Monday, 13 January 2025

Resensi Digital Minimalis - [Memegang Kendali Diri di Tengah Gempuran Teknologi]

 

Judul               : Digital Minimalism; Mempertahankan Fokus di Tengah Dunia yang Gaduh

Penulis             : Cal Newport

Penerjemah      : Agnes Cynthia

Penerbit           : Gramedia

Cetakan           : Pertama, 2024

Tebal               : 360 halaman

ISBN               : 978-602-06-4469-1

Peresensi         : Ratnani Latifah, Penulis tinggal di Jepara


Seharusnya, kita  adalah orang yang memegang kendali kehidupan di dunia ini. Kita yang menentukan cara menjalani kehidupan,  juga cara menghadapi dunia yang serba cepat.  Akan tetapi, faktanya saat ini teknologi-lah yang mulai memegang kendali atas diri kita. Gempuran teknologi yang semakin hari semakin pesat membuat kita  menjadi kewalahan. Kita terlalu banyak menghabiskan waktu dengan ponsel pintar, dibandingkan membangun relasi secara nyata dengan komunikasi terbuka tanpa gangguan gadget.


Lalu bagaimana kita menghadapi gempuran teknologi, agar tetap bijak dalam memanfaatkan fasilitas tersebut? Buku Digital Minimalism ini akan membantu kita menemukan cara mengendalikan diri agar tidak lagi terjebak di dunia digital, cara tetap fokus di tengah dunia yang gaduh.


Disadari atau tidak, saat ini kita memang tengah terjebak di dunia digital yang membuat kita selalu fokus pada layar handpohone. Setiap hari, setiap waktu kita akan berkutat dengan ponsel pintar sejak bangun tidur hingga bersiap tidur kembali. Kita menghabiskan waktu untuk mengecek surel, mengecek notifikasi media sosial yang kita miliki. Bahkan di saat  sedang makan, kita masih berkutat dengan ponsel untuk hal-hal kecil, seperti melihat status teman dunia maya kita, melihat jumlah like postingan kita, atau untuk menonton drama.


Tanpa kita sadari, ketika kita jauh dari ponsel, ada perasaan tertinggal dan tidak nyaman karena tidak mengetahui seputar info terbaru. Dan sering kali kita menjadi tidak tenang dan penasaran mengintip jumlah like, share atau komen di posingan kita. Apakah postingan kita diminati, menarik dan disukai?


Fenomena ini,  membuat Bill Maher mengungkapkan kegelisahannya. Apa yang ia lihat dan rasakan saat ini, mengingatkannya tentang perusahaan tembakau yang merekayasa rokok mereka agar  menjadi lebih candu.  Sehingga ia menyimpulkan seperti ini.


“Mengecek  berapa jumlah ’like’ yang kita terima  saat ini adalah  nikotin jenis baru.”

 (hal. 11)


Jika kita memikirkannya kembali, rasanya kita memang sering melakukannya, bukan? Media sosial itu seperti candu yang membuat kita kadang sulit untuk berbalik arah dan cenderung menggunakan banyak waktu untuk berselancar di sana.


Apa itu kecanduan? Dalam buku ini dijelaskan,


“Kecanduan adalah kondisi ketika seseorang mengonsumi zat tertentu atau memiliki perilaku tertentu karena ganjaran yang diterimanya memberikan intensif yang menarik untuk mengulangi perilakunya meskipun konsekuensinya bersifat merusak.”

(hal. 19)


Rasa-rasanya bukankah kadang kita seolah telah berada di jalan persimpangan ini? Kita sadar terlalu fokus di media sosial itu kadang dampaknya tidak baik, tetapi kita masih terus mengulanginya lagi, bukan?  (Membaca buku ini jadi menatap diri sendiri, semoga pelan-pelan dapat berubah dan lebih bijak menggunakan media sosial. Hisk)


Dunia digital pelan-pelan  telah mengalihkan dunia nyata kita, hingga kita seolah abai dengan keadaan sekitar. Saat berkumpul bersama teman, saudara atau keluarga,  raga kita memang berada di sana, tetapi jiwa kita tidak fokus di sana. Kita lebih sering mengecek gadget, kita asyik berselancar sendiri, atau kita tidak fokus saat diajak berbicara.


Ketika bersama anak atau momen berkumpul dengan keluarga,  kita tidak lagi fokus menikmati momen kebersamaan yang menyenangkan, kadang kita lebih fokus untuk merekam segala kegiatan itu guna untuk dishare di media sosialnya. Sehingga kita jadi sulit menikmati sebuah momen yang indah dan berkesan karena sibuk membuat dokumentasi.


“Teknologi-teknologi ini semakin lama semakin mendikte cara kita dalam berperilaku serta apa yang kita rasakan. sehingga entah mengapa kita sering memaksakan diri menggunakan ia lebih dalam daripada melakukan kegiatan lain yang lebih bernilai.”

(hal. 9)


Terlepas dari pengaruh negatif dalam perkembangan teknologi, kita pun tahu bahwa teknologi sebenarnya tidak selalu buruk—ia memiliki banyak manfaat dan kegunaan, ia memudahkan dan meringankan, tetapi bagaimana kita  menggunakannya akan membawa pengaruh besar  dalam kehidupan kita. Agar kita dapat mengendalikan diri di tengah gempuran teknologi dan bahaya kecanduan teknologi, ada baiknya kita mencoba menerapkan kiat yang dipaparkan penulis ini.


Salah satunya kita dapat memulainya dengan menerapkan  minimalisme digital; yaitu membangun kebiasaan  menggunakan teknologi hanya untuk hal-hal yang penting, dengan melihat manfaat dan dampaknya bagi diri kita. Kita tidak perlu memiliki media sosial, tetapi gunakan yang memang kita butuhkan dan perlukan.  


“Filosofi tentang pemanfaatan teknologi, ketika Anda memfokuskan waktu dari Anda pada sejumlah kecik kegiatan yang telah dipilih dengan saksama dan dioptimalkan, yang menunjang hal-hal yang menurut Anda penting, dan membuat Anda dengan gembira dapat melewatkan semua kegiatan daring lain.”

(hal. 35)


Untuk mewujudkannya, kita harus belajar menerapkan prinsip-prinsip minimalisme digital, yang sudah dijelaskan sangat gamblang oleh penulis di buku ini.


Kemudian, cara kedua kita dapat mulai bersih-bersih digital, yaitu  mulai mengambil jeda dari sejumlah teknologi selama kurang lebih  tiga puluh hari. Kita dapat menghapus aplikasi yang tidak kita butuhkan, kita menyeting notifikasi agar tidak membuat kita kewalahan. Setelah masa jeda selesai coba kembali berkenalan dengan teknologi dan memiliki  menentukan nilai teknologi  yang akan kita gunakan. 


Penting untuk kita ketahui, berdasarkan hasil studi telah dijelaskan, bahwa kadang media sosial itu memang membuat kita terkoneksi, tetapi di sisi lain kita juga nerasa kesepian. Kita bahagian tetapi juga sedih.


“Penggunaan media sosial dan ponsel cerdas tampaknya telah menyebabkan meningkatnya isu-isu kesehatan mental di kalangan remaja.”

(hal. 135)




Secara keseluruhan buku ini sangat menarik.  Penulis melengkapi buku ini dengan kisah nyata dari para pejuang minimalisme digital yang mengungkapkan betapa hidup menjadi lebih menyenangkan dan terkendali ketika kita dapat menggunakan teknologi secara bijak. Selain itu penulis juga memberikan arahan dan tips bagaimana agar kita belajar konsisten untuk memperbaiki pola hidup yang lebih menyenangkan dengan mengurangi paparan teknologi.


Dengan menerapkan minimalisme digital kita dapat memaksimalkan waktu kita untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, lebih produktif, memiliki kualitas tidur yang baik, dan hidup lebih seimbang.


Memang benar tidak ada salahnya kita memanfaatkan tekonologi, tetapi jangan sampai karena teknologi kita kehilangan jati diri, kita menjadi asing dengan orang-orang yang kita kasihi. Seimbangkan kehidupan kita di dunia digital dan non-digital, agar hidup menjadi lebih tenteram. 


Bijak menggunakan teknologi, akan sangat membantu kita mewujudkan diri untuk lebuh dapat mengendalikan diri, untuk menikmati hidup yang telah banyak terkikis modernisasi.


Srobyong, 13 Januari 2025