Judul : Digital Minimalism;
Mempertahankan Fokus di Tengah Dunia yang Gaduh
Penulis : Cal Newport
Penerjemah : Agnes Cynthia
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, 2024
Tebal : 360 halaman
ISBN : 978-602-06-4469-1
Peresensi : Ratnani Latifah, Penulis tinggal di
Jepara
Seharusnya, kita
adalah orang yang memegang kendali kehidupan di dunia ini. Kita yang
menentukan cara menjalani kehidupan, juga cara menghadapi dunia yang serba
cepat. Akan tetapi, faktanya saat ini
teknologi-lah yang mulai memegang kendali atas diri kita. Gempuran teknologi
yang semakin hari semakin pesat membuat kita
menjadi kewalahan. Kita terlalu banyak menghabiskan waktu dengan ponsel
pintar, dibandingkan membangun relasi secara nyata dengan komunikasi terbuka
tanpa gangguan gadget.
Lalu bagaimana kita menghadapi gempuran teknologi,
agar tetap bijak dalam memanfaatkan fasilitas tersebut? Buku Digital
Minimalism ini akan membantu kita menemukan cara mengendalikan diri agar
tidak lagi terjebak di dunia digital, cara tetap fokus di tengah dunia yang
gaduh.
Disadari atau tidak, saat ini kita memang tengah
terjebak di dunia digital yang membuat kita selalu fokus pada layar handpohone.
Setiap hari, setiap waktu kita akan berkutat dengan ponsel pintar sejak bangun
tidur hingga bersiap tidur kembali. Kita menghabiskan waktu untuk mengecek
surel, mengecek notifikasi media sosial yang kita miliki. Bahkan di saat sedang makan, kita masih berkutat dengan ponsel
untuk hal-hal kecil, seperti melihat status teman dunia maya kita, melihat
jumlah like postingan kita, atau untuk menonton drama.
Tanpa kita sadari, ketika kita jauh dari ponsel, ada
perasaan tertinggal dan tidak nyaman karena tidak mengetahui seputar info
terbaru. Dan sering kali kita menjadi tidak tenang dan penasaran mengintip
jumlah like, share atau komen di posingan kita. Apakah postingan kita diminati,
menarik dan disukai?
Fenomena ini, membuat Bill Maher mengungkapkan
kegelisahannya. Apa yang ia lihat dan rasakan saat ini, mengingatkannya tentang
perusahaan tembakau yang merekayasa rokok mereka agar menjadi lebih candu. Sehingga ia menyimpulkan seperti ini.
“Mengecek berapa jumlah ’like’ yang kita terima saat ini adalah nikotin jenis baru.”
(hal. 11)
Jika kita memikirkannya kembali, rasanya kita memang sering melakukannya, bukan? Media sosial itu seperti candu yang membuat kita kadang sulit untuk berbalik arah dan cenderung menggunakan banyak waktu untuk berselancar di sana.
Apa itu kecanduan? Dalam
buku ini dijelaskan,
“Kecanduan
adalah kondisi ketika seseorang mengonsumi zat tertentu atau memiliki perilaku
tertentu karena ganjaran yang diterimanya memberikan intensif yang menarik
untuk mengulangi perilakunya meskipun konsekuensinya bersifat merusak.”
(hal.
19)
Rasa-rasanya bukankah kadang kita seolah telah berada
di jalan persimpangan ini? Kita sadar terlalu fokus di media sosial itu kadang
dampaknya tidak baik, tetapi kita masih terus mengulanginya lagi, bukan? (Membaca buku ini jadi menatap diri sendiri,
semoga pelan-pelan dapat berubah dan lebih bijak menggunakan media sosial.
Hisk)
Dunia digital pelan-pelan telah mengalihkan dunia nyata kita, hingga
kita seolah abai dengan keadaan sekitar. Saat berkumpul bersama teman, saudara
atau keluarga, raga kita memang berada
di sana, tetapi jiwa kita tidak fokus di sana. Kita lebih sering mengecek
gadget, kita asyik berselancar sendiri, atau kita tidak fokus saat diajak
berbicara.
Ketika bersama anak atau momen berkumpul dengan
keluarga, kita tidak lagi fokus
menikmati momen kebersamaan yang menyenangkan, kadang kita lebih fokus untuk
merekam segala kegiatan itu guna untuk dishare di media sosialnya. Sehingga
kita jadi sulit menikmati sebuah momen yang indah dan berkesan karena sibuk
membuat dokumentasi.
“Teknologi-teknologi
ini semakin lama semakin mendikte cara kita dalam berperilaku serta apa yang
kita rasakan. sehingga entah mengapa kita sering memaksakan diri menggunakan ia
lebih dalam daripada melakukan kegiatan lain yang lebih bernilai.”
(hal.
9)
Terlepas dari pengaruh negatif dalam perkembangan
teknologi, kita pun tahu bahwa teknologi sebenarnya tidak selalu buruk—ia
memiliki banyak manfaat dan kegunaan, ia memudahkan dan meringankan, tetapi
bagaimana kita menggunakannya akan
membawa pengaruh besar dalam kehidupan
kita. Agar kita dapat mengendalikan diri di tengah gempuran teknologi dan
bahaya kecanduan teknologi, ada baiknya kita mencoba menerapkan kiat yang
dipaparkan penulis ini.
Salah satunya kita dapat memulainya dengan
menerapkan minimalisme digital; yaitu
membangun kebiasaan menggunakan
teknologi hanya untuk hal-hal yang penting, dengan melihat manfaat dan
dampaknya bagi diri kita. Kita tidak perlu memiliki media sosial, tetapi
gunakan yang memang kita butuhkan dan perlukan.
“Filosofi tentang pemanfaatan
teknologi, ketika Anda memfokuskan waktu dari Anda pada sejumlah kecik kegiatan
yang telah dipilih dengan saksama dan dioptimalkan, yang menunjang hal-hal yang
menurut Anda penting, dan membuat Anda dengan gembira dapat melewatkan semua
kegiatan daring lain.”
(hal.
35)
Untuk mewujudkannya, kita
harus belajar menerapkan prinsip-prinsip minimalisme digital, yang sudah
dijelaskan sangat gamblang oleh penulis di buku ini.
Kemudian, cara kedua kita dapat mulai bersih-bersih
digital, yaitu mulai mengambil jeda dari
sejumlah teknologi selama kurang lebih
tiga puluh hari. Kita dapat menghapus aplikasi yang tidak kita butuhkan,
kita menyeting notifikasi agar tidak membuat kita kewalahan. Setelah masa jeda
selesai coba kembali berkenalan dengan teknologi dan memiliki menentukan nilai teknologi yang akan kita gunakan.
Penting untuk kita ketahui, berdasarkan hasil studi
telah dijelaskan, bahwa kadang media sosial itu memang membuat kita terkoneksi,
tetapi di sisi lain kita juga nerasa kesepian. Kita bahagian tetapi juga sedih.
“Penggunaan
media sosial dan ponsel cerdas tampaknya telah menyebabkan meningkatnya isu-isu
kesehatan mental di kalangan remaja.”
(hal.
135)
Secara keseluruhan buku ini sangat menarik. Penulis melengkapi buku ini dengan kisah
nyata dari para pejuang minimalisme digital yang mengungkapkan betapa hidup
menjadi lebih menyenangkan dan terkendali ketika kita dapat menggunakan
teknologi secara bijak. Selain itu penulis juga memberikan arahan dan tips
bagaimana agar kita belajar konsisten untuk memperbaiki pola hidup yang lebih
menyenangkan dengan mengurangi paparan teknologi.
Dengan menerapkan minimalisme digital kita dapat
memaksimalkan waktu kita untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, lebih produktif,
memiliki kualitas tidur yang baik, dan hidup lebih seimbang.
Memang benar tidak ada salahnya kita memanfaatkan tekonologi, tetapi jangan sampai karena teknologi kita kehilangan jati diri, kita menjadi asing dengan orang-orang yang kita kasihi. Seimbangkan kehidupan kita di dunia digital dan non-digital, agar hidup menjadi lebih tenteram.
Bijak menggunakan teknologi, akan sangat membantu kita mewujudkan diri untuk lebuh dapat mengendalikan diri, untuk menikmati hidup yang telah banyak terkikis modernisasi.
Srobyong, 13 Januari 2025