Wednesday, 29 January 2025

Resensi Buku Rumus Bahagia [Mempelajari Rumus Bahagia]



Judul               : Rumus Bahagia

Penulis             : Mo Gawdat

Penerjemah      : Alex Tri Kantjono Widodo

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama

Cetakana         : Pertama, 2020

Tebal               : 382 halaman

ISBN               : 978-602-06- 2430-3

Peresensi         : Ratnani Latifah

 



Hampir setiap orang mendambakan kebahagiaan dalam kehidupannya. Meskipun dalam mewujudkan kebahagiaan itu kadang kita akan bertemu dengan tembok penghalang—misalnya kehilangan, kerentanan dan berbagai rasa lain yang tidak baik—bertemu banyak kejutan yang tidak terduga dan berbagai tantangan lainnya. Akan tetapi jika kita dapat mengatur ulang diri ini, dapat menemukan jalan kembali untuk penyesuaian diri dengan apa yang kita alami, sejatinya kita dapat menumbuhkan kebahagiaan lagi.

Buku “Rumus Bahagia” karya Mo Gawdat ini dapat menjadi panduan bagi kita untuk menumbuhkan dan menciptakan kebahagiaan yang kita inginkan. Terlebih buku ini hadir dari pengalaman penulis setelah mengalami berbagai kepedihan; dimulai dari kehilangan Ali, putranya  dan saudara lelakinya, gagal dalam kesepakatan bisnis serta berbagai kejadian buruk lainnya.

Pasca kejadian yang ia alami, penulis  berusaha menguji sistem alogaritma yang telah ia kembangkan dan pelan-pelan dirinya dapat menikmati perjalanan hidupnya yang naik turun, penuh tantangan dengan Rumus Bahagia yang ia kembangkan. Seperti apakah Rumus Bahagia yang ditawarkan Mo Gawdat ini?

“Kebahagiaan  dalam  dunia modern dikelilingi mitos. Sebagian besar pemahaman kita tentang apa itu kebahagiaan dan dari mana kita dapat menemukannya mengalami distorsi. Ketika Anda tahu yang sedang Anda cari, pencarian menjadi mudah. Mungkin perlu waktu untuk melepaskan kebiasaan-kebiasaan lama, tetapi selama Anda bertahan di jalan yang benar, Anda akan meraihnya.”

(Mo Gawdat, Rumus Bahagia. hal. 1)

Pada bagian pertama kita akan diajak untuk menyusun persamaan. Di sini kita diajak untuk mengenal diri sendiri, siapa kita, bagaimana status sosial kita hingga tragedi apa yang pernah kita alami. Dari semua itu, faktanya siapa pun kita diri ini memang mendambakan kebahagiaan.

“Keinginan untuk merasakan kebahagiaan merupakan keinginan dasar manusia seperti dorongan bagi kita untuk bernapas.”

Dalam upaya meraih kebahagian, ada yang memperjuangkannya dengan mengukir prestasi, meraih keberhasilan, mengumpulkan kekayaan atau meraih ketenaran. Namun, faktanya semua itu tidak selalu menjadi faktor kebahagiaan, ada banyak orang yang telah sukses, tetapi mereka masih merasa tidak puas dan masih mendambakan kebahagiaan.

Di sini kita dapat menyimpulkan bahwa kesuksesan itu bukan syarat utama dalam meraih kebahagiaan. Akan tetapi dengan bahagia kita dapat meraih keberhasilan. Di sini penulis mengungkapkan bahwa ada sumber-sumber lain yang dapat membuat rasa bahagia itu lebih menenangkan. Bahkan jika itu hal-hal yang sederhana. Misal kita merasa bahagia ketika melihat langit cerah, merasa bahagia dengan secangkir kopi dan buku,  atau membuat daftar kebahagian yang kita alami dalam sehari-hari. Dan faktanya hal ini memang sangat membantu. Saya pun pelan-pelan mencoba melakukan hal ini untuk menumbuhkan rasa bahagia dari hal-hal kecil yang saya alami. 


Kemudian, dijelaskan pula bahwa pikiran kita memiliki kekuatan dalam menumbuhkan kebahagiaan yang kita harapkan. Dan rasa sakit yang kita rasakan, meskipun rasanya tidak selalu menyenangkan, tetapi rasa sakit itu pada dasarnya memberikan kita banyak manfaat. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Hal ini memang ada benarnya, ketika kita lebih sering berpikir positif, maka hal baik itulah yang terjadi. Sebaliknya jika kita sering berpikiran buruk, resah dan tidak tenang itulah yang kita dapatkan. 

Penulis juga memaparkan  macam-macam pikiran yang secara keseluruhan dapat memberikan pengaruh bagaimana kita dapat menghadapi suatu masalah dan dalam menyikapi apa yang kita alami. Setidaknya ada lima kondisi pikiran kita,

Kondisi bingung, kondisi menderita, kondisi pelarian, kondisi bahagia, kondisi sukacita

Ketika kita memahami lima kondisi pikiran kita, maka hal itu akan memudahkan kita dalam membangun model kebahagiaan versi kita.

Misalnya dalam kondisi bingung kita rentan mengalami ilusi yang membuat kita pikiran menjadi tidak tenang. Kita membayangkan hal-hal yang tidak baik, kita merasa kehabisan waktu, merasa tertinggal, hingga perasaan bingung semakin lekat dalam diri kita. Kita seolah berada di labirin panjang yang tidak tahu jalan keluarnya.

Sedangkan ketika kita berada pada kondisi suka cita,  pikiran kita lebih memahami dan menerima kehidupan memang seperti ini. Kadang ada riak dan tantangan, tetapi ketika kita paham memang seperti itulah kehidupan, maka kita lebih mudah berdamai dengan keadaan dan tidak mudah terjebak pada kondisi kebingungan yang rentan.

Pada bagian dua kita diajak untuk menyelami lebih dalam tentang bagaimana memaknai kebahagiaan, yaitu tentang 6 Ilusi Besar; yaitu hal-hal yang dapat memengaruhi kita dalam memaknai kebahagiaan.

Seringkali tanpa kita sadari, diri ini masih sering terjebak pada suara kecil yang ada di pikiran kita. Suara yang terus berisik yang kadang ia membawa pengaruh buruk, kadang juga membawa pengaruh yang baik.  Agar kita lebih mudah dalam menemukan titik kebahagiaan, penulis menganjurkan kita untuk pelan-pelan mengelola suara berisik tersebut.

Secara sederhana, pelan-pelan singkirkan pikiran negatif yang menggema, kuasai diri dan pikirkan hal-hal baik yang membawa pengaruh positif pada diri.

Kalau kata Mo Gawdat, ia menuturkan,

“Kebahagiaan selalu ditemukan di sisi positif setiap konsep.”

(hal. 58)

Kemudian kita diajak untuk mengenal siapakah diri kita yang sebenarnya. Di mana secara keseluruhan kita diajak untul belajar menjadi diri sendiri, apa pun kata orang. Menjadi diri sendiri akan membuat kita lebih menghargai dan mencintai diri sendiri. Menghargai diri dapat menumbuhkan rasa bahagia dan ketenangan hati. Nyatanya memang benar. Ketika kita fokus menerima diri, kita jadi lebih mudah untuk berdamai dengan diri sendiri dan tidak lagi ingin membandingkan diri. 

“Tidak ada baik atau buruk, tetapi pikiranlah yang membuatnya demikian.”

(hal. 121)

Tidak hanya itu kita juga diajak berdamai dengan keadaan di masa lalu dan menghargai masa kini.

“Jika Anda ingin bahagia, hayatilah hidup pada detik ini juga.”

(hal. 141)

Secara ringkas bagian tiga akan membahas tentang 7 Titik Buta yang kerap membuat kita kesulitan menemukan kebahagiaan. Misalnya kebiasaan kita yang sering mengkritik diri sendiri.

“Otak kita cenderung lebih sering mengkritik, mencela, dan mengeluh daripada sebaliknya.”

(hal. 200)

Dan bagian keempat akan membahas tentang  5 Kebenaran, tentang kebahagiaan. Pada bagian ini kita diharapkan dapat menyadari pola kehidupan. Bahwa sesekali kita mungkin akan bertemu hal-hal yang tidak menyenangkan, kesedihan atau kegagalan. Akan tetapi ketika kita siap dan maun menerimanya, belajar bersyukur pada hal-hal kecil, menumbuhkan cinta pada orang lain, maka di sana pelan-pelan kita akan menemukan kebahagiaan yang kita ingini.

“Bersyukur adalah jalan pasti menuju kebahagiaan.”

(hal. 264)

Bahwa hidup bahagia itu, bukan berarti kehidupan ini selalu berjalan lancar sesuai apa yang kita harapan. Akan tetapi ketika kita dapat mengelola hati dan pikiran, dapat menghargai setiap perjalanan hidup dan menerima takdir yang telah Allah tetapkan.

Buku ini banyak memberikan gambaran baru tentang bagaimana memaknai kebahagiaan. Membaca buku ini saya seperti diajak menyelami diri, guna memahami bagaimana kita dapat menumbuhkan bahagia yang sebenarnya alih-alih terpaku pada bahagia semu yang kerap kita anggap sebagai kebahagiaan sejati.



Membaca buku ini setidaknya saya memahami, bahwa:

  1. Bahagia itu hadir dari dalam diri sendiri
  2. Bahagia hadir bukan hanya karena prestasi atau kesuksesan dan kekayaan.
  3. Bahagia dapat hadir dengan penerimaan diri
  4. Bahagia tumbuh dari pikiran positif
  5. Belajar menghentikan kebiasaan mengeluh dan mengkritik diri dapat membuat kita lebih tenang dan bahagia
  6. Bahagia itu belajar berdamai dengan keadaan
  7. Berhenti overthinking agar lebih menikmati hidup
  8. Bahagia hadir dengan rasa syukur
  9. Bahagia tumbuh dari rasa cinta kasih
  10. Berbagai masalah yang hadir memang kadang membuat kita sedih, tetapi kepedihan juga membawa manfaat baik bagi kehidupan.
  11. Bahagia tumbuh ketika kita lebih fokus pada saat ini, daripada terjebak masa lalu
  12. Boleh memikirkan masa depan, tetapi jangan lupa menikmati masa sekarang ini.

Saya rekomendasikan buku ini untuk siapa pun yang sedang berusaha menemukan jati diri dan berjuang untuk menjadi pribadi yang lebih baik,  menghargai proses hidup yang dimiliki dan menemukan bahagia versi dirinya sendiri.

Srobyong, 29 Januari 2025

 













 

 

Monday, 13 January 2025

Resensi Digital Minimalis - [Memegang Kendali Diri di Tengah Gempuran Teknologi]

 

Judul               : Digital Minimalism; Mempertahankan Fokus di Tengah Dunia yang Gaduh

Penulis             : Cal Newport

Penerjemah      : Agnes Cynthia

Penerbit           : Gramedia

Cetakan           : Pertama, 2024

Tebal               : 360 halaman

ISBN               : 978-602-06-4469-1

Peresensi         : Ratnani Latifah, Penulis tinggal di Jepara


Seharusnya, kita  adalah orang yang memegang kendali kehidupan di dunia ini. Kita yang menentukan cara menjalani kehidupan,  juga cara menghadapi dunia yang serba cepat.  Akan tetapi, faktanya saat ini teknologi-lah yang mulai memegang kendali atas diri kita. Gempuran teknologi yang semakin hari semakin pesat membuat kita  menjadi kewalahan. Kita terlalu banyak menghabiskan waktu dengan ponsel pintar, dibandingkan membangun relasi secara nyata dengan komunikasi terbuka tanpa gangguan gadget.


Lalu bagaimana kita menghadapi gempuran teknologi, agar tetap bijak dalam memanfaatkan fasilitas tersebut? Buku Digital Minimalism ini akan membantu kita menemukan cara mengendalikan diri agar tidak lagi terjebak di dunia digital, cara tetap fokus di tengah dunia yang gaduh.


Disadari atau tidak, saat ini kita memang tengah terjebak di dunia digital yang membuat kita selalu fokus pada layar handpohone. Setiap hari, setiap waktu kita akan berkutat dengan ponsel pintar sejak bangun tidur hingga bersiap tidur kembali. Kita menghabiskan waktu untuk mengecek surel, mengecek notifikasi media sosial yang kita miliki. Bahkan di saat  sedang makan, kita masih berkutat dengan ponsel untuk hal-hal kecil, seperti melihat status teman dunia maya kita, melihat jumlah like postingan kita, atau untuk menonton drama.


Tanpa kita sadari, ketika kita jauh dari ponsel, ada perasaan tertinggal dan tidak nyaman karena tidak mengetahui seputar info terbaru. Dan sering kali kita menjadi tidak tenang dan penasaran mengintip jumlah like, share atau komen di posingan kita. Apakah postingan kita diminati, menarik dan disukai?


Fenomena ini,  membuat Bill Maher mengungkapkan kegelisahannya. Apa yang ia lihat dan rasakan saat ini, mengingatkannya tentang perusahaan tembakau yang merekayasa rokok mereka agar  menjadi lebih candu.  Sehingga ia menyimpulkan seperti ini.


“Mengecek  berapa jumlah ’like’ yang kita terima  saat ini adalah  nikotin jenis baru.”

 (hal. 11)


Jika kita memikirkannya kembali, rasanya kita memang sering melakukannya, bukan? Media sosial itu seperti candu yang membuat kita kadang sulit untuk berbalik arah dan cenderung menggunakan banyak waktu untuk berselancar di sana.


Apa itu kecanduan? Dalam buku ini dijelaskan,


“Kecanduan adalah kondisi ketika seseorang mengonsumi zat tertentu atau memiliki perilaku tertentu karena ganjaran yang diterimanya memberikan intensif yang menarik untuk mengulangi perilakunya meskipun konsekuensinya bersifat merusak.”

(hal. 19)


Rasa-rasanya bukankah kadang kita seolah telah berada di jalan persimpangan ini? Kita sadar terlalu fokus di media sosial itu kadang dampaknya tidak baik, tetapi kita masih terus mengulanginya lagi, bukan?  (Membaca buku ini jadi menatap diri sendiri, semoga pelan-pelan dapat berubah dan lebih bijak menggunakan media sosial. Hisk)


Dunia digital pelan-pelan  telah mengalihkan dunia nyata kita, hingga kita seolah abai dengan keadaan sekitar. Saat berkumpul bersama teman, saudara atau keluarga,  raga kita memang berada di sana, tetapi jiwa kita tidak fokus di sana. Kita lebih sering mengecek gadget, kita asyik berselancar sendiri, atau kita tidak fokus saat diajak berbicara.


Ketika bersama anak atau momen berkumpul dengan keluarga,  kita tidak lagi fokus menikmati momen kebersamaan yang menyenangkan, kadang kita lebih fokus untuk merekam segala kegiatan itu guna untuk dishare di media sosialnya. Sehingga kita jadi sulit menikmati sebuah momen yang indah dan berkesan karena sibuk membuat dokumentasi.


“Teknologi-teknologi ini semakin lama semakin mendikte cara kita dalam berperilaku serta apa yang kita rasakan. sehingga entah mengapa kita sering memaksakan diri menggunakan ia lebih dalam daripada melakukan kegiatan lain yang lebih bernilai.”

(hal. 9)


Terlepas dari pengaruh negatif dalam perkembangan teknologi, kita pun tahu bahwa teknologi sebenarnya tidak selalu buruk—ia memiliki banyak manfaat dan kegunaan, ia memudahkan dan meringankan, tetapi bagaimana kita  menggunakannya akan membawa pengaruh besar  dalam kehidupan kita. Agar kita dapat mengendalikan diri di tengah gempuran teknologi dan bahaya kecanduan teknologi, ada baiknya kita mencoba menerapkan kiat yang dipaparkan penulis ini.


Salah satunya kita dapat memulainya dengan menerapkan  minimalisme digital; yaitu membangun kebiasaan  menggunakan teknologi hanya untuk hal-hal yang penting, dengan melihat manfaat dan dampaknya bagi diri kita. Kita tidak perlu memiliki media sosial, tetapi gunakan yang memang kita butuhkan dan perlukan.  


“Filosofi tentang pemanfaatan teknologi, ketika Anda memfokuskan waktu dari Anda pada sejumlah kecik kegiatan yang telah dipilih dengan saksama dan dioptimalkan, yang menunjang hal-hal yang menurut Anda penting, dan membuat Anda dengan gembira dapat melewatkan semua kegiatan daring lain.”

(hal. 35)


Untuk mewujudkannya, kita harus belajar menerapkan prinsip-prinsip minimalisme digital, yang sudah dijelaskan sangat gamblang oleh penulis di buku ini.


Kemudian, cara kedua kita dapat mulai bersih-bersih digital, yaitu  mulai mengambil jeda dari sejumlah teknologi selama kurang lebih  tiga puluh hari. Kita dapat menghapus aplikasi yang tidak kita butuhkan, kita menyeting notifikasi agar tidak membuat kita kewalahan. Setelah masa jeda selesai coba kembali berkenalan dengan teknologi dan memiliki  menentukan nilai teknologi  yang akan kita gunakan. 


Penting untuk kita ketahui, berdasarkan hasil studi telah dijelaskan, bahwa kadang media sosial itu memang membuat kita terkoneksi, tetapi di sisi lain kita juga nerasa kesepian. Kita bahagian tetapi juga sedih.


“Penggunaan media sosial dan ponsel cerdas tampaknya telah menyebabkan meningkatnya isu-isu kesehatan mental di kalangan remaja.”

(hal. 135)




Secara keseluruhan buku ini sangat menarik.  Penulis melengkapi buku ini dengan kisah nyata dari para pejuang minimalisme digital yang mengungkapkan betapa hidup menjadi lebih menyenangkan dan terkendali ketika kita dapat menggunakan teknologi secara bijak. Selain itu penulis juga memberikan arahan dan tips bagaimana agar kita belajar konsisten untuk memperbaiki pola hidup yang lebih menyenangkan dengan mengurangi paparan teknologi.


Dengan menerapkan minimalisme digital kita dapat memaksimalkan waktu kita untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, lebih produktif, memiliki kualitas tidur yang baik, dan hidup lebih seimbang.


Memang benar tidak ada salahnya kita memanfaatkan tekonologi, tetapi jangan sampai karena teknologi kita kehilangan jati diri, kita menjadi asing dengan orang-orang yang kita kasihi. Seimbangkan kehidupan kita di dunia digital dan non-digital, agar hidup menjadi lebih tenteram. 


Bijak menggunakan teknologi, akan sangat membantu kita mewujudkan diri untuk lebuh dapat mengendalikan diri, untuk menikmati hidup yang telah banyak terkikis modernisasi.


Srobyong, 13 Januari 2025