Cinta Empat Musim
Kazuhana El Ratna Mida
5 Januari 2014.
Aku
menatap langit biru. Membayangkan waktu ketika kita menampaki sejuta
cerita yang masih aku rindu. Di sini, di tanah ini kita ukir perjalanan syahdu. Di pohon palem besar kita saling beradu. Mengungkapkan sejuta kasih yang kita miliki. Meleburnya dalam ruang rindu.
Kau
sang mentari yang menyinari hati. Menawarkan janji indah yang masih
terpatri. Semoga kau selalu ingat akan pesan cinta yang kau buat. Aku
masih menunggu. Hingga detik ini sampai kita kembali beradu.
“Janji yang kita buat untuk kembali bertemu di bawah pohon palem ini, kamu masih ingatkan?” aku bertanya pada langit terang membayangkan kamu mendengar.
Aku mengehela nafas. Aku sudah bercakap denganmu melalui mentari. Kini aku harus kembali pada dunia yang aku tekuni. Bekerja!
“Semoga kamu baik-baik saja di sana.” Doaku lalu kembali menatap langit biru.
****
Segera
setelah persiapan, aku berangkat kerja, aku melesat meninggalkan rumah
yang sudah sepi sejak tadi. Tugas sebagai guru kini menantiku. Ah
senangnya bisa berkumpul dengan anak-anak yang mempunyai banyak
perbedaan karakter dan pola pikir.
“Bu Julia!” teriak anak murid ketika melihat aku yang sudah sampai di gerbang sekolah. Mereka menghambur menyambut kedatanganku.
“Pagi,
anak-anak, bagaimana tidurnya tadi malam, pasti nyenyak ya?” tanyaku
dan kutatap mereka satu persatu. Seberkas rindu kini kembali
menggelayuti.
Mereka mengangguk dan tersenyum. Kemudian aku segera memulai pelajaran hari ini.
Menjadi
guru memang sudah sesuai dengan cita-citaku. Tapi entah kenapa kisah
cintaku tak semulus jalan mimpiku. Empat musim sejak aku kenal dengan
dia, namun belum ada tanda-tanda hadiah buah kasih cinta kami. Amanah
Tuhan belum mengampiri. Mungkin aku masih harus menunggu. Menunggu waktu
yang tepat dari Rabbu Izzati.
****
Musim kemarau. Di semester enam, tahun 2012. Itu adalah awal perjumpaan kami. Di taman kampus, dia menyapaku yang sedang asik menekuni buku.
“Hai, kamu Julia,’kan? Aku Guntur.” Ucapnya dengan mengulurkan tangan.
Entah
dari mana dia tahu tentang aku waktu itu, namun tetap saja aku tak
menolak perkenalan itu. kutatap dia yang tinggi besar dengan wajah
kharisma yang membuatku terpana.
“Bagaiman kamu bisa tahu namaku?” akhirnya kulontarkan pertanyaan yang sebenarnya, sangat klise itu. Tapi aku penasaran.
“Semua mahasiswa pasti kenal kamu Julia, kamu mahasiswi penuh prestasi sih,” ucapnya dengan senyum mengembang.
“Masak,
tapi, aku merasa tidak pernah melihat kamu di kampus?” aku balik tanya.
Dia terasa asing. Karena biasanya aku selalu mengenal wajah-wajah
mahasiswa di sini.
“Aku memang mahsiswa pindahan, nanti kita akan sering bertemu,” ucapnya santai.
Pantas saja ternyata anak pindahan.
“Dan lagi, mungkin kita akan bersaing,” dia menatapku.
“Maksudnya?” aku semakin tidak paham dengan mas Guntur yang tiba-tiba datang lalu mengatakan akan menjadi saingan.
“Aku mendengar banyak cerita tentangmu, jadi aku meresa tertantang dan penasaran,” ucapnya menjelaskan.
Aku hanya ber—o panjang. Okelah terseraha dia. Aku juga suka tantangan.
Sejak
hari itu, aku memang jadi sering berteman denganya. Mau bagaimana lagi
dia memang selalu membuntutiku. Dia memilih duduk dekat dengaku. Ketika
aku memilih menghabiskan waktu di perpustakaan pun dia tidak mau
ketinggalan.
“Kenapa sih, kamu selalu mengikutiku?” tanyaku disela aku membaca.
“Aku suka saja. Kalau dekat denganmu, siapa tahu aku bisa tahu rahasia trik yang kamu punya.”
Penjelasan
yang aneh menurutku. Tapi peduli amat. Ada untungnya juga dia menempel
padaku. Karena sejak itu tidak ada yang berani mengganguku, apalagi
mengirim surat cinta untuku. Dia dikira pacarku.
****
Musim
hujan, setelah wisuda kelulusan. kedekatan kami semakin membuncah. Jika
dulu dia hanya mengikutiku karena penasaran dan ingin mengalahkan
presatasi yang aku punya. Kini dia ada untukku untuk selalu menghibur
dan membantu.
“Jul,
kamu itu harus lebih menjaga kesehatan dong, jangan memaksa jika
tubuhmu tidak kuat,” marah dia padaku yang kini terbaring lemah.
“Kalau memang tidak tahan dengan hujan, kenapa malah diterjang?”
“Iya, maaf, habis aku tidak enak menolak permintaan teman,” aku sungguh menyesal.
“Dan
masalah hujan-hujan, hari sudah petang, aku takut sendirian di jalan,
jadi kuterjang saja biar cepat sampai rumah,” jelasku apa adanya.
“Kenapa tidak mengubungiku Jul, biara aku jemputkan bisa,” dia masih nampak marah. Dia sepertinya sungguh khawatir.
“Maaf, Handphone aku tertinggal di rumah,” aku menunduk.
Peredabatan
yang tidak ada selesainya. Mas Guntur akhirnya diam dan menatapku, lalu
mengutarakan kekhawatiran jika sesuatu terjadi padaku. Makanya dia
berharap aku lebih hati-hati dan sekarang harus istirahat biar cepat
pulih.
“Iya, Mas Gunturku sayang,” ucapku dengan manja.
“Panggil apa tadi, kok tumben, ayo diulangi, aku pengen dengar,” pintanya.
“Tidak mau ah, kan tidak ada berita ulang,” aku meleletkan lidah.
Segera tangan kekar itu kini mengacak rambutku karena gemas.
“Julia, rasanya aku tidak rela jika harus meninggalkanmu, aku sangat menyukaimu,” ucapnya tiba-tiba.
“Memangnya kamu mau ke mana?”
Dia hanya dia dan memandang ke luar jendela.
“Kok diam sih tidak dijawab,” protesku.
“Itu
sedandainya Julia, aku masih di sini. Aku akan selalu menemanimu, dan
menjadi sandaranmu,” dia menggenggam tangaku. Kemudian berpamitan
pulang.
Kutatap
sosok tinggi besar yang telah berhasil meluluhkan hatiku. Ya, dia
dengan mudahnya membuat aku jatuh cinta padanya. dia yang datang
tiba-tiba sebagai saingan meraih presatasi, dan dia juga berhasil
mengambil separuh hati ini. Hingga di bulan Maret 2013 kemarin kami menikah, dan kemudian berbulan madu di jepang bertepatan dengan musim semi di sana.
****
Aku
tersadar dari lamunanku. Siang kini telah menjelang. Aku harus segera
pulang. Waktu pembelajaran sudah selesai beberapa waktu lalu. Aku yang
terlalu asik berkutat di meja kerja memasukan nilai evaluasi para murid,
malah berakhir dengan lamunan tengtang Guntur kekasihku.
“Mas, aku sangat merindukanmu,” lirihku.
Lalu, kutinggalkan sekolah yang sudah sepi.
Aku menapaki jalan setapak yang tak banyak keramainan yang menami kepulanganku.
Sampai di rumah aku disambut hangat oleh keluargaku. Meski aku tahu, wajah mereka tersirat sendu. Mungkin karena memikirkan aku yang hingga sekarang belum memiliki momongan juga. Tunggu saja kau akan mewujudkan harapan mereka.
****
Aku memasuki kamar. Kulihat photo yang terpampang di meja riasku. Aku dan mas Guntur dulu ketika berlibur menimati honey moon
bersama di Jepang. Ah masa yang sangat aku nikmati. Bersama seseorang
yang aku sukai di musim semi dengan mekarnya bunga sakura kesukaanku.
Aku duduk dengan dia di taman timur istana kerajaan di Tokyo, menyaksikan Mekarnya Sakura. Aku dan
dia tidak melewatkan Festifal Hanami yang selalu ramai dengan pesta dan
berkumpulnya para warga menikmati indahnya sakura yang mekar dengan
indah.
“Cho kawai, Mas. Cantik sekali,” ucapku semakin mengagumi keindahan ini.
“Secantik kamu Julia,” dia menatapku teduh. Membuat hati ini berdesir tak menentu.
Guntur yang dulu sering menjahiliku, kini selalu bersifat romantic padaku. Selalu membuat hatiku berbunga mekar layaknya sakura.
“Gombal deh,” aku memukul pundakya.
Dia
malah tersenyum dan menatapku dalam. Aku selalu terbius dengan
tatapannya. Entahlah aku hanya mencintai satu orang yang sama sejak dia
datang menyapa. Dialah suamiku—Mas Guntur. Dia selalu bisa membuatkau
tenang meski kami harus sering terpisah kerena waktu. Bahkan ketika dia
harus keluar negeri karen tuntutan pekerjaannya. Mas Guntur meski dulu satu fakultas keguruan dia tak ingin menjadi guru, dia memilih terjun ke dunia jurnalistik yang membuat dia bisa keliling dunia seperti mimpinya.
Entah
bagaimana ceritanya mungkin karena sejak di kampus dia sudah aktif
dengan organisasi jurnalistik hingga mudah bagi dia masuk. Lagi pula dia
memang sudah terlihat professional dengan bakatnya. Aku kalah dalam
bakat. Jadilah setelah kami menjalin hubungan pernikahan dengan jarak
jauh. Aku tidak bisa meninggalkan profesi guruku. Dia pulang dua bulan
sekali untuk menemaniku.
“Aku janji padamu,
ketika ulang tahumu datang aku akan pulang membawa kejutan. Jadi tunggu
aku ya,” pintanya penuh harap. Di hari terakhir dia akan kembali
bertugas.
Tanpa
berpikir panjang aku langsung mengiyakan. Aku pasti menunggu. Hati ini
sudah terlanjur terpatri denganya. Menunggu musim dingin di Jepang,
pertanda dia akan pulang.
“Aku pasti menunggumu Mas.” Ucapku sambil menatap fotonya.
Bulan
berganti bulan, aku selalu sabar menunggu dia pulang. Meski keluargaku
seolah tidak percaya dan menyuruhku untuk menyerah. Itu tidak mungkin,
aku sudah janji. Dan aku yakin dia tidak akan ingkar janji. Tingga
beberapa bulan lagi, maka penantiaku akan segera terjawab. Keluarga
kecilku akan terwujud nyata.
“Kamu yakin Jul, dia kan datang?” tanya Astri kakakku.
Aku mengangguk mantap.
“Dia akan datang Kak, memenuhi janjinya untuk menemaniku segera,” aku tersenyum manis, tak sabar hari itu tiba.
Mereka pun akhirnya memberi kesempatan bagiku untuk membuktikan janji Mas Guntur yang selalu aku umbar pada keluarga.
Desember,
hari ulang tahunku akan segera datang. Dan mas Guntur juga akan segera
pulang. Aku mempersiapkan semuanya. Sedikit pesta sederhana untuk
menyambut kepulangannya.
Aku beharap-harap cemas. Berjalan mondar mandir menunggu dia muncul di depan pintu rumah.
“Mas, kamu pasti datangkan?” aku berucap sendiri dalam penantian.
“Aku sudah memasakan makan kesukaanmu,”ucapku lagi.
Satu
jam, dua jam berlalu Guntur tak juga mucul. Ada ketakutan yang
tiba-tiba menyergapku. Mungkinkah ada sesuatu hingga membuat dia
terlambat.
“Semoga pikiranku salah Ya Allah,” doaku lirih.
Empat jam berlalu aku masih setia menunggu. Aku yakin mas Guntur tidak akan membohongiku.
“Jul, sudahlah Guntur tidak akan pulang,” kak Astri menghampiriku.
“Tidak mungkin Kak, dia sudah berjanji,” aku mencoba menjelaskan.
Kak Astri menatapku penuh iba. Entah kenapa dia tidak percaya denganku.
“Jul, ikut dengan Kakak ya,” dia meraih tanganku.
Aku akhirnya mengikuti langkah kakakku. Aku termangu, kemudian duduk lemas tak lagi ada daya untuk menopang hidupku.
Aku yakin ini pasti mimpi, tidak mungkin mas Guntur tega meninggalkan aku sendiri.
Aku menatap gundukan tanah dihadapanku bertulis nama Guntru Nugraha. Meninggal tanggal 11 November 2013.
Pikiranku
melayang pada kecelakaan satu bulan silam. Penerbangan Jepang
Indonesia, kejutan kecil yang katanya ingin dia berikan. Dia sempat
menelepon memberitahukan bahwa dia bisa pulang lebih cepat dari janji
yang diberikan. Kecelakaan yang merenggut suamiku untuk selamanya. Yang
masih aku rindukan hingga sekarang.
“Mas
aku masing merindukanmu,” lirih air mata ini mulai membesahi pipi ini.
Mungkin inilah kenapa keluargaku selalu menatapku dengan sedih. Melihat
aku yang begitu patah arang dan menyiksa diri karena ditinggalkan oleh
suami. Tidak mau mengakui bahwa dia telah berpulang.
“Jul, jangan menyiksa diri, ikhlaskan dia ya, rawat buah kasih yang diamanahkan padamu,” kak Atika memelukku.
Aku menanggis sesenggukan.
Lalu di awal tahun baru, aku pun membuka lembaran baru. Kuelus lembut perut buncit yang kurasakan Guntur kecil yang menendangku.
“Mas,
aku sudah ikhlas, doakan aku bisa merawat calon jabang bayi kita.”
Doaku di makamnya. Di bawah pohon palem tempat yang sama ketika kita
saling sapa. Di pagi hari sebelum aku berangkat kerja.
“Doakan aku juga Mas, agar menjadi Ibu yang baik untuk anak kita.”
10 November 2014
No comments:
Post a Comment