Terimakasih Sahabat
Sakit yang aku rasa semakin
membuatku ngilu. Entah sejak kapan rasa ini menjalar diseluruh tubuhku. Menjadi
racun yang terus mengerogoti kekebalan tubuh ini. aku terbangun dari tidurku.
Masih kurasakan pening di kepalaku. Semakin lama rasa sakit ini menyiksaku. Aku
menjadi lemah dan tak bergairah. Setiap sakit ini muncul, rasanya inginku
benturkan saja kepala. Biar tidak ku rasakan lagi sakit yang menyiksa ini.
“Dimana ya obatku?” aku mencoba
mencari obat yang seringku konsumsi untuk sekedar menghilangkan nyeri yang
ku rasakan ini.
Aku membuka setiap laci yang ada, melihat kesemua pejuru ruangan, namun
aku tidak menemukan benda kecil itu. Padahal saat ini aku sangat
membutuhkannya. Entah di mana aku tadi meletakkanya. Aku lupa, tapi biasanya aku
selalu menaruhnya di sampingku, bahkan selalu dalam genggaman tanganku. Aku
mencoba mencari lagi, namun hasilnya nihil.
Aku mulai menagis merasakan sakit
yang luarbiasa di kepalaku ini. aku harus cepat menemukannya. Beruntung aku bisa
mendapatkan kembali obatku itu, sehingga sedikit berkurang rasa sakit yang
menjangkitku.
Aku berjalan melewati jalan setapak
di kompleks rumah sakit, menikmati udara di pagi hari. Aku melihat betapa
beruntungnya orang-orang yang berada di hadapanku ini, yang belalau lalang di
jalan ini. meraka mendapat nikmat sehat, bisa bebas melakukan apapun yang
disukai. Menikmati hidup dengan senyum ceria yang dimiliki. Lalu aku? Aku
terjebak disini, dengan sakit yang ku derita. Yang datang tiba-tiba, dan
kemudian merenggut segala kebahagianku.
Tanpa kusadari, aku mulai menagis di
bangku taman ini. aku merasa ini tidak adil. Kenapa harus aku yang mengidap
sakit ini?
Padahal aku sudah membuat planning
untuk semua, untuk kegiatan yang akan aku lakukan. Rencana-rencana yang telah
aku susunpun kacau berantakan. Aku harus merelakan semua mimpi yang ku miliki.
Menghapusnya dari memoriku.
“Dea? Dea? Kau dari mana saja?” suara yang sangat ku kenal kini menghampiriku, berjalan kearahku.
“Dea kau ini membuatku takut saja,
kau jangan keluar sendirian dong, kalau mau jalan-jalan bilang, aku akan
menemanimu.” Risa memarahiku. Tapi, sebenarnya dia sangat baik, dia masih saja
memperhatikanku, menemaniku disela kesibukan yang dimilikinya.
“Aku bosan Ris, di kamar sendirian,
tidak bisa pergi kemana-mana, aku ingin seperti dulu Ris, kita bersama-sama
kemanapun yang kita inginkan.”
“Aku ingin menikmati hidup yang
bebas yang tidak tergantung akan obat, tidak terkurung seperti ini, kenapa
harus aku Ris? Kenapa Ris. Aku ingin sehat aku ingin bebas Ris.” Aku terisak.
“Dea, yang sabar ya, kamu pasti
sembuh, kamu pasti bisa kembali seperti dulu, makanya kamu harus rajin
perawatan, nanti kita bisa bersama lagi. Kamu mau ya dirawat di rumah sakit,
biar cepat sembuh.” Risa mencoba membujuk. Dia sahabatku yang selalu peduli
denganku, bahkan ketika aku terpuruk. Dia dengan sabar selalu menemani
perawatanku. Dia selalu menghiburku kala aku sedang down, seperti saat ini.
Risa merangkul pundakku. Tadi dia pasti sangat khawatir, karena aku keluar sendirian.
“Dea, jangan pergi sendirian, kenapa
kau tidak bangunkan ibu.” Ibu menghambur memelukku.
“Maafkan Dea ibu.” Aku ikut terisak.
Aku kembali dalam isolasi ruangan
yang sebenarnya sangat aku benci. Tapi, aku tidak ada pilihan lain. Aku harus dirawat
jika ingin segera pulih.
Aku masih ingat dengan jelas, hari
itu aku sangat bahagia setelah kelulusan sekolahku, aku dan Risa menikmati
pesta syukuran yang kami adakan, kami menyusun rencana yang akan kami lakukan
setelah ini. Kami sepakat untuk kuliah di tempat yang sama. Rasanya senang
ketika kami benar-benar diterima di universitas yang sama.
“Wah, asyik kita bakal bersama
lagi.” Ucap Risa dan aku kegiran. Kami bersorak riang.
Menjalani hari-hari pertama sebagai
mahasiswa, menambah lagi kenangan kebersamaan kami. Kami seperti saudara kembar
yang tidak terpisahkan. Risa selalu menjagaku karena aku yang memang memiliki tubuh
yang rentan. Sejak awal kami berteman Risa sudah tahu, bahwa aku sering pingsan
dengan tiba-tiba. Apalagi jika benar-benar kecapaian.
Tapi, tak kusangka kebersamaanku
dengan Risa berakhir saat itu. Tiba-tiba aku pingsan saat berada di kelas.
Merasakan sakit yang luar biasa di kepalaku. Padahal, seingatku aku sudah minum
obat pereda nyeri yang ku miliki. Obat sementra yang bisa menekan penyebaran
tumor otak yang aku derita.
Sejak kapan pastinya penyakit ini
mengerogotiku, aku sungguh tidak tahu. Seingatku, aku sudah sering merasakan
sakit kepala ketika aku masih di bangku SMP. Setiap aku terlalu tertekan dengan
pelajaranku, pusing itu menyerangku.
“Dea, kau baik-baik saja.” Risa
mengguncang-guncang tubuhku. Aku pingsan.
Risa segera membawaku kerumah sakit,
menghubungi keluargaku. Dia nampak begitu cemas dan sedih. Menungguiku hingga
aku bangun dari tidurku.
“Syukurlah Dea kau baik-baik saja,” dia menghambur kedalam pelukanku.
“Terimaksih Risa,” ucapku tulus, aku
tersenyum, meyakinkah dia bahwa aku baik-baik saja.
“Terimakasih sobat, we are best
friend forever,” aku tersenyum.
“friend forever,” Risa memelukku.
Aku
tersenyum, merasa senang, sekarang aku sudah merasa ringan, tidak ada
lagi beban. Ada rasa lega yang menyusup dalam dada. Aku tidak lagi harus
mersakan rasa sakit yang sama. Aku terbebas. Aku ingin berterimakasih pada Risa
, sahabat baikku. Selama ini dia selalu menemani dan mendukungku. Menghiburku
dikala aku lemah.
Risa terimakasih untuk semua,
semangatmu membuatku untuk terus maju, melawan rasa sakit ini untuk bertahan
slalu. Aku senang kau menjadi sahabatku, tetap tersenyum Risa, jangan menangis,
raihlah mimpimu, karena itu juga mimpi
bagiku. Aku berdoa untuk mu, aku sudah lelah dan ingin tidur sekarang, sehat
selalu Risa.
Empat tahun berlalu, kau masih
datang mengunjungiku, menceritakan semua tentang kegiatan dan kesibukkanmu.
Menceritakan cita-cita yang dulu kita mimpikan bersama.
“Lihatlah Dea, sebentar lagi aku
berhasil, dan aku akan berusaha keras, mencari
obat untuk penyakitmu, agar aku tidak lagi melihat orang lain kehilangan
seseorang yang disayanginya,” ucap Risa.
Risa beranjak dari nisanku,
meninggalakanku dalam gundukan tanah.
No comments:
Post a Comment