Monday 21 September 2015

[Cerpen] Ratu Tirta Samudera


[Dimuat di Radar Banyuwangi, Jawa Pos Group. Edisi, Minggu, 20 September 2015]
By Kazuhana El Ratna Mida*
Aku hampir hafal wejangan[1] yang selalu ibu katakan ketika aku meminta izin akan pergi ke pantai.
            “Jangan, Sep. Di sana ada penunggunya—Ratu Tirta Samudera. Jangan kamu bermain  di pusaran air laut. Nanti kamu dibawa olehnya.”
            “Apalagi di hari Jumat Wage,” lanjut ibu.
            Konon katanya, pantai yang terletak di dekat rumahku memang memiliki banyak cerita mitos yang meresahkan warga. Pantai yang disebut dengan Ratu Tirta Samudera, juga dikenal penjaga pantai itu yang katanya juga masih saudara dari Ratu Pantai Selatan.
Secara garis keturunan itu seperti ini, Ratu Tirta Samudera itu sangat sakti. Dia masih saudara dengan Dewi Lanjar penjaga laut Utara. Sedang Dewi Lanjar masih punya hubungan kekerabatan dengan Ratu Pantai Selatan. Jadi otomatis Ratu Tirta Samudera masih ada hubungan kekerabatan dengan Ratu Pantai Selatan—atau disebut juga Nyi Roro Kidul. Ratu yang memiliki kekuatan hebat, cantik namun juga berduri menurut sebagian orang. Merekalah para penunggu laut yang cantik jelita, namun penuh dengan misteri yang tak terpecahkan.
Setiap hari, ibu menceritakan kisah itu padaku. Lalu tanpa bosan ibu akan memberi nasihat untuk jangan sekali-kali bermain di sekitar pantai. Apalagi di hari Jumat Wage yang penuh kontroversi.
Ratu Tirta Samudera adalah  jelmaan putri cantik jelita yang suka menikahi para lelaki perjaka. Dia memilih para lelaki yang berenang di pantai sesuka hati. Kalau mereka menolak maka hasilnya akan dijadikan budak.  Kecuali jika kamu menerima, maka kamu akan dijadikan suaminya lalu mendapat banyak harta.
“Asep, Ratu Tirta Samudera, tidak suka orang yang membangkang. Bagi orang yang membangkang bisa jadi langsung dijadikan budak, disuruh bekerja siang malam. Siapapun yang sudah dipilih, maka  tidak bisa kembali ke daratan. Jasadnya akan sulit ditemukan, tergantung keinginan sang Ratu untuk memperlihatkan para Tim SAR atau menutup penglihatan mereka,” ucap Ibu.
“Kamu tahu, kadang kala jasadnya itu terapung tapi mata orang-orang yang mencari ditutupi cahaya untuk melihat hal itu.”
 “Percayalah pada ibu, Sep. Ibu ingin melakukan yang terbaik untukmu. Kakakmu sudah dia bawa pergi. Ibu tak ingin kamu juga diambil.” Ibu menggenggam erat tanganku. Beliau langsung mencontohkan kakakku yang sudah meninggal beberapa tahun lalu.
            “Kakakmu, jasadnya hilang setelah karam di sana, kan? Dia pasti dijadikan budak atau suaminya.”
            Setiap mengingat kakakku yang telah meninggal, ibu selalu melankolis. Menangis sesenggukan hingga aku jadi korban. Yah, aku jadi terkekang, tak bisa ke mana-mana.
“Bukankah kamu melihat ketika kakakmu tenggelam dan berteriak minta tolong?” ibu bertanya lagi.
Aku menunduk.  Dalam dan semakin dalam. Mencerna setiap kata yang ibu ucapkan.
“Karena itu, Sep. Ibu tidak mengizinkan kamu bermain di sana. Kamu ibu kirim ke sekolah ke asrama yang akan membuatmu aman.”
Apakah ibu tidak berlebihan? Entahlah aku sendiri tidak tahu. Semua kegiatanku memang selalu dibatasi sejak kematian kakak. Hidup seperti ini sungguh tidak bebas dan membuatku tertekan.  Padahal kata guru agamaku, mati itu urusan Allah. Di mana pun bersembunyi kalau memang sudah takdir itu tidak bisa dilawan. Aku menghela napas, menatap ibu yang masih di depanku.
“Lalu aku harus apa, Bu? Ini, kan sedang liburan?”
“Kamu belajar di rumah saja. Biar jadi anak pintar. Lalu bisa meneruskan bisnis  ibumu ini,”  Ibu meninggalkanku untuk menyiapkan makan siang.
Aku menghela napas. Susah sekali memili ibu yang sangat protektif. Meski itu demi kebaikanku. Tapi sesekali aku juga ingin bebas.
Aku duduk di teras rumah sambil membaca buku. Sesekali melihat teman-teman sesusiaku yang bermain bebas tanpa adanya kekangan.
“Sep. Kamu di rumah, tah? Prei?”[2] tanya wahyudi  ketika melihatku.
“Iya, Yud.”
Wahyudi sudah duduk di sampingku. Sebentar kemudian Kasim ikut datang.
Sue rak dolanan bareng,”[3] ucap Wahyudi dan dibenarkan Kasim.
“Iya, sejak aku ke kota,” aku juga membetulkan—tepatnya ketika aku masuk asrama SMP di kota. Di asrama paling mahal yang memiliki fasilitas terlengkap. Mana mungkin putra Bos Mebel sekolah di tempat biasa.
“Nah, mumpung[4] kamu di rumah, ayo main,” ajak Wahyudi dengan semangat.
Aku mengangguk saja. kulihat ibu yang masih asyik memasak.
“Bu, aku pergi dolan [5]dengan Wahyudi dan Kasim,” pamitku agak keras.
“Iya, tapi jangan mendekati pantai.” Lagi-lagi pesan itu yang diucapkan.
Aku jawab saja iya. Yang penting aku boleh bermain. Sedang Wahyudi dan Kasim menatapku maklum. Semua warga sudah tahu tabiat ibuku yang seperti itu.
~*~
            Aku mendengus kesal, setiap ingat larangan ibu bermain ke pantai. Siapa sih yang tak ingin bermain bebas seperti teman-temannya? Ke mana pun yang disuka. Hingga pilihan terakhir, aku harus selalu pergi diam-diam seperti ini jika ingin ke pantai.
“Ayo, malah melamun.” Wahyudi menepuk pundakku.
            Aku pun mengkuti langkah mereka menuju pantai, tempat larangan yang aku datangi.
            “Tenang, aku akan merahasiakan keikutsertaanmu.” wahyudi mengacungkan jempol.
            “Terima kasih, Yud.”
            Setelah sampai, kami langsung menanggalkan pakaian dan mulai berenang saling adu kehebatan. Aku  melupakan pesan ibu. Aku sangat menikmati kejadian hari itu.
            Wahyudi terus berenang ke arah kawasan yang sering diberitakan sebagai pusaran air laut. Tempat bertemunya dua arus yang berlawanan dan memiliki kedalaman yang lebih dari lokasi lain.  Walaupun jarak dengan bibir pantai hanya berkisar 20-30 meter. Tapi, di sana memang banyak tersiar kabar tentang tempat yang memakan banyak korban tenggelam dan hilang.
“Lihatlah Sep.  Aku tidak apa-apa. Ibumu mungkin hanya membohongi agar kau takut ke sini.” Dia menatap Kasim dan aku bergantian. Dia menunjukkan bahwa dia baik-baik saja ketika sampai di sana.
            Aku mendekati di mana Wahyudi berada dan  membenarkan ucapannya.  Nyatanya dia selamat ketika bermain di tengah laut yang deras itu. Tempat biasanya pusaran itu terjadi.
“Besok, kan hari Jumat Wage. Ayo kita tunjukkan pada ibumu, Sep.”
Ucapannya kusambut anggukan setuju pun dengan Kasim. Ibu harus tahu tentang ini, semua hanya kekhawatiran yang berlebih, pikirku dalam hati. Hilangnya Kakakku mungkin hanya kecelakaan biasa. Mungkin gosip yang beredar, itu salah. Kami sudah membuktikan, pikirku sendiri.
Sampai sore kami bermain di pantai. Setelah puas berenang kami pun segera pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah. Aku langsung mendapat teguran karena pulang menjelang senja.
“Ya Allah, Sep. Jam segini baru pulang. Kamu dari mana saja?” ibu menginterogasiku.
“Aku bermain dengan Wahyudi, Bu,” jawabku apa adanya.
“Tapi kenapa sampai petang seperti ini? Tahukah kau waktu senja banyak setan yang berkeliaran. Kamu bisa diculik mereka,” ibu berucap lagi. “Pamali, tahu.”
“Iya, maaf, Bu. Besok aku akan pulang lebih cepat.”
Ibu lalu menyuruhku mandi dengan segera lalu salat dan makan bersama.
“Kamu tadi tidak ke pantai, kan?” tanya ibu tiba-tiba. Aku hanya menunduk. Kemarahan ibu langsung memuncak ketika tahu, bahwa aku  berbohong.
            “Bukankah sudah ibu bilang jangan ke pantai!” bentak ibuku.
            “Tapi, Bu ...,”  aku ingin protes. “Asep ingin seperti teman-teman yang lain juga.” Akhirnya kalimat itu keluar juga.
            “Tidak bisa. Kamu anak ibu. Jadi menurutlah pada ibu. Jangan mengikuti orang-orang yang tak tahu apa-apa tentang kejahatan Ratu Tirta Samudera.”
            “Memangnya kamu mau dijadikan tumbal seperti orang-orang?” Ibu menatapku.
            “Mulai sekarang, ibu akan lebih ketat mengawasimu.”
            “Ibu!” aku berteriak memanggil ibunya yang kini sudah sukses mengunci di kamarku sendiri. Aku  teringat dengan kakak.
            Padahal aku sudah kelas dua SMP, tapi ibu tetap saja sama, Kak. Beliau melarangku ke pantai sejak kejadian itu. Sudah berkali-kali aku meminta pengertian aku tetap tak diizinkan. Bahkan ketika aku diam-diam pergi aku pun dapat hukuman.
            Kenapa ibu takut sekali dengan Ratu Tirta Samudera? Pikirku sendiri berkutat dengan hati. Aku  menghela napas. Bahkan untuk menjauhkanku dari pantai, ibu sampai rela aku  sekolah dengan diasramakan jauh dari desa.
~*~
            Hingga pagi hari aku tidak juga diizinkan ibu pergi. Aku  dikurung.
            “Ibu, izinkan aku ke luar,” pintaku ketika mendapat kiriman sarapan dari ibu.
            “Tidak!” ucap ibuku tegas.
            “Mulai sekarang, kau harus di sini ketika di rumah. Kalau ibu biarkan kamu ke luar, kamu pasti akan ke pantai lagi.”
            “Bukanhah sudah ibu bilang di sana berbahaya. Ibu tidak mau ambil resiko untuk kedua kalinya.”
            Ibuku benar-benar keterlaluan. Padahal, aku harus pergi dan membuktikan pada ibu kalau semua ketakutan beliau itu hanyalah hal konyol.
“Sekarang, Wahyudi dan Kasim pasti sudah menunggu.”  Aku berjalan mondar-mandir di kamar. Lalu aku pun memutuskan untuk pergi diam-diam lagi. Dengan hati-hati, aku  keluar lewat jendela. Lalu aku berlari menuju tempat pertemuan dengan Wahyudi dan Kasim.
“Hai! Kupikir kau tak berani datang.” Wahyudi tersenyum ketika melihatku sampai di tempat janjian.
“Aku dikurung ibu agar tak ke pantai lagi,” jelasku masih dengan napas terengah-engah. Kini, kami  pun segera pergi ke pantai dan kembali berenang seperti biasa.
Aku sudah sangat yakin bisa membuktikan pada ibu, kalau Ratu Tirta Samudera itu tidak ada. Setelah ini aku akan pulang dengan selamat. Kecurigaan ibu akan hilang. Tak sabar rasanya aku untuk menunjukkan semua kebenaran.
            Namun di saat aku asyik berenang. Tiba-tiba gulungan gelombang buatku kaget. Aku terseret arus yang sangat kuat. Aku meronta meminta tolong, tapi tak ada yang mendengar. Tubuhku terasa ringan dan aku melihat wanita cantik yang menyambut kedatanganku dengan senyum lebar.
Srobyong, 2015

*Beberapa karyanya sudah dibukukan dalam antologi bersama, antara lain Ramadhan in Love, Luka-Luka Bangsa, Lot & Purple Hole. Tinggal di Jepara.


[1] pesan
[2] Libur?
[3] Lama tak bermain bersama
[4] Kebetulan
[5] Main 

2 comments:

  1. Ahhhh mbak.e garai penasaran ae inii..
    Huwaaa.....
    Ending terakhir trkesan terburu2 mbk.
    Tapi aku suka mbk...
    Aihh sukses ya mbk.e

    Utk typo ada tpi sdikit bnget kog mbk. Hee

    ReplyDelete
  2. hehh, iyakah? catet untuk perbaikan lainkali ^_^ makasih yang dah berkenan mampir dan komen ^_^

    ReplyDelete