Friday 26 January 2018

[Resensi] Ekspedisi Modigliani di Nias Selatan Tahun 1886

Dimuat di Radar Sampit, Minggu 21 Januari 2018 


Judul               : Tanah Para Pendekar
Penulis             : Vanni Puccioni
Terjemah         :  Nurcahyani Evi, dkk
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Desember 2016
Tebal               : 376 halaman
ISBN               : 978-602-03-3164-5
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara.

Membicarakan tentang Nias, hal pertama yang akan kita ingat adalah tentang fahombo, hombo batu  atau “lompat batu” yang dulu pernah dijadikan gambar pada uang seribu rupiah.   Dulu hombo batu merupakan sebua ritual yang dilakukan oleh penduduk laki-laki di Nias, Sumatra Utara sebagai bentuk kedewasaan diri. Dan sekarang kegiatan itu dikenal sebagai olahraga khas suku Nias.  

Sebagaimana pulau-pulau lain yang berada di Indonesia, pulau Nias juga memiliki adat dan kebiasaan sendiri—khususnya penduduk pedalaman Nias. Hanya saja selama ini kita belum mengetahui secara jelas bagaimana kebiasaan dan adat pulau tersebut yang ternyata menyimpan banyak sekali cerita. Termasuk sejarah etnografi manusia pada masa itu. kenyataan tentang betapa beringas dan menakutkannya para penduduk Nias, tapi juga kenyataan bahwa mereka sejatinya adalah orang-orang yang  baik hati dan terhormat.

Melalui buku ini, Vanni Puciano mencoba memaparkan kembali tentang perjalanan pria berkebangsaan Italia—Elio Modigliani.  Dia menetap di Nias dari April – September 1886, mengekplorasi Nias Selatan yang merupakan daerah kekuasaan suku para pemburu kepala manusia. Dan para pemburu itu tidak pernah berhasil ditundukkan pasukan Belanda.  

Kepergiannya dikawal empat pemburu asal Jawa dengan membawa berbagai barang—salah satunya tembakau—untuk menarik perhatian penduduk Nias. Modigliani berkata kepada ahli hutan bahwa ia berniat mencari dan mengoleksi berbagai jenis burung, tanaman dan kupu-kupu. Tapi sesungguhnya Modigliani memiliki alasan lain yang sungguh menakutkan. Sebuah alasan yang konon membuat dia harus siap mengantarkan nyawa jika tidak cerdas dalam ekspedisinya.

Mengingat penduduk Nias Selatan sangat suka berperang, dan memiliki tradisi unik yaitu memburu kepala manusia. Sebuah tradisi yang memiliki nilai dan arti yang tinggi dalam masyarakat Nias tersebut (hal 25).

Tapi bukan Modigliani jika merasa gentar. Dia sama sekali tidak takut dan terus menelusir setiap jengkal tempat di Nias Selatan. Dia mengeksplorasi satu desa ke desa lain. Dimulai dari Desa Bawolowalani yang mempertemukannya dengan tokoh unik, Faosi Aro—raja Bawolowalani.  Lelaki licik yang mencoba memanfaatkan Modigliani dan mengambil keuntungan dari sikap Modigliani yang dermawan.

Kemudian Modigliani juga mengunjungi Desa Hilizihono, Hilisimaetono, Hilizihono, Hilisimaetono dan  Hilisondrekha—tempat yang akhirnya membuat Modigliani dapat menyaksikan lompat batu untuk pertama kalinya (hal 195) dan banyak tempat lagi yang masih dia eksplore.   Perjalanan menyeberangi sungai dan keluar masuk hutan dengan taruhan nyawa menjadi perjalanan sehari-hari bagi Modigliaano  dengan anggotanya.

Namun pada akhirnya, Modigliani berhasil menuntaskan eksplorasinya di Nias Selatan. Sebuah kenyataan yang tidak terduga, karena pada akhir-akhir perjalanan, konon Modigliano sempat bersitegang dengan rasa dari salah satu suku, dia juga sempat sakit Malaria. Namun nyata Modigliano bisa kembali ke Florence dengan membawa berbagai temuan yang nantikan akan dipajang di Museum Nasional Antropologi dan Etnografi di Florence.

Buku ini sangat mendebarkan dan menarik. Membacanya membuat saya teringat dengan film-film petualangan yang penuh lika-liku dan pembantaian.  Dari buku ini kita bisa mengatahui tentang adat dan kebiasaan suku Nias di zaman dulu. Di mana pada masa itu budaya Nias masih didominasi kekuatan gaib—yang mana jika penduduk sakit, penduduk akan menyerahkan proses pengobatan kepada  dukun (ere), karena dukun adalah satu-satunya perantara dengan dunia gaib (hal 69).  Dan  penduduk Nias memiliki kebiasaan memburu kepala manusia untuk beberapa alasan (hal 177).

Selain memiliki kebiasaan yang bisa dibilang menakutkan, sejatinya masyarakat Nias sebenarnya bangsa yang demokratis dan bebas dari tingkat sosial. Sebuah buku yang menarik dan menambah wawasan, hanya saja dalam buku ini  ada ketidakkonsisten penulis dalam memanggil Modigliani, yang kadang ditulis Elio, terkadang Modigliani.  Namun lepas dari kekurangannya, buku ini patut dibaca untuk semua kalangan.

Srobyong, 29 Juli 2017 

No comments:

Post a Comment