Pernah mendengar nama Asiah? Beliau
adalah istri Raja Fir’aun—Raja zalim yang mengaku Tuhan, bersikap
sombong dan tanpa ampun menganiaya anak negerinya.
Namun, beliau tidaklah sama dengan sang
suami. Beliau adalah salah satu wanita hebat yang memegang teguh
keimanan meski harus berhadapan dengan kekejian suaminya.
Saat itu ada sebuah ramalan akan
lahirnya bayi laki-laki dari Bani Israil yang akan menjadi Nabi. Tentu
saja, hal itu mengkhawatirkan bagi Raja Fir’aun. Lalu dengan dalih
mencegah kerusakan negerinya, dia mulai membuat aturan akan membunuh
anak laki-laki yang baru lahir dan membiarkan hidup bagi anak perempuan.
Keputusan itu tentu sangat meresahkan
warga. Ketika berjaung sembilan bulan, lalu mendapati anak mereka
laki-laki, maka harus rela kehilangan buah hati.
Namun, siapa yang menyangka, ketika Raja
Fir’aun sibuk berusaha menolak kelahiran anak laki-laki, Asiah sang
istri malah tertarik dengan seorang anak yang ditemukan mengapung dalam
sebuah peti di sungai.
Pertama kali melihat bayi itu, Asiah
langsung menyukainya. Beliau ingin merawat dan membesarkannya. Maka
segera saja dia mengadukan kejadian itu pada suamina. Dengan tegas, Raja
Fir’aun ingin membunuh anak itu. Bagaimana kalau dia adalah laki-laki yang dimaksud dalam ramalan sebagai sosok yang akan menghancurkan kekuasaannya?
Namun, dengan lemah lembut, Asiah
menjelaskan pada sang suami. Asiah berkata, “Barangkali anak ini kelak
akan berguna bagi kita. Oleh karena itu, janganlah kanda bunuh anak ini.
Boleh jadi, ia juga menjadi penyejuk mata kita berdua.”
Kalimat ini sebagaimana diterangkan dalam surat al-Qashash[28]: 9,
“Dan berkatalah istri Fir’aun, ‘(Ia)
adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu
membunuhnya, Mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia
menjadi anak,'”
Pada akhirnya, Nabi Musa menjadi bagian
dari keluarga Fir’aun. Kelembutan sikap Asiah mampu melunakkan kekejaman
suaminya itu. Yah, sebagaimana diketahui, Raja Firuan memang terkenal
sangat menyayangi Asiah. Karena sikap dan budi pekertinya.
Namun rasa kasih itu hilang ketika Raja
Fir’aun mengetahui kenyataan bahwa Asiah lebih memilih mengikuti ajaran
Nabi Musa dengan beriman, daripada mengakui dirinya sebagai Tuhan. Tentu
saja Raja Fir’aun marah dan kecewa. Dia tidak mau lagi bergaul dengan
Asiah yang telah mengkhianatinya.
Lalu terjadilah penyiksaan itu. Raja
Firuan sudah memberi peringatan. Namun Asiah lebih siap disiksa daripada
mengingkari ajaran Nabi Musa. Beliau beriman kepada Allah Ta’ala dan
tidak gentar untuk mempertahankan keimanannya.
Tentang penyiksaan yang dilakukan pada Asiah, ada bermacam-macam keterangan yang didapatkan dari ahli-ahli tafsir.
“Dan Allah membuat istri Fir’aun
perumpamaan bagi orang-orang yang beriman ketika ia berkata, ‘Ya Rabbku,
bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan
selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku
dari kaum yang zalim.'”(Qs. at-Tahrim[66]: 11)
Ia berharap, sekalipun istri seorang kafir, apabila menganut ajaran Allah, ia berharap agar dimasukkan Allah ke dalam jannah.
Keterangan dari Tafsir Jalalain
Istri Fir’aun beriman kepada Nabi Musa.
Ia bernama Asiah. Lalu Fir’aun menyiksanya dengan cara mengikat kedua
tangan dan kakinya. Di dadanya diletakkan kincir yang besar. Kemudian
dihadapkan pada sinar matahari yang terik. Bilamana orang yang
diperintahkan oleh Fir’aun untuk menjaganya pergi, maka malaikat
menanunginya dari sengatan sinar matahari. Ketika Asiah meminta tolong
pada Allah Ta’ala saat disiksa, Dia pun menampakkan rumahnya yang di
surga hingga ia dapat melihatnya. Maka siksaan yang dialaminya terasa
ringan baginya.
Disebutkan dalam Shahih Bukhari, diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari, Rasulullah bersabda, “Yang
sempurna dari kalangan kaum lelaki itu banyak. Sedang tiada yang
sempurna dari kalangaan kaum wanita, kecuali Asiah istri Firaun dan
Maryam binti Imran.”
Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik
wanita surga adalah empat orang; Maryam binti ‘Imran, Khadijah binti
Khuwalid, Fathimah binti Muhammad, dan Asiah binti Muzahim.”
(Shahih Muslim, 2/243-Musnad Ahmad, 3/136)
[Kazuhana El Ratna Mida/Bersamadakwah]
Editor: Pirman Bahagia
Re-Post dari artikel saya yang pernah dimuat di web bersamadakwah. Atau bisa dilihat di
No comments:
Post a Comment