Oleh :Kazuhana El Ratna Mida
“Tolong,
aku, tolong, aku,” suara itu beberapa hari ini sungguh menganggu
konsentrasi belajar Lucia. Dia jadi merasa kena teror dan ingin pindah
saja.
Bagaimana tidak, suara yang terdengar itu sungguh menyayat
hati dan membuat bulu kudu merinding sekali. Tidak hanya sekali dua
hari yang Lucia anggap halusinasi, tapi itu sudah hampir seminggu lebih
dia merasa ada teror suara yang membuat dia bergidik ngeri.
Anehnya,
tak seorang pun di rumah mendengarnya. Sehingga sekuat apa pun dia
mencoba meyakinkan, malah dia yang dianggap berbohong. Huch!
Menyebalkan. Lucia meruntuk sendiri.
Sekarang dia kembali
ke kamarnya yang berada di lantai tiga. Rumah ini memang baru saja
dibeli keluarganya dengan harga yang cukup murah.
“Tolong,
aku, kumohon,” rintihan itu semakin terdengar jelas di telinga. Lucia
langsung menutup telinganya dengan earphone. Kalau dia terus
mendengarkan suara itu bisa-bisa tugasnya tidak bisa kelar. Padahal
besok sudah harus diserahkan.
Lucia pun sekarang sudah
tenggelam dengan musik yang dia dengar, sambil mengerjakan tugas
mulutnya komat-kamit menyanyikan lagu Super Junior kesukaannya. Paling
tidak, ketakutan yang sedari tadi dia rasa sekarang hilang.
Namun,
tiba-tiba hembusan angin menegakkan bulu kudunya. Lucia yakin tadi,
dia sudah menutup jendela dan tirai kamarnya. Tapi, kenapa sekarang
malah terbuka? Lucia segara beranjak untuk menutupnya. Mungkin dia
lupa.
Setelah menutup tirai, Lucia kembali duduk dan
berkutat dengan tugasnya, dia tenggelam pada kesibukannya. Namun, hawa
dingin kembali menyusup ke relung tubuhnya.
Mata Lucia membelalak melihat jendela yang kembali terbuka.
“Kenapa
jendelanya terbuka sendiri?” Lucia mulai merasa takut akan fenomena
ini. Lebih baik dia tidur, dari pada terus dipermainkan di sini.
Lucia
sudah berada di depan jendela, dengan tergesa dia mencoba menutupnya,
namun pandangannya tiba-tiba terpusat pada sosok wanita berpakaian
putih yang berdiri di bawah pohon rambutan di depan rumah.
Lucia mengucek-ucek matanya, mungkinkah dia salah lihat? Sekali lagi dia mengintip memastikan.
Lucia menelan ludah melihat wanita itu malah kini menatapnya.
“Tolong, tolong aku, Lucia. Tolong.”
Lucia terkesiap, segera dia menutup jendela kamarnya dan langsung ambruk ke kasur, dia menaikkan selimut hingga menutupi wajah.
“Tolong, aku, tolong aku,” suara itu kembali terngiang di telinga Lucia.
“Kumohon,
jangan ganggu, aku,” pinta Lucia yang semakin ketakutan. Dia
memejamkan mata hingga akhirnya suara itu hilang dalam pendengarannya.
****
Pagi
harinya Lucia menceritakan kejadian semalam pada keluarganya, tapi tak
satu pun yang mempercayainya. Dan mengangap dia terlalu hebat dalam
imajinasi, mengingat hobinya yang suka nonton movie.
“Ini serius, Bu. Aku mendengarnya,” Lucia meyakinkan.
“Mungkin
kau sedang bermimpi, Sayang. Sudah-sudah jangan berpikir macam-macam.
Sekarang sarapan, dan segera berangkat sekolah,” ucap Ibu memutuskan.
“Kenapa tidak ada yang mempercayaiku?” gerutu Lucia cukup keras. Dia meninggalkan ruang makan, dan berlalu begitu saja.
****
“Kamu, kenapa Lucia? Kok pagi-pagi sudah menekuk wajah begitu? Tugas kamu belum selesai, ya?” cerocos Mila, teman sebangkunya.
“Bukan masalah itu …,” ucap Lucia sedikit menggantung.
“Lalu?” Mila penasaran.
Lucia pun menceritakan segala hal yang dialaminya. Dari suara aneh juga penampakan wanita yang semalam mendatanginya.
“Benarkah? Mengerikan sekali, Lucia. Aku jadi merinding,” Mila berkomentar.
“Mending kamu cerita pada orang tuamu,” saran Mila.
“Masalahnya
itu, Mil. Mereka tidak ada yang percaya dan hanya menganggapku bohong
hasil imajinasiku yang luar biasa.”Lucia semakin muram.
Obrolan
berhenti ketika guru mereka sudah datang. Kini, mereka sudah serius
mengikuti pelajaran, setelah tugas tadi dikumpulkan.
Sedang
asyik mengikuti pelajaran, kembali suara itu terdengar. Suara yang
mengusik ketenangan Lucia. Kenapa dia sampai mengikuti ke sekolah?
Lucia tidak habis pikir.
Dia melihat kesekeliling, teman-temannya,
mereka sepertinya tidak ada yang mendengar suara itu. Lucia menelan
ludah, sepertinya memang hanya dia yang dihantui.
Dia
memejamkan mata sebentar, barang mengambil nafas sekalian, berharap
nanti ketika dia membuka mata, suara itu hilang. Namun, yang terjadi
malah cukup membuat dia berpacu dengan jantungnya.
“Aakh!” jerit Lucia tiba-tiba. dia kaget melihat wanita itu menyembul tepat dihadapannya hanya berupa kepala.
“Ada apa, Lucia?” Mila menatap bingung ke arah teman sebangkunya.
“Dia tadi ada di sini, Mil,” terang Lucia. Dia menutup muka merasa sangat ketakutan.
Melihat keadaan Lucia yang tidak begitu stabil, membuat Bu Indah menyuruh untuk istrahat di ruang UKS dulu. Biar tenang.
Lucia
memilih merebahkan diri, dan menutup mata. Ah, kenapa hal seperti ini
menimpanya. Sebelum dia pindah ke kompleks rumah yang sekarang, dia
damai-damai saja.
*****
Lucia tidak percaya dengan
apa yang dia lihat, pembantaian kini ada di depaan mata. Para wanita
disiksa dengan bengis lalu dimutilasi seketika. Mungkinkah laki-laki iu
sudah gila? dua wanita tergeletak di sana, sudah tak bernyawa.
Mereka wanita berbaju putih yang pernah dilihatnya di rumah, dan wanita yang hadir mengagetkannya di sekolah.
“Itulah
akibat, dari kalian yang berani melawanku, hahahah,” pria itu terawa
menang, dia meninggalkan kedua wanita itu dengan senyum mengembang.
Lucia
mengatur detak jantungnya yang tak beraturan. Dia seperti melihat
tayangan pembunuhan secara nyata. Pelan dia mencoba melihat siapa para
korban di sana.
Lucia menutup mulut. Apa yang terjadi
kenapa mereka bisa dibunuh dengan keji? Di saat dia tengah kebingungan,
tiba-tiba pria itu muncul lagi dengan peralatan lengkap untuk mengubur
dua wanita tadi.
Mereka dikubur tepat di bawah kasur Lucia yang sekarang ini.
“Jadi, karena itu, mereka selalu menghantuiku? Tapi kenapa? Aku tidak kenal dengan pria itu?” Lucia bergumam sendiri.
“Hanya kau yang bisa membantu kami,” suara itu tiba-tiba mengagetkan Lucia hingga dia membuka mata lagi.
“Tolong, kami, Lucia, kumohon,” lirih suara itu.
“K-a-l-i-an?” tanya Lia tergagap.
Wanita berbaju putih itu terdiam dan hanya memandang Lucia lekat. Pun dengan hantu wanita yang hanya berbentuk kepala.
“Bantu, aku, ya,” pintanya wanita berbaju putih penuh harap.
“Tolonglah !”
Lucia pun luluh, dan akhirnya mau membantu. Dia mendengar dengan seksama cerita yang hantu wanita itu tuturkan.
Lucia
baru tahu namanya adalah Lala dan yang satu Nurma. Mereka meninggal
sekitar satu bulan lalu, di rumah yang Lucia tempati sekarang.
****
Sesampai di rumah, Lucia segera masuk ke kamarnya, dia menggeser kasurnya, dan memang menukan gundukan tanah di sana.
“Kau, mau apa, Lucia?” kaget sang Ibu yang memergoki ulahnya.
“Lucia,
mau mengungkap kejahatan yang tertunda, kejahatan yang dilimpahkan
para orang yang tak bersalah, hingga mereka harus gentayangan karena
tak terima akan fitnah. Kebenaran harus ditegakkan,” ucap Lucia
berapi-api.
“Kamu ngomong apa sih, Lucia. Ibu tidak
paham, sudah, ah. Jangan berimajinasi yang berlebihan,” sang Ibu
menyuruh Lucia segera meninggalkan aktivitasnya.
“Ini benaran, Bu. Lucia tidak bohong,” dia meyakinkan Ibunya.
Tanpa mengindahkan permintaan ibunya, Lucia terus menggali gundukan tanah yang ada di bawah kasurnya.
Di
sana Lucia benar menemuka dua mayat wanita seperti yang pernah
dilihatnya. Dia memanggil kepolisian untuk segera mengungkapkan
kejahatan Hendy—laki-laki yang sejatinya membunuh mereka.
Kejahatan
Hendy pun akhirnya terkuak. Lala dan Nurma bukan mati karena bunuh
diri seperti kabar yang diberitakan, tapi dibunuh Hendy yang memang
mengincar kekayaan Nurma yang baru saja mendapat warisan dari orang
tuanya. sedang Lala yang tak sengaja mengetahui kejahatan itu, akhirnya
juga kena dampak mati di tangan Hendy.
“Terima kasih, Lucia. Sekarang kami bisa tenang,” ucap Lala dan Nurma yang kemudian hilang tak lagi nampak di pelupuk matanya.
**** Sebulan setelah itu, Lucia merasa tenang tapi, di bulan berikutnya, dia kembali mendapat teror lagi.
“Pergi! Pergi! Aku tidak mau ikut kamu!” teriak Lucia marah.
Dia melempar apa saja yang ada di depannya supa wanita yang sedari tadi dihadapannya hilang.
“Kenapa
tidak mau? bukankah kita satu jiwa yang harus selalu bersama, Lucia.
Aku Lifia saudara kamu,” ucap wanita bergaun merah.
“Tidak! Aku tidak mengenalmu!” pekik Lucia. Dia menutup telinga agar tak mendengar ocehan Lifia yang ke mana-mana.
Dan batas kesabaran Lucia pun sudah pada puncakknya.
Lucia
tidak tahan dan memilih menyendiri, mendekam di kamar yang sepi agar
tak diganggu lagi. Di rumah terapi para pemilik dua jiwa yang tak bisa
dikendalikan lagi.
Epilog
Kebenaran
yang tertunda, kini telah terungkap ternyata Lucia seorang gadis
perkepribadian ganda, Dia yang merasa tidak dipercaya keluarganya,
sehingga dia menciptakan satu lagi jiwa untuk menemani kesepian yang
dirasa. Juga kebohongan yang dia lakukan agar mendapat perhatian orang
tuanya, tentang Lala dan Nurma.
Srobyong, 15 Desember 2014
No comments:
Post a Comment