harus memilih jalan mana yang kita tempuh dengan
harus tahu bahwa kita ingin menuju satu tempat yang sama.”
(hal 116).
\
Adanya masalah dalam kehidupan ini memang sudah
lumrah. Karena hidup tidak mungkin selalu berjalan mulus. Ada kalanya krikil
atau bantu sandungan yang menghadang. Di
mana kita disuruh memilih tentang bagaimana cara menyelesaikannya. Setidaknya
itulah tema yang diangkat penulis, selain tema masalah dan konfilk keluarga
yang begitu kental terasa di sini, serta tentang jati diri—masalah kebangsaan
dan nasionalisme.
Dibagi dalam tiga bagian cerita, novel ini mengiring
pembaca pada kisah yang seru dan menarik. Di mana kita akan dihadapkan pada
cerita-cerita yang menggugah dan menginspirasi. Apalagi ketika melihat
bagaimana cara mereka mencoba menyelesaikan setiap masalah yang tengah
dihadapi.
Pada kisah pertama, ada Amran, Imran dan Umar yang
memiliki tekad kuat untuk menyambangi Dunia Ufuk Barat yang konon menyajikan
suasan yang lebih indah dari pada Dunia Ufuk Timur—tepatnya di Raja
Alang—tempat tinggal mereka. Kisah-kisah
yang didongengkan Tok Mus, telah membuat mereka begitu terpesona dengan tempat
itu. Tapi masalanya, sang ibu—Nur Halimah—wanita asal tanah Jawa itu, selalu
melarang keinginan mereka. Ibunya akan marah besar jika ketiga putranya
membahas tentang Dunia Ufuk Barat. Tentu saja ada alasan di balik larangan itu.
Pada kisah kedua berhubungan dengan masalah yang
harus dihadapi pemuda bangsa yang hidup di tanah rantau. Sejak kecil Nusa
memang tinggal dan tumbuh di Malaysia. Akan tetapi sejak kecil dia tetap didik
untuk mencintai tanah airnya Indonesia, oleh orangtuanya. Mengingat kedua
orangtuanya memang berasal dari Indonesia dan memilih merantau di
Malaysia. Dan Nusa memang tumbuh sebagai
pribadi yang memiliki sikap nasionalisme.
Namun sebuah kenyataan tidak terduga yang
disampaikan orangtuanya suatu hari, benar-benar mengoyak hatinya. Dia bingung
dan bimbang. Orangtuanya mengabarkan
bahwa mereka ingin merubah kewarganegaraan sebagai jalan keluar dari polemik
kesehatan tengah dihadapi. Mengingat tunjangan yang diberikan pemerintah akan sangat membantu dalam upaya
penyembuhan penyakit diabetes yang diderita ayahnya.
Sedang cerita yang ketiga adalah kisah Langgam yang harus menghadapi hidup dengan penuh
tantangan. Di usianya yang masih muda, dia tidak bisa menjalaninya layaknya
remaja lainnya. Karena dia harus merawat
ayahnya yang mengalami stroke, yang
harus selalu melakukan cuci darah. Tidak hanya masalah itu, dia juga harus
mendengar kemarahan ibunya setiap hari. Bagaimana sang ibu selalu menyalahkan
ayahnya yang mulai sakit-sakitan. Puncaknya adalah ketika ayahnya tidak akan
mendapat asuransi lagi dari perusahaan.
Di sini Langgam dihadapkan pada dua pilihan. Tetap
memilih tinggal di Malaysia namun dengan keterbatasan setelah tidak ada
topangan biaya dari ayahnya atau kembali ke Indonesia dan memulai semua dari
awal. Bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah yang dihadapi? lebih lengkapnya
bisa kita baca dalam buku ini.
Benang merah yang disusun penulis dalam kisah ini,
membuka mata kita bahwa dalam hidup ini kita tidak bisa hidup sendirian. Sebagai makhluk sosial kita
memerlukan bantuan orang lain. Oleh sebab itu kita harus saling tolong menolong
di mana pun berada. Hal ini ditunjukkan
dengan sikap Tok Mus—tokoh penting yang menurut saya menjadi benang merah dari
kisah ini.
Secara keseluruhan novel ini cukup menarik untuk
dibaca. gambaran kehidupan orang-orang yang hidup di perantauan dengan berbagai
polemik yang harus diselesaikan, dieksekusi dengan apik dan menarik oleh
penulis. Hanya saja saya kurang sreg dengan adanya bahasa melayu yang tidak ada
penjelasan dalam bahasa Indonesia. Sehingga saat membaca saya harus
mengira-mengira artinya. Namun lepas dari kekurangannya saya menyukai pesan
tersirat dari novel ini. bahwa dalam hidup kita harus saling tolong menolong,
jangan menilai seseorang dari luarnya saja dan nasionalisme tidak akan terhapus
meski hidup di tanah seberang.
Srobyong, 4 Januari 2019
No comments:
Post a Comment